Kamis, 17 Februari 2011

penyalah gunaan wewenang

1. Putusan Mahkamah Agung No. 742 K/Pid/2007

“bahwa sehubungan dengn pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang no. 20 Tahun 2001, Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari 1992, No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detourment de pouvoir”

Terdakwa : Wahyono Herwanto & Yamirzal Azis Santoso

Susunan Majelis: 1. Parman Suparman; 2. Soedarno; 3. Imam Haryadi.

2. Putusan MA No. 979 K/Pid/2004

Terdakwa : Hendrobudiyanto (Mantan Direktur BI)
Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya ;
Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele Strafrecht” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta.
Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan
detournement de pouvoir
. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu :
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ;
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain ;
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana ;
Majelis Hakim Agung : 1) Bagir Manan (Ketua); 2) Iskandar Kamil (Anggota); 3) Parman Suparman (Anggota)
3.No. 2257 K/Pid/2006 (terdakwa Lim Kian Yin)
bahwa, tentang apakah yang dimaksud jabatan atau kedudukan yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1919 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tidak diterangkan oleh Undang-Undang, oleh karena itu harus diartikan termasuk orang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam hukum privat, misalnya seorang Direktur PT (bandingkan Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formiil korupsi di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan kedua, halaman 50) ;
Majelis Hakim Agung : 1) Parman Suparman (Ketua); 2) I Gusti Ngurah Adnyana (Anggota); 3) Prof. Dr. Krisna Harahap (Anggota); 4) Odjak Parulian Simandjuntak (Anggota); 5) Leopold Luhut Hutagalung (Anggota)

PEMBUATAN SURAT DAKWAAN




I.PENDAHULUAN

Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara perkara yang diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum dan hasil pembahasan permasalahan Surat Dakwaan dalam Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 1993, ternyata kelagaian penuntutan pada umumnya bermula pada kekurangcermatan Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan Surat Dakwaan, dan pada sisi lain membawa konsekuensi berupa timbulnya berbagai kendala dalam upaya pembuktian dakwaan.

Jaksa Penuntut Umum perlu menyadari bahwa Surat Dakwaan merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap.

Mengingat bahwa peranan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dalam perneriksaan perkara pidana di Pengadilan dan Surat Dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanya kemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umurn dalam penyusunan Surat Dakwaan.

Menyadari betapa pentingnya peranan Surat Dakwaan, maka kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan perlu terus ditingkatkan dan sehubungan dengan itu diperlukan bimbingan serta pengendalian agar para Jaksa Penuntut Umum mampu menyusun Surat Dakwaan secara profesional, efektif dan efisien guna mengoptimalkan keberhasilan tugas kejaksaan dibidang penuntutan.


II.FUNGSI SURAT DAKWAAN

Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, karena itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan.

Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan :

a.Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;
b.Bagi Penutut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;
c.Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.

III.DASAR PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

1.Penuntut Umum mempunyai wewenang membuat Surat Dakwaan (pasal 14 huruf d KUHAP);
2.Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan,yang berwenang mengadili (pasal 137 KUHAP);
3.Pembuatan Surat Dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (pasal 140 ayat 1 KUHAP).
Surat Dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur unsur Tindak Pidana sesuai ketentuan Undang Undang Pidana yang bersangkutan.


IV.SYARAT SYARAT SURAT DAKWAAN.

Pasal 143 (2) KUHAP menetapkan syarat syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan Surat Dakwaan, yakni syarat syarat yang berkenaan dengan tanggal, tanda tangan Penuntut Umum dan identitas lengkap terdakwa. Syarat syarat dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi :
a.Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum pernbuat Surat Dakwaan;
b.Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.

Disamping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu Tindak Pidana itu dilakukan. Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil.

Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, syarat materiil. meliputi :
a.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan;
b.Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan.
Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata "cermat" paling depan dari rumusan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek dan teliti.
Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga terdakwa dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik baiknya.

Uraian secara lengkap, berarti Surat Dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) Tindak Pidana yang didakwakan. Unsur unsur tersebut harus terlukis didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam Surat Dakwaan.

Secara materiil. suatu Surat Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang :
1)Tindak Pidana yang dilakukan;
2)Siapa yang melakukan Tindak Pidana tersebut;
3)Dimana Tindak Pidana dilakukan;
4)Bilamana/kapan Tindak Pidana dilakukan;
5)Bagaimana Tindak Pidana tersebut dilakukan;
6)Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pidana tersebut (delik materiil).
7)Apakah yang mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana tersebut (delik delik tertentu);
8)Ketentuan ketentuan Pidana yang diterapkan.

Komponen komponen tersebut secara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang didakwakan (apakah Tindak Pidana tersebut termasuk delik formil atau delik materiii).

Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan. Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi.

Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil. menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).



V.BENTUK SURAT DAKWAAN

Undang Undang tidak menetapkan bentuk Surat Dakwaan dan adanya berbagai bentuk Surat Dakwaan dikenal dalam perkembangan praktek, sebagai berikut:
1.Tunggal
Dalam Surat Dakwaan hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. Misalnya hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (pasal 362 KUHP).

2.Altermatif
Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.
Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan.

Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Misalnya didakwakan
Pertama : Pencurian (pasal 362 KUHP), atau
Kedua : Penadahan (pasal 480 KUHP).

3.Subsidair.
Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.
Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan terates sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.
Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.
misalnya didakwakan :
Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP),
Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP),
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 351(3)KUHP).

4.Kumulatif.
Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tigas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masingmasing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri.
Misalnya didakwakan :

Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan
Kedua : Pencurian dengan pernberaten (363 KUHP), dan
Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP).

5.Kombinasi
Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
Misalnya didakwakan
Kesatu :
Primair : Pembunuh berencana (pasal 340 KUHP)
Subsidair : Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP);
Lebih Subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 (3) KUHP);
Kedua :
Primair : Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP);
Subsidair : Pencurian (pasal 362 KUHP), dan

Ketiga :
Perkosaan (pasal 285 KUHP).


VI.TEKNIK PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

Teknik pembuatan Surat Dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk Surat Dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan Tindak Pidana yang didakwakan.

1.Pemilihan Bentuk.

Bentuk Surat Dakwaan disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal. Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan Tindak Pidana dalam Undang Undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif atau subsidair. Dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif.

2.Teknis Redaksional

Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur unsur Tindak Pidana sesuai perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur Tindak Pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat Tindak Pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat kallimat efektif

Macam-macam Delik



1. Pengertian Delik
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delicht yang berasal dari bahasa Latin delictum. Perbuatan pidana atau delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.
Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Prof. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.
Berdasarkan rumusan Prof. Soimons maka delik memuat beberapa unsur yaitu:
a. Suatu perbuatan manusia
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Ada suatu norma pidana tertentu.
b. Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-undang.
c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.
Dengan kata lain, tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.
Menurut Moeljatno, kata “perbuatan” dalam “Perbuatan Pidana” mempunyai arti yang abstrak yaitu merupakan suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkret yakni adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat sehingga menimbulkan kejadian.
2. Unsur-unsur Delik
Berdasarkan analisa, delik terdiri dari dua unsur pokok, yaitu:
(a) Unsur pokok Subyektif
Asas pokok hukum pidana “Tak ada hukuman kalau tak ada kesalahan”. Kesalah yang dimaksud disini adalah sengaja dan kealpaan.
(b) Unsur pokok Obyektif
• Perbuatan manusia yang berupa act dan omission. Act yaitu perbuatan aktif tau perbuatan positif. Sedangkan omission yaitu perbuatan tidak aktif atau perbuatan negatif. Dengan kata lain ialah mendiamkan atau membiarkan.
• Akibat perbuatan manusia
menghilangkan , merusak , membahayakan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum. Misalnya, nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan lain sebagainya.
• Keadaan-keadaan yaitu keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan melawan hukum.
• Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Semua unsur-unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan dalam satu delik. Satu unsure saja tidak tidak ada atau tidak didukung bukti, akan menyebabkan tersangka/terdakwa dapat dihukum. Penyelidik, Penuntut Umum harus dengan cermat meneliti tentang adanya unsur-unsur delik tersebut.
3. Macam-macam Delik
a.) Delik Kejahatan dan Pelanggaran
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian tersebut didasarkan atas perbedaan prinsipil. Pembagian kejahatan disusun dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.
Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara. Ada tiga macam kejahatan yang dikenal dalam KUHP yakni:
(1) kejahatan terhadap Negara. Sebagai contohnya adalah Penyerangan terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang terdapat pada pasal 104 KUHP, Penganiayaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden pada pasal 131 KUHP, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 134 KUHP.
(2) kejahatan terhadap harta benda misalnya pencurian pada pasal 362 s/d 367 KUHP, pemerasan pada pasal 368 s/d 371 KUHP, penipuan pada pasal 406 s/d 412 KUHP. Menurut undang-undang pencurian itu dibedakan atas lima macam pencurian yaitu: (a) pencurian biasa pada apsal 362 KUHP, (b) pencurian dengan pemberatan pada pasal 363 KUHP, (c) pencurian dengan kekerasan pada pasal 365 KUHP, (d) pencurian ringan pada pasal 364 KUHP, (e) pencurian dalam kalangan keluarga pada pasal 367 KUHP.
(3) kejahatan terhadap badan dan nyawa orang semisal penganiayaan dan pembunuhan.
Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Pelanggaran dibagi tiga macam yakni:
(1) Pelanggaran tentang keamanan umum bagi orang, barang dan kesehatan umum. Misalnya, kenakalan yang artinya semua perbuatan orang bertentangan dengan ketertiban umum ditujukan pada orang atau binatang atau baarang yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian atau kerusuhan yang tidak dapat dikenakan dalam pasal khusus dalam KUHP.
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran:
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghhadapi pelanggaran hal itu tidak usah.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54).
4. Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran pidana satu tahun, sedangkan kejahatan dua tahun.
b.) Delik Dolus dan Culpa
Delik dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Contohnya terdapat pada pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Selain pada pasal 338 KUHP, terdapat pula contoh delik dolus lainnya yaitu, pasal 354 KUHPdan pasal 187 KUHP.
Delik culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (kelalaian). Contoh delik culpa yaitu pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Culpa dibedakan menjadi culpa dengan kesadaran dan culpa tanpa kesadaran. Culpa kesadaraan terjadi ketika si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, agan tepat timbul masalah. Sedangkan culpa tanpa kesadaran terjadi ketika si pelaku tidan menduga akan timbul suatu akibat, yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya akibat.
Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab selalu dianggap dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk kesalahan. Tidak adanya salamh satu dari keduanya tersebut berarti tidak ada kesalahan.
c.) Delik Commissionis dan Delik Ommisionis
Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure pertanggungjawaban pidana.
Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik ommisionis terdapat dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
d.) Delik Formil dan Delik Materiil
Delik Formil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Delik Materiil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, seperti pasal 35 KUHP tentang penganiayaan. Kadang-kadang suatu delik diragukan sebagai delik formil ataukah materiil, seperti tersebut dalam pasal 279 KUHP tentang larangan bigami.
e.) Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. Contohnya pasal 341 lebih ringan daripada pasal 342, pasal 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan daripada pasal 305 dan 306.
Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Dalam pasal 365 terhadap pasal 362, pasal 374 terhadap pasal 372.
f.) Delik Murni dan Delik Aduan
Delik murni yaitu delik yang tanpa permintaan menuntut, Negara akan segara bertindak untuk melakukan pemeriksaan. Berdasarkan pasal 180 KUHAP setiap orang yang melihat, mengalami, mengetahui, menyaksikan, menjadi korban PNS dalam melakukan tugasnya berhak melaporkan.
Delik aduan adalah delik yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan dibagi menjadi dua yaitu yang pertama murni dan yang kedua relatif.
g.) Delik Selesai dan Delik Berlanjut
Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat dan delik telah selesai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang pengahasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun pasal 330 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan sengaja menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur 12 tahun, dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Berdasarkan bunyi ayat (2) pasal ini, maka unsur kekerasan atau ancaman kekerasan merupakan hal yang memperberat pidana. Jadi, delik aslinya yang tercantum di ayat satu tidak perlu ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Contohnya, terdapat dalam pasal 221 tentang menyembunyikan orang jahat, pasal 333 tentang meneruskan kemerdekaan orang, pasal 250 tentang mempunyai persediaan bahan untuk memalsukan mata uang.

Kesimpulan
• Perbuatan pidana atau delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.
• Berdasarkan analisa, delik terdiri dari dua unsure pokok, yaitu: (a) Unsur pokok Subyektif dan (b)Unsur pokok Obyektif
• Macam-macam Delik
a.) Delik Kejahatan dan Pelanggaran
Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara.
Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
b.) Delik Dolus dan Culpa
Dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja.
Delik culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (kelalaian).
c.) Delik Commissionis dan Delik Ommisionis
Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana.
Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan.
d.) Delik Formil dan Delik Materiil
Delik Formil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang.
Delik Materiil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
e.) Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan.
Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan.
f.) Delik Selesai dan Delik Berlanjut
Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat dan delik telah selesai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang pengahasutan, pembunuhan, dan lain sebagainya.
Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Andi Hamzah. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta; Rineka Cipta
2. Andi Hamzah. 2009. Delik-delik Tertentu di dalam KUHP. Jakarta; Sinar Grafika
3. Moeljatno. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta; Rineka Cipta
4. Moeljatno. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta; Bumi Aksara
5. Tongat. 2009. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. Malang; UMM Press
6. Bambang Poernomo. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta; Ghalia Indonesia
7. Soeharto. 1991. Hukum Pidana Materiil. Jakarta; Sinar Grafika
8. R. Soesilo. 1984. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus. Bogor; Karya Nusantara
9. Zainal Abidin Farid. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta; Sinar Grafika
10. Djoko Prakoso. 1987. Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Yogyakarta; Liberty Yogyakarta
11. Leden Marpaung.1991. Unsur-unsur Perbuatan yang dapat dihukum. Jakarta; Sinar Grafika

Minggu, 13 Februari 2011

Harapan Untuk Sikap Pengadilan Pidana Internasional (ICC) Terhadap Terorisme

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa  pengeboman  terhadap gedung World Trade Center (WTC) di New York, pada tanggal 11 September 2001,  dimana peristiwa ini dikenal sebagai ”September Kelabu”, yang telah menewaskan sekitar 3000 orang.  Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.  Tiga pesawat komersil milik AS dibajak, dua diantaranya ditabrakkanan ke menara kembar Twin Towers, World Trade Centre  (WTC) dan gedung Pentagon.  Tak lama setelah peristiwa di Gedung WTC New York, AS terjadi, pada tanggal 12 Oktober 2002, muncul ledakan Bom  di Legian, Kuta, Bali,  yang telah menewaskan lebih 180 orang dan melukai lebih 200 orang.  Akibat dari tindakan terorisme tersebut  ribuan orang meninggal, trauma luar biasa dan cacat seumur hidup dalam waktu seketika. Beberapa lama setelah peristiwa ini terjadi, pada tanggal  17 Juli 2009, terjadi peristiwa ledakan bom di Jakarta. Peristiwa ini merupakan suatu pertanda bahwa teror masih merupakan ancaman yang serius khususnya bagi negara Indonesia dan bagi dunia global pada umumnya. 
 Kedua tragedi yang terjadi di atas telah mengingatkan kita akan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia yang selalu muncul secara tidak terduga dan eksplosif.  Tragedi ini adalah salah satu bukti nyata bahwa teror merupakan aksi yang sangat keji dan tidak memperhitungkan serta tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, martabat bangsa dan norma-norma agama.  Tragedi ini juga telah menunjukkan bahwa dunia telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan  (Humanity Values).  Bahkan,  tragedi ini juga telah mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi mereka yang telah menjadi korban dari tindak kejahatan terorisme.  Di sinilah teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas nilai-nilai kemanusiaan. 
Sebagai sebuah kejahatan yang fenomenal, terorisme bukanlah kejahatan yang biasa (Ordinary Crime),  namun merupakan sebuah kejahatan yang luar biasa (Extrordinary Crime), yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tanpa mengindahkan batas-batas wilayah, agama dan bangsa.   Terorisme juga merupakan kejahatan internasional karena  telah memenuhi tiga (3) elemen kejahatan internasional sebagaimana antara lain sebagai berikut: Pertama, memiliki pengaruh/ efek yang luas, tidak hanya terhadap satu negara atau satu wilayah saja akan tetapi juga memiliki efek transnasional.  Kedua, dan mungkin yang paling penting ialah dilakukan dan dipusatkan di dalam wilayah suatu negara yang kemudian menjurus pada ’state promotion’,’ state toleration’ atau ’state acquiesce’, sehingga alasan bagi penanganan secara internasional atau bilateral menjadi sangat beralasan atau dengan kata lain terdapatnya pengakuan, perlindungan atau bantuan dari negara.  Ketiga, telah merupakan persoalan komunitas internasional dan ancaman bagi perdamaian terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) disamping kejahatan perang (war crimes). Keempat,  perbuatan tersebut berskala luas dan serius.
Kemunculan terorisme sebagai jenis kejahatan internasional yang baru di dalam Hukum Pidana Internasional bukanlah merupakan sesuatu wajar karena pada dasarnya sifat kejahatan terorisme itu sendiri yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara. Terorisme sebagai kejahatan internasional telah melampaui batas-batas wilayah negara baik mengenai tempat terjadinya, akibat-akibat yang ditimbulkannya maupun tujuan kejahatan itu sendiri. Demikian pula para pelaku kejahatan terorisme itu sendiri bisa dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara (State Terrorism).
Dalam pandangan penulis, kejahatan terorisme dapat memenuhi ruang lingkup dan substansi dari hukum pidana internasional karena beberapa alasan  yaitu sebagai berikut: Pertama, jurisdiksi di dalam kejahatan terorisme meliputi lebih dari satu negara (sekurang-kurangnya 2 negara), hal ini tidak lain disebabkan karena kejahatan terorisme telah melampaui batas suatu negara (Transcend National Boundaries) sehingga akhirnya menjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia (threat to the peace). Kedua,  karena terorisme merupakan  suatu kejahatan transnasional, juga sekaligus sebagai kejahatan yang  luar biasa (Extra Ordinary Crime) dan bahkan sudah menjadi musuh bagi umat manusia (Hostis Humanis Generis),  maka  semua atau bagian terbesar negara-negara sangat berkepentingan untuk mencegah, memberantas dan menghukum para pelaku kejahatan terorisme ini.  Oleh karena itu negara-negara di dunia cenderung untuk mencegah dan memberantasnya melalui kerjasama internasional dan mengaturnya ke dalam konvensi-konvensi internasional.  Adanya pengaturan mengenai kejahatan terorisme yang diatur secara tegas di dalam berbagai instrumen-instrumen hukum internasional, khususnya di dalam resolusi-resolusi PBB yang berkaitan dengan terorisme, juga di dalam berbagai konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang kejahatan terorisme.  Adapun beberapa Konvensi Internasional yang mengatur tentang terorisme Internasional antara lain sebagai berikut:
  1. Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism 1937
  2. Convention on International and Punishment of Terrorism 1937 (Chicago Convention, 7 Desember 1944).
  3. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Humanity Internationally Protected Persons Including Diplomatic Agents, 1973.
  4. International Convention Against Taking of Hostages, 1979.
  5. Res. UNGA No. 34/154, 1979; measures to prevent International Terrorism which endanger or takes innocent human live or jeopardizes fundamental forms of terrorism and acts of violence which its in cause some people to sacrifice human lives including their own in an attempt to effeect radical chan
  6. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving Civil Aviation (Montreal Convention, 24 February 1988).
  7. Convention and Protocol from the International Against the Safety of Maritime Navigation (Rome Convention, 10 March 1988).
  8. Declaration on Measures to eliminate International Terrorism Res. UNGA No. 49/60, 1994). 
  9. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing 1997.
  10.  International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 
  11.  Berbagai Resolusi Majelis Umum PBB dan DK PBB dan Konvensi-Konvensi Regional. 
Ketiga, adanya suatu lembaga internasional yang dapat mengadili para pelaku kejahatan terorisme tersebut yaitu di dalam Pengadilan Pidana Internasional (ICC), dimana Pengadilan ICC ini didirikan khusus untuk mengadili  kejahatan-kejahatan serius antara lain Kejahatan Perang (War crimes), Kejahatan Genosida (Genocide), Kejahatan Agresi (Agression) dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime against Humanity).  Sayangnya, persoalan mengenai pemberantasan terorisme hingga saat ini belum menjadi salah satu kewenangan dari peradilan internasional, bahkan penanganan terorisme saat ini lebih ditekankan pada penegakan di level domestik, khususnya di dalam peradilan terhadap kejahatan terorisme , yang masih saja diserahkan pada lembaga pengadilan nasional, dan bukan pada lembaga pengadilan Internasional. Padahal terorisme merupakan salah satu calon yang potensial bagi kejahatan internasional baru yang materinya telah diatur dalam Hukum Pidana Internasional.
Kejahatan terorisme bukanlah kejahatan biasa (Ordinary Crime), bahkan bukan termasuk ke dalam kejahatan lintas-batas biasa (Cross-border crime). Meskipun istilah ”terorisme” tidak memiliki definisi yang legal, akan tetapi istilah tersebut menunjukkan adanya penggunaan tindakan kekerasan yang tidak sah untuk tujuan politik. Sayangnya, sejak terorisme dimotivasi secara politis, negara-negara menjadi target atau sasaran bahkan negara-negara juga menjadi sponsor terorisme.  Oleh karena adanya unsur yang bersifat politis di dalam kejahatan terorisme tersebut, maka munculnya ataupun adanya tekanan untuk melakukan proses peradilan Internasional yang  adil, dalam hal ini khususnya terhadap kejahatan terorisme, merupakan suatu hal yang dapat dimengerti, dan bahkan merupakan hal yang logis karena kejahatan terorisme memiliki  unsur-unsur politik.  Karena adanya aspek yang bersifat politik di dalam kasus-kasus terorisme Internasional, maka negara-negara-apakah mereka sebagai pelaku  (perpetrator states) atau sebagai sasaran (targeted states) yang menjadi pihak yang terlibat di dalam kasus ini, tidak diizinkan/tidak diperbolehkan untuk mengadili kasus-kasus yang mereka lakukan tersebut. Oleh karena itu, disaat negara Amerika Serikat menderita akibat serangan teroris-teroris pada tanggal 11 September 2001,  banyak yang menyarankan bahwa sebaiknya pengadilan dilakukan diluar pengadilan-pengadilan Amerika Serikat, atau di Negara-Negara Ketiga atau bahkan di dalam suatu pengadilan internasional. Hal ini disebabkan karena negara Amerika Serikat dipandang sebagai ”pihak yang terlibat konflik” (Party to the conflict) sehingga apabila peradilan dilakukan di dalam pengadilan Amerika Serikat, dikhawatirkan akan menjadi suatu pengadilan yang tidak netral. Karenanya itu sebagian berpendapat, terhadap kasus tersebut, sebaiknya diatasi oleh sebuah lembaga yang tidak dapat dipengaruhi oleh negara-negara yang terlibat oleh konflik yaitu dilakukan oleh sebuah pengadilan Internasional atau dilakukan oleh  Negara Ketiga yang melaksanakan Jurisdiksi Universal.  Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Negara Libya di depan International Court of Justice (ICJ) terhadap kasus ”Lockerbie”. Sebagai contoh, Hakim  Sahabudin selaku hakim Ad-hoc yang menangani kasus ledakan pesawat Pam Am di Lockerbie, Scotlandia, dan juga menangani negara-negara yang terlibat di dalamnya yaitu Libya, Amerika Serikat dan Scotlandia, menanyakan di depan pengadilan apakah  para para pelaku yang dituduh melakukan kejahatan tersebut dapat menerima peradilan yang jujur di Amerika Serikat.  Namun akhirnya hakim  Ad-hoc El-Kosheri menyatakan pendapatnya bahwa pelaku kejahatan yang melakukan peledakan tersebut tidak mungkin akan memperoleh peradilan yang jujur  baik di Amerika Serikat, di Inggris maupun di Libya. 
Berdasarkan kasus diatas maka menurut pandangan penulis untuk mendapatkan suatu keadilan di dalam menghadapi kasus-kasus semacam ini maka salah satu solusinya ialah bilamana terdapat  sebuah lembaga internasional yang dipercaya oleh negara-negara untuk menyelesaikan untuk menangani kasus-kasus tersebut, dalam hal ini ialah Pengadilan Pidana Internasional.   Akan tetapi  yang perlu diketahui adalah bahwat tidak semua negara memiliki keinginan untuk menyelesaikan kasus terorisme di dalam Peradilan ICC. Sebagai contohnya, salah satu negara yang menolak dilakukan peradilan internasional  terhadap kasus terorisme adalah Amerika Serikat yang menolak dibentuknya sebuah peradilan internasional untuk menangani kasus 11 September 2001.   
Selain itu, muncul kekhawatiran diantara sebagian negara-negara apabila terorisme diadili melalui suatu peradilan internasional dengan alasan-alasan berikut antara lain;  Pertama, negara yang dituduh mensponsori terorisme dikhawatirkan akan mempersoalkan keabsahan (legitimacy) dan netralitas (neutrality) dari lembaga-lembaga internasional (international institutions) yang memiliki wewenang untuk mengadili kasus tersebut.  Kedua, negara-negara yang menjadi sasaran terorisme juga tidak mau bergantung pada lembaga internasional untuk menangani kasus tersebut, dimana mereka mempersoalkan apakah lembaga internasional ini bisa berjalan efektif di dalam melakukan mekanisme pengadilan, khususnya bila negara yang menjadi sasaran terorisme tersebut telah memiliki sistem peradilan dan investigasi nasional yang maju dan  memiliki sumber-sumber daya yang baik untuk menyelesaikan kasus tersebut. Ketiga, negara-negara yang menjadi sasaran terorisme juga menyadari bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda; tidak semua negara memiliki sikap dan cara pandang yang sama di dalam menghadapi kejahatan terorisme.  Karenanya itu negara-negara yang terlibat dalam kasus terorisme tersebut merasa ragu dan khawatir bila menyerahkan kasus tersebut kepada suatu  pengadilan internasional yang mungkin saja memiliki  prioritas yang berbeda dari negara-negara yang terlibat kasus tersebut.  Keempat, negara-negara yang menjadi sasaran terorisme juga mungkin akan mempersoalkan apakah lembaga internasional yang menangani kasus terorisme tersebut mau berbagi mengenai pandangan-pandangan negara di dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Selanjutnya, di dalam hukum pidana internasional, penegakan hukum pidana internasional dalam bentuk proses menuntut dan mengadili para pelaku tindak pidana internasional ini dilakukan melalui  dua (2) cara yaitu: Penegakan Langsung (direct enforcement system) dan Penegakan Tidak Langsung (indirect enforcement system).   Penegakan hukum pidana internasional secara langsung  (direct enforcement system) adalah menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional melalui suatu lembaga peradilan internasional yakni oleh Pengadilan Pidana Internasional.  Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah suatu lembaga peradilan pidana internasional permanen yang memiliki jurisdiksi atau kewenangan untuk melakukan peradilan atas pelanggaran dan kejahatan interansional sebagaimana terdapat di dalam prinsip-prisip Peradilan Ad hoc Nuremberg. Lembaga ini berdasarkan Pasal 1-nya mempunyai wewenang untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional yang menjadi jurisdiksinya yaitu Kejahatan Genosida (Genocide), Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime against humanity), Kejahatan Perang (War crimes) dan Agresi (Agression).
Namun yang menjadi persoalan penting di dalam Pengadilan ICC ialah apakah Pengadilan ICC hendak atau tidak untuk memasukkan kejahatan terorisme ke dalam jurisdiksinya  Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut pandangan penulis, Pengadilan ICC (International Crime Court ) merupakan forum yang tepat untuk mengadili kejahatan terorisme.  Mengapa Pengadilan ICC?  Karena Pengadilan ICC memiliki jurisdiksi atau kewenangan untuk  mengadili kejahatan-kejahatan serius terhadap kemanusiaan (kejahatan HAM berat seperti Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi).  Pembentukan ICC ini serta merta merupakan upaya bersama negara-negara di dunia untuk mengadili dan menghukum para penjahat HAM berat. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam Statuta Roma 1998 (Rome Statute) dimana statuta ini secara eksplisit menegaskan bahwa pelaku kejahatan-kejahatan yang paling serius tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum, dan penghukuman secara efektif hanya dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan pada level nasional dan kerjasama internasional.  Meskipun pengadilan pidana internasional tidak memiliki jurisdikisi terhadap kejahatan-kejahatan terorisme akan tetapi karena terorisme internasional merupakan kejahatan internasional namun setiap negara yang berdaulat dapat mengkriminalisasi kejahatan terorisme  ke dalam kejahatan  kemanusiaan.  Hal ini dikarenakan hukum internasional baik dalam bentuk konvensi maupun dalam bentuk resolusi DK PBB serta hukum kebiasaan internasional yang berkembang untuk menentang terorisme telah menempatkannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan-kejahatan terorisme dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC hanya bila pelaku kejahatan terorisme tersebut juga dapat melakukan Genosida, Kejahatan Perang atau Kejahatan terhadap Kemanusiaan, karena ketiga jenis kejahatan tersebut merupakan  jurisdiksi dari ICC. Oleh karenanya itu, apabila sebuah tindakan terorisme mengandung elemen atau unsur dari ketiga jenis kejahatan tersebut maka tindakan terorisme dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC.
Namun sayangnya, hingga saat ini Pengadilan ICC tidak memiliki kewenangan untuk mengadili kasus terorisme internasional, sebab kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam jurisdiksi ICC telah dibentuk di dalam Pasal 5 Statuta ICC (Rome Statute 1998) antara lain yaitu; Kejahatan Genosida,  Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi.  Dengan demikian,  yang menjadi persoalan adalah bagaimana caranya agar terorisme internasional dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan revisi (amandemen) terhadap Statuta Roma.  Sesuai dengan prosedur yang telah diatur di dalam Pasal 121 dan 123 Statuta Roma maka kejahatan terorisme hanya dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC melalui cara amandemen, yang dapat terjadi tidak kurang dari 7 tahun setelah Statuta ICC tersebut berlaku (entry into force). Terlebih lagi, bila amandemen tersebut dilakukan oleh Statuta ICC,  maka hanya akan mengikat negara-negara yang menerima amandemen tersebut. 
Sebagai contoh,  pada 1 Juli 2009, Sekjen PBB dapat melakukan sebuah konferensi untuk meninjau ulang (review) apakah amandemen terhadap Statuta ICC merupakan hal yang tepat. Menurut Pasal 123 ayat (1) tinjauan (review) terhadap Statuta ICC tersebut tidak hanya dibatasi pada daftar kejahatan-kejahatan internasional yang telah dimasukkan ke dalam Pasal 5 Statuta ICC. Apabila Statuta ICC diamandemen pada masa yang akan datang untuk memasukkan kejahatan-kejahatan terorisme, maka kapasitas ICC  untuk mengadili  kejahatan-kejahatan internasional  (selain dari jenis kejahatan-kejahatan yang telah diatur dalam Statuta ICC) akan lebih besar. Dengan demikian,  Statuta Roma 1998 secara eksplisit menyiratkan bahwa jurisdiksi material ICC bisa saja diperluas sehingga mencakup kejahatan-kejahatan lain.  Hal ini telah dinyatakan di dalam Pasal 121 ayat (5) dari Statuta  ICC yang menyatakan sebagai berikut;  ” In respect of a State Party which has not accepted the amendement , the Court shall not exercise its Jurisdiction regarding a crime covered by the amandment when committed by the States Party’s nationals or on its territory”. The ICC treaty amandment process is based on the vote of a super-majority of ICC states parties”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jurisdiksi hanya dapat dilakukan terhadap negara-negara yang menerima amandemen.  Bila negara-negara pihak tidak menerima amandemen maka ICC tidak dapat melaksanakan jurisdiksinya.  Amandemen Statuta ICC hanya dapat dilakukan berdasarkan voting atau pungutan suara dari sebagian besar negara-negara pihak ICC. Dengan kata lain, Statuta ICC hanya dapat memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan terorisme yang dimasukkan melalui amandemen hanya bila kejahatan tersebut dilakukan warga negara dan di negara yang telah menerima amandemen tersebut.  
Dalam pandangan penulis, pengadilan ICC dapat menjadi sebuah forum yang efektif untuk melakukan suatu peradiuan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan terorisme. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan-alasan yang mendasarinya yaitu antara lain sebagai berikut:
  1. Pertama, adanya keuntungan-keuntungan yang didapatkan negara-negara. Negara-negara yang lebih kecil akan mendapatkan keuntungan apabila kejahatan-kejahatan terorisme dimasukkan ke dalam Statuta ICC karena akan dapat mengurangi sumber dana untuk mengadili para teroris. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara-negara seperti Egypt, Algeria, Filipina, atau Rusia, yang notabene adalah negara-negara yang memiliki persoalan-persoalan serius dengan para teroris, kurang mampu untuk mengadili para pelaku terorisme (teroris-teroris) ke pengadilan.  Dengan demikian jelaslah bahwa negara-negara ini tidak memiliki potensi atau kemampuan seperti negara AS untuk melaksanakan tugas operasi jarak jauh.  Bila Pengadilan ICC dapat melaksanakan jurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan terorisme, maka dapat mengurangi dana finansial yang dipergunakan dalam proses mengadili para pelaku terorisme, oleh negara-negara yang lebih kecil.
  2. Kedua, Pengadilan ICC merupakan lembaga atau institusi yang netral pada tingkat internasional.  Hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) huruf a  dalam Statuta ICC yang menyatakan bahwa hakim-hakim yang bekerja di dalam ICC;“ shall be chosen from among persons of high moral character, impartiality and integrity”. Ini menunjukkan  bahwa hakim-hakim yang bekerja di dalam pengadilan ICC adalah orang-orang yang terpilih dengan karakter moral yang baik, jelas dan memiliki integritas.  Selain itu dalam pasal 36 ayat (8) huruf a bagian (ii) Statuta ICC juga menjamin bahwa hakim-hakim tersebut telah dipilih menurut perwakilan secara geografik.  Netralitas dari pengadilan ICC akan memberikan manfaat  yaitu peradilan yang lebih efektif  terhadap para teroris. Dengan demikian hal ini akan memberikan kemungkinan bagi para teroris untuk  tidak melarikan diri ke tempat yang aman  di negara-negara yang sistem pengadilannya tidak baik atau negara yang tidak mau (unwilling) mengadili para teroris tersebut.
  3. Ketiga, jurisdiksi material ICC dapat diperluas terhadap kejahatan-kejahatan terorisme. Pada dasarnya pengadilan ICC tidak memiliki jurisdiksi secara eksplisit untuk mengadili teroris-teroris. Demikian juga beberapa sarjana dan ahli hukum membantah bila teroris-teroris dapat diadili karena melakukan kejahatan perang ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu hal ini masih menjadi persoalan dan perdebatan diantara  sarjana-sarjana dan ahli hukum.  Meskipun demikian teroris-teroris tersebut dapat diadili dengan tuntutan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against Humanity).   Setiap negara yang berdaulat dapat mengkriminalisasi kejahatan terorisme ke dalam kejahatan kemanusiaan. Hal ini dikarenakan hukum internasional baik dalam bentuk Konvensi maupun dalam bentuk Resolusi DK PBB serta hukum kebiasaan internasional yang berkembang untuk menentang terorisme, telah menempatkannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.  Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 7 dari Statuta Roma 1998 yang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan berkaitan dengan unsur-unsur dari kejahatan tersebut, dimana serangan yang dilakukan harus ditujukan kepada penduduk sipil dan merupakan bagian dari serangan yang luas atau sistematis, yang dilakukan sebagai bagian di dalam kebijakan negara atau kebijakan yang terorganisir.  Pasal 7 ayat (1) dari Statuta Roma 1998 mengutuk serangan-serangan  yang luas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipilPasal 7 ayat (2) menggambarkan “serangan “ tersebut sebagai;“A course  of conduct involving the multiple commission of acts…pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such an attack”.  Di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a menunjukkan adanya kemungkinan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam konteks “sebuah kebijakan yang terorganisir”. Hal ini telah menandakan bahwa Hukum Kebiasaan Internasional telah berkembang dan saat ini telah memasukkan non state actor sebagai organisasi-organisasi teroris.  Dengan demikian, sebenarnya jurisdiksi ICC dapat diperluas terhadap organisasi-organisasi teroris.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis berkesimpulan  bahwa kejahatan terorisme dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC karena memiliki dasar teoritis dan juridis yang kuat di dalam khususnya dalam tataran internasional.  Adapun hal-hal yang mendasari kejahatan terorisme untuk dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC menurut penulis adalah karena beberapa alasan sebagai berikut yaitu;  Pertama, dengan adanya definisi terorisme yang terdapat di dalam  berbagai konvensi-konvensi internasional tentang terorisme telah menunjukkan bahwa ketiadaan definisi universal dari terorisme tidak dapat menhalangi terorisme untuk dimasukkan ke dalam Jurisdiksi ICC.  Kedua, apabila terorisme dimasukkan ke dalam Jurisdiksi ICC maka terorisme harus dibedakan dari kejahatan-kejahan inti (Core Crimes) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 Statuta ICC (Genocide, War Crimes, Crime Against Humanity) agar dapat memudahkan Pengadilan ICC di dalam  proses penuntutan, peradilan dan penjatuhan hukuman kepada para teroris.  Ketiga, adanya berbagai Konvensi-Konvensi Internasional tentang terorisme dapat  dijadikan Hukum Kebiasaan Internasional (International Customary Law), yang dapat dijadikan acuan atau dasar untuk mengadili individu-individu yang melakukan kejahatan terorisme Internasional yakni para teroris.
.


Pengikut