Selasa, 29 November 2011

BIARKAN PANCASILA BERNAFAS


BIARKAN PANCASILA BERNAFAS
Oleh:
Dwi Nofi Andhiyantama
Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Widyagama Malang

            Bukan suatu hal yang layak untuk diperdebatkan lagi bahwasanya Negara Republik Indonesia tersiri dari ribuan suku dan juga kebudayaan yang berbeda. Juga merupakan pakem bersama bahwa dibutuhkan suatu tali pengikat demi kesatuan bangsa yang juga harus mendasarkan pada semangat “musyawarah”, menurut hemat penulis semangat musyawarah ini jika ditilik jauh lebih lengkap tatarannya daripada suatu demokrasi. Mengapa penulis berkata demikian? Hal ini sesuai dengan apa yang penulis pahami selama perjalanan, bahwa suatu musyawarah dengan tujuan mufakatnya dapat dipatenkan bahwa seluruh pihak yang kalah karena pendapatnya tidak tersaring dapat menerima dengan ikhlas juga mendukung dari keputusan yang diambil karena menurutnya sama baiknya. Berbeda dengan demokrasi yang dipakemkan dengan pilar dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Atau kalau dipecah secara bahasa “demos” yang berarti rakyat dan juga “kratio” yang artinya pemerintahan. Jadi pemerintahan oleh rakyat, sedang wujud nyata dan konkret dari demokrasi ini pasca tidak adanya lagi model “City State” dimana akhirnya berubah menjadi demokrasi perwakilan/demokrasi tidak langsung, nyata citanya tidak dapat menjaring suatu kebutuhan akan kepuasan masing-masing individu seperti apa yang ditanamkan oleh sebuah musyawarah. Demokrasi pada hari ini hanya nampak pada PEMILU dan itupun hanya lebih mirip dengan voting belaka.
            Sengaja penulis memilih judul “Biarkan Pancasila Bernafas” tersebut dengan melihat fakta yang telah sekelumit penulis gambarkan yang mana gambaran umumnya telah banyak kita ketahui. Bicara masalah musyawarah sejatinya kita akan bicara masalah pancasila,yaitu terdapat 5 sila pokok bagi nafas bangsa ini yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Kita mungkin tahu pada zaman berdirinya Republik ini banyak sekali usulan untuk menjadikan dasar filosofis bangsa ini. Dimana pada akhirnya ditemukan kesepakatan(pada hal ini penulis belum yakin apakah benar sepakat atau hanya kalah “voting” belaka saja) dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar filosofis negara kita. Namun tragedi “bengis” terjadi dimana “baju” Pancasila digunakan untuk melacurkan diri guna memperoleh atau setidaknya mencapai stabilitas pemerintahan oleh penguasa belaka.
            Mengapa penulis berani mengatakan melacurkan baju Pancasila? Dapat kita ketahui dari zaman orde lama, orde baru, sampai pada era reformasi ini. Pada orde lama, Pancasila yang digaungkan ternyata menjadi baju untuk paham Sosialisme, pada orde baru menjadi baju Otoriterianisme(sebagian ada juga yang mengatakan menjadi baju Kapitalisme), pada era inipun Pancasila menjadi baju dari Neo-Liberalisme. Lalu karena tertelanjanginya roh Pancasila ini maka banyak pihak menjadi pesimistis terhadap Pancasila, bahkan banyak pula yang merujuk untuk dibuyarkannya pancasila sebagai dasar filosofis dan diganti oleh paham yang lain. Apakah ini suatu kesalahan? Tentu saja tidak, setidaknya menurut penulis. Hal tersebut menjadi wajar karena tubuh Pancasila yang nyata sampai saat ini tidak pernah dimunculkan oleh para penguasa, nama Pancasila hanya menjadi label dalam dagangan mereka demi memenangkan voting tersebut diatas.  Dimuka tadi penulis sempat menyinggung perbedaan musyawarah dan juga demokrasi, dan juga penulis sempat meragukan apakah saat pemilihan pancasila sebagai dasar filosofis negara kita ini adlah sesuai dengan kesepakatan dimana semua pihak setuju dan ikhlas atau dalam bahasa jawa “Lego Lilo” atau hanya sekadar kalah voting belaka. 
            Pada hari ini saja kalau kita bawa keranah macam agama yang diakui di Indonesia(penulis memilih mengambil contoh agama karena penulis anggap perbedaannya paling sedikit dibanding dengan suku/budaya yang tak terhitung) yaitu ada 6: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Seumpama kita mendasarkan dasar filosofis bangsa kepada salah satu agama saja, maka agama yang lain juga akan dengan keras memprotes atau bahkan menentang. Karena mereka memaknai apa yang meraka yakini adalah yang terbaik. Begitu pula apabila mendasarkan filosofis bangsa ini pada suatu suku ataupun budaya maka akan lebih banyak lagi yang akan protes.  
            Maka dibutuhkan suatu stimulan bersama demi terakomodirnya intisari pemikiran dari sandaran-sandaran tersebut, yang mana tidak lain adalah Pancasila.  Sayangnya karena terlacurkannya Pancasila ini rasa manis dari Pancasila belum dapat kita kecup hingga banyak pihak beranggapan Pancasila itu ternyata hancur dan layak untuk diganti dengan sandaran lain. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah kalau sandaran baru tersebut diterapkan bukankah malah menjadikan suatu gejolak penolakan yang besar? Penulis rasa iya, karena kita tidak terdiri dari masyarakat yang homogen tetapi adalah heterogen.
            Pancasila merupakan kolam bersama bagi setiap penduduk di Indonesia dengan latar belakangnya masing-masing dimana setiap individu memiliki hak yang sama. Pancasila juga merupakan perahan dari ajaran pokok dari setiap agama, suku, budaya, dll yang hidup di Indonesia. Jadi kalau ada pihak yang mengatakan Pancasila itu sudah usang dan tidak layak lagi bukankah berarti setiap pemikiran individu di Indonesia ini sudah tidak layak? Adakah suatu ajaran yang berlawanan dengan pancasila? Nyatanya sikap perlawanan terhadap Pacasila yang timbul pada akhir-akhir ini tidak dapat menunjukan ajaran Pancasila yang mana yang bertentangan dengan paham yang mereka anut tersebut. Jujur kita belum menikmati Pancasila tersebut, hingga memang wajar timbul berjuta kekecewaan dan skeptisme terhadap Pancasila, karena yang kita nikmati adalah Pancasila-pancasila-an atau pancasila gadungan yang intinya bukan Pancasila. Sempat penulis mendengar guyonan akan carut marutnya sistem hukum di Indonesia, guyonan tersebut mengatakan “Ini adalah sistem hukum Pancasila” meski hanya suatu guyonan namun penulis sempat terpikir apakah seperti ini buruknya Pancasila dimata masyarakat.
            Wajar karena kita tidak pernah merasakan Pancasila. Mungkin pada hari ini sudah saatnya bagi para penguasa sebagai tokoh utama untuk merefleksikan kembali guna memberikan kesempatan Pancasila untuk bernafas dan mohon jangan diperkosa Pancasila itu sendiri.  Dan juga tugas kita sebagai Grass Root adalah membenahi sistem yang terkesan Pancasila ini guna menjadi Pancasila yang nyata, agar tak terjadi suatu sikap skeptisme terhadap Pancasila dan menentangnya. 

Rabu, 16 November 2011

Perlindungan Hukum Kepada Advokat Pra dan Pasca Lahirnya UU. No. 18 Tahun 2003


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang    
            Dalam perjalanan kehidupan Bangsa Indonesia, salah satu tuntutan reformasi pada tahun 1998 adalah terciptanya suatu supremasi hukum yang mana pada era sebelumnya sempat terkesampingkan. Namun bila kita cermati hingga hari inipun supremasi hukum yang ada masih menjadi suatu hal yang terimpikan belaka. Berlarut-larutnya penyelesaian krisis multi dimensi salah satunya disebabkan oleh terjadinya kekacauan hukum (judicial disarray) yang menuntut untuk segera dilakukan reformasi dalam bidang hukum dengan melakukan perubahan dan pembaharuan total terhadap seluruh sistem hukum (legal system) dan penegakan hukum (law enforcement), terutama terhadap lembaga dan aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat[1]. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
            Oleh karena itu, selain pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman juga harus mendukung terlaksananya kekuasaan kehakiman yang merdeka[2]. Dalam memenuhi kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia[3]. Advokat merupakan profesi yang mulia dimana seringkali profesi ini disebut sebagai officium nobile, penamaan tersebut bukanlah tanpa alasan, hal itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan[4]. Begitu mulia dan pentingnya profesi advokat sehingga dalam Pasal 5 UU No 18 Tahun 2003 memberikan status sebagai Penegak Hukum.   Maka advokat adalah sejajar dengan penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, maupun hakim, tetapi apabila kita tarik kebelakang, UU advokat ini sendiri baru disahkan pada tanggal 5 April 2003 dan dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49. Sebelum UU tersebut disahkan adalah sangat ironi bagian penegak hukum yang tidak memiliki dasar hukum dan juga tidak ada ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap profesi advokat[5]. Seringkali advokat tersandung beberapa permasalahan hukum akan suatu hal-hal yang hanya besifat teknis belaka, karena tidak ada perlindungan padanya. Dalam UU No 18 Tahun 2003 terutama dalam pasal 14, 15 dan 16 advokat telah mendapatkan jaminan secara normatif dan memiliki hak imunitas sepanjang tetap berpegang pada kode etik profesi. Demi memuaskan keinginan penulis guna menggali pemahaman perihal problematika yang telah tertoreh dari uraian diatas maka penulis tertarik membahas perihal “PERLINDUNGAN HUKUM ADVOKAT SEBELUM DAN SETELAH UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT” dan agar mendapatkan sumber kajian yang nyata maka penulis memilih untuk melakukan praktek magang di “KANTOR ADVOKAT HARIS FAJAR, SH & ASSOCIATESS”.

B. Rumusan Masalah
Berdasar Latar Belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka penulis menarik rumusan masalah, sbb :
1.      Bagaimanakah pengertian advokat menurut UU. No 18 Tahun 2003 ?
2.      Bagaimanakah perlindungan hukum sebelum dan setelah UU. No 18 Tahun 2003 tentang Advokat ?


















BAB II
HASIL TEMUAN

            Kantor Advokat HARIS FAJAR, SH & Associatess, berdiri di Jalan Kawi No.33 Kota Malang. Kantor advokat ini pada mulanya beralamat di Jl. Kauman Malang pada tahun 1994, setelah 2 tahun tepatnya tahun 1996 berpindah kembali di Jl. Letjen S Parman 95 Malang. Kemudian pada awal tahun 2003 hingga sekarang Kantor Advokat HARIS FAJAR SH & Associatess ini berkantor di Jalan Kawi No.33 Kota Malang.
            Kantor Advokat HARIS FAJAR, SH & Associatess ini terdiri dari 3 orang, dengan 2 orang Advokat dan juga 1 orang staff, yaitu:
1.      Haris Fajar Kustaryo, SH         (Advokat)
2.      Meftahurrohman, SH               (Advokat)
3.      Didik S. Yanto, SE                   (Staff)
            Dalam Kantor Advokat HARIS FAJAR, SH & Associatess, mekanisme kerjanya adalah, pertama kali seorang klien ditemui oleh salah satu advokat yang ada ataupun staffnya. Lalu klien tersebut menceritakan duduk perkara yang ia alami tersebut. Setelah terjadi suatu kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akan dibuatlah surat kuasa yang menyatakan klien memberikan kuasa kepada advokat guna bertindak menemui pejabat sipil maupun militer dan juga menandatangani dan membuat surat gugatan maupun surat-surat lain, membuat perdamaian, mengajukan dan menolak bukti, serta melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan si pemberi kuasa. Setelah itu sang klien akan selalu mendapat pendampingan penuh dalam menjalani proses hukum sampai selesai sesuai surat kuasa.
            Sebagai Kantor Advokat senior, pelbagai macam kasus besar telah berhasil ditangani baik itu perkara pidana, perdata maupun tata usaha negara. Selama mengikuti kegiatan magang tersebut kegiatan yang dilakukan penulis adalah diskusi perihal masalah hukum yang aktual dan faktual, mengikuti agenda-agenda persidangan, bahkan sampai mengikuti agenda mediasi. Tidak hanya itu saja penulis juga diberi kebebasan bertanya seputar persoalan hukum dan juga seringpula dikenalkan dengan tokoh-tokoh praktisi hukum yang lain.
            Disamping itu tugas-tugas juga diberikan guna mengasah kemampuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama proses magang berlangsung, diantaranya membuat surat kuasa, surat gugatan, sampai diajarkan pula cara mendaftarkan suatau perkara dalam persidangan. Dengan pengalaman di dunia kepengacaraan yang telah sangat lama membuat Kantor Advokat tersebut sangat paham betul akan permasalahan yang akan penulis gali informasinya terkait dengan  “Perlindungan Hukum Advokat Sebelum Dan Setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat”.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian advokat dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003
            Istilah advokat di Indonesia sering pula disebut dengan Pengacara, Lawyer, Konsultan Hukum, dll. Di Inggris istilah yang digunakan adalah barrister atau solicitor sedangkan di Amerika lebih dikenal dengan istilah Attorney at Law. Dalam perkembangannya di Indonesia advokat lebih dikenal sebagai Kuasa Hukum dan juga Penasehat Hukum. Penggunaan istilah tersebut memiliki perbedaan, yaitu untuk ranah pidana lebih dikenal dengan istilah Penasehat Hukum. Sedang dalam ranah hukum perdata dikenal dengan istilah Kuasa Hukum. Kata Advokat itu sendiri bermula dari bahasa Inggris yaitu Advocare yang berarti penyokong atau penganjur. Dalam kamus hukum advocaat/ advocaat en procureur bahasa aslinya belanda yang artinya penasehat hukum dan pembela perkara atau pengacara[6].
            Apabila kita merujuk pada pasal  (1) huruf (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Guna menjadi seorang advokat setelah lahirnya Undang-undang No. 18 tahun 2003 haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur khusus olehnya, diantaranya pada pasal 2 Undang-undang No. 18 tahun 2003 yang mendalilkan :
1.      Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
2.      Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
3.      Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Yang mana dilanjutkan oleh pasal 3Undang-undang No. 18 tahun 2003, yang mengatur :
1.      Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)      warga negara Republik Indonesia;
2)      bertempat tinggal di Indonesia;
3)      tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4)      berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
5)      berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
6)      lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7)      magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
8)      tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
9)      berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
2.   Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)          dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan         persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian pasal 4 dalam undang-undang yang sama ini juga mengatur:
  1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
  2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut : … dst
            Dalam pasal-pasal tersebut secara garis besar dapat kita tarik sebuah kesimpulan yaitu bahwa seseorang untuk dapat menjadi seorang pengacara memeiliki latar belakang sarjana hukum, kemudian mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat, dan bila telah memenuhi syarat setelah dilantik sebagai Advokat maka Advokat yang bersangkutan wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Seorang advokat setelah ia menyatakan sumpahnya sebagai seorang advokat maka ia telah menyandang gelar sebagai seorang penegak hukum, advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan[7].             Dalam pasal-pasal tersebut disebutkan tentang adanya suatu organisasi advokat,  Pasal 28 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat memberikan pengertian, yaitu”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”. Dalam perjalanannya yang terpilih guna menjadi perwujudan organisasi advokat ini adalah PERADI yang pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara[8].
            Pemilihan PERADI menjadi wadah tunggal advokat ini bukanlah berjalan secara mulus, setelah diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat, organisasi advokat  masih terjadi perpecahan yaitu antara Perhimpunan Advokat Indonesia(PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia(KAI)[9]. Perpecahan tersebut terjadi disebabkan keduanya saling mengklaim bahwa merekalah wadah yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut.
            Namun menurut Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Harifin Tumpa,  Mahkamah Agung telah menyatukan dua organisasi advokat dalam satu wadah bernama PERADI, pihaknya menggabungkan kedua lembaga tersebut sudah sesuai kesepakatan[10]. Yang perlu dicermati bersama jangan sampai dengan adanya perpecahan ini menjadikan suatu kemunduran dalam khasanah penegakan hukum di Indonesia. Sejatinya Undang-undang advokat ini telah memberikan perlindungan hukum terhadap advokat yang lebih intensif lagi dalam menjalankan profesinya.
            Perlu diketahui bahwa dalam melakukan profesinya, seorang advokat haruslah tetap berpegang kepada kode etik dan juga peraturan perundang-undangan. Seorang advokat haruslah memiliki kepribadian yang Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya[11]. Keharusan bagi setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil dengan berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat Indonesia tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he who pays the piper calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku tersebut adalah pelacuran profesi advokat[12]. Dalam pensucian proses penegakan hukum terutama dalam bidang pemberian jasa hukum, wajiblah bagi setiap advokat untuk dapat bersikap secara positif-kontruktif dengan menegakan hukum yang berjiwa keadilan.
            Seorang advokat yang bersikap negatif-desktratif, dengan menyalahgunakan hukum, sehingga akhir-akhir ini muncul tuduhan adanya “mafia peradilan”, penyelewengan hukum, kolusi hukum dan penasehat hukum yang pinter-busuk (“advocaat in kwade zaken”) yang memburamkan Negara kita sebagai Negara hukum[13].  Advokat merupakan pilar penting dalam dinamika hukum di Indonesia, karena advokat juga memiliki peran untuk memberdayakan masyarakat akan hak-hak mereka di depan hukum, dimana hal tersebut sangatlah berperan penting demi tegaknya supremasi hukum di Negara ini.
B. Perlindungan hukum terhadap advokat sebelum dan setelah UU. No 18 Tahun 2003 tentang       Advokat
            Berbicara tentang perlindungan hukum terhadap advokat seyogyanya terlebih dahulu membahas sejarah advokat di Indonesia. Sejarah advokat di Indonesia berawal pada masa kolonial Belanda(Hindia-Belanda), maka sudah barang tentu apabila corak advokat Indonesia terpengaruh oleh corak advokat Belanda. Hal ini terkait dengan sistem hukum Civil Law yang dibawa oleh Belanda. Di Indonesia sampai pertengahan tahun 1920-an, semua Advokat dan notaris adalah orang Belanda. Hal ini pula yang mempengaruhi mengapa perkembangan Advokat pasca kemerdekaan Indonesia masih berjalan lambat. Pada zaman tersebut pengaturan perihal advokat ditititk beratkan pada kehendak eksekutif bukan kehendak hukum itu sendiri[14]. Advokat pertama di Indonesia yang merupakan asli pribumi pada saat itu adalah Mr. Besar Martokusumo.
            Saat pihak Belanda merampas daerah pedalaman di Jawa, kaum kolonial mendirikan suatu pemerintahan tidak langsung dengan memanfaatkan edekatannya dengan para priyayi di tanah jawa. Jadi secara kasat mata nampaknya para priyayi-lah yang masih berkuasa, namun sejatinya kaum koloniallah yang memerintah. Namun terjadi perubahan pada pertengahan abad kesembilan belas, Belanda mengubah kebijaksaan kolonialnya dengan lebih legalitas. Dimulai pada akhir tahun 1840-an, beberapa kitab undang-undang baru diundangkan organisasi dan kebijaksanaan kehakiman dikembangkan dan dibenahi, serta pemerintahan dirasionalisasi dengan hukum dan peraturan yang cocok. Dengan demikian rechtsstaat diperkenalkan di tanah jajahan, meskipun hanya berorientasi pada kepentingan kolonial[15]. Di era abad ke 20 pemerintah kolonial saat itu mengambil langkah kebijakan etis yang bertujuan peningkatan kesejahteraan dan juga kemakmuran sosial bagi golongan pribumi. Namun sayangnya hal tersebut gagal tercipta. Pada masa itu profesi advokat berdiri atas dasar hukum :
·         Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
·         Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang Advokat atau procureur.
·         Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
·         Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
·         Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”.
·         Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilan oleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
·         Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain[16].
            Zaman kependudukan jepang, tidaklah terlalu memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan dunia advokat. Hal ini dapat diketahui dari masih digunakannya pengaturan perihal advokat di masa kolonial. Terlebih pada KUHP yang masih menggunakan Wetboek Van Strafrecht voors Nederlands Indie. Pengaturan profesi Advokat masih tersebar dalam pelbagai ketentuan warisan kolonial Belanda. Bahkan pengaturan profesi Advokat sejak proklamasi 17 Agustus 1945 justru kurang mendapat perhatian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah Advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945. Demikian pula pada UUD RIS 1949 yang digantikan dengan UUDS 1950[17].
            Ketika era demokrasi terpimpin di masa pemerintahan Soekarno, para advokat terkena imbas baik secara ekonomis maupun ideologis. Hal ini terjadi karena pada masa itu, seringkali advokat membela kliennya yang berseberangan dengan Soekarno. Aroma campur tangan Soekarno di ranah peradilan ini terjadi dengan sistematis dengan bukti diperbolehkannya kasus tertentu. Pasca rezim Soekarno, bukan berarti advokat dapat terbebas dalam melakukan pembaharuan-pembaharuan hukum. Hal ini salah satunya dipicu karena konflik internal di organisasi advokat itu sendiri.
            Memang suatu sindiran yang sangat menyindir, dikala Indonesia pada masa itu sedang dilanda krisis supremasi hukum, landasan kepada advokat sendiri juga masih nampak kabur dan celakanya banyak sekali campur tangan pihak penguasa. Adnan Buyung Nasution menjelaskan bahwa profesi advokat adalah free profesional kebebasan profesi tidak sekedar demi profesi advokat itu sendiri, melainkan juga guna mewujudkan kepentingan yang lebih luas yaitu terciptanya lembaga peradilan yang bebas independen judiciary yang merupakan prasyarat dalam menegakan rule of law dan melaksanakan nilai-nilai demokrasi[18]. Namun pada masa tersebut, masih ada secercah perihal pengaturan advokat yang terkandung secara tersirat dalam perbagai peraturan, diantaranya:
·         UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum
·         UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 42 memberikan istilah pemberi bantuan hukum dengan kata PEMBELA.
·         UU Drt. Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Penyelenggaraan Kekuasaan dan Acara Pengadilan sipil, memuat ketentuan tentang bantuan hukum bagi tersangka atapun terdakwa.
·         UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum
·         UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka pengadilan
·         UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74 mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
·         UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, mengakui keberadaan penasehat hukum dalam memberi bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa.
·         Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, dan sebagainya
            Bahkan apabila kita  merujuk pada pasal 38 UU. No. 14 Tahun 1970 sejatinya merujuk pada agar dibentuklah suatu pengaturan berupa Undang-undang perihal advokat. Miris rasanya setelah 33 tahun barulah amanat tersebut tercapai. Setelah lahirnya UU. No. 18 Tahun 2003 profesi advokat dapat sedikit bernapas lega, pasalnya advokat telah berdasar hukum yang jelas dan dirinya telah disamakan dengan para penegak hukum lainnya. Selain itu advokat-pun juga dapat memperluas wilayah praktek kerjanya, perlu diketahui sebelum adanya UU No. 18 Tahun 2003 ini advokat dibedakan menjadi 2, yaitu: Pengacara dan Pengacara Praktek, perbedaan keduanya terletak pada luasnya cakupan wilayah kerjanya, seorang pengacara praktek hanya dapat beracara dalam satu provinsi tempat domisilinya saja, kalau mereka akan beracara lintas provinsi maka harus mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Tinggi dan hanya berlaku untu satu perkara saja, sedang pengacara adalah seorang advokat yang memiliki ruang lingkup wilayah kerja secara nasional[19]. Dengan semakin dimuliakannya advokat dari sejarah kelamnya sungguh diharapkan akan dapat membawa cita supremasi hukum di Indonesia dapat terjunjung tinggi.












BAB IV
PENUTUP
            Bersandar pada uraian yang telah dikemukakan diatas dapat ditarik suatu benang merah bahwasanya profesi advokat merupakan profesi yang mulia, bebas, mandiri dan juga bertanggung jawab. Guna terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum untuk semua pencari keadilan. Juga berperan penting sebagai tokoh pendidikan hukum kepada mayoritas masyarakat yang masih buta hukum sehingga masyarakat seringkali ter-dzolimi. Advokat sebagai penegak hukum dalam menjalankan profesinya telah terpayungi suatu payung hukum yang mana adalah buah penantian dari puluhan tahun bagi para advokat, dalam menjalankan profesinya advokat memiliki kebebasan yang mana tetap berpegang teguh pada kemandirian, kejuuran dan juga kerahasiaan.















DAFTAR PUSTAKA
a. Buku                                   :
Frans Hendra Winata, 1995, “Advokat Indonesia Citra Idealisme dan Keprihatinan”, Sinar Harapan,       Jakarta.
Luhut M.P. Pangaribuan, 1996, Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan     Profesi,  Djambatan, Jakarta.
b. Jurnal dan Makalah           :
Fred B.G, Tumbuan, “Kode EtikAdalah Pedoman Penghayatan Profesi Advokat Sebagai Penegak         Hukum: Rekaman Proses Workshop Kode Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju       Penegakan”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2004
Gayuus lumbun, Makalah, “Esensi hak dan kewajiban advokat dalam perpektif profesi penegak            hukum”, Surabaya, 2008
Jimly Asshidiqie, “Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum”, Bahan Orasi Hukum pada acara   “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 – 2012”. Bandung, 19 Januari 2008
Purwoto S. Gandasubrata, 1998, “Renungan Hukum”, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang    Mahkamah Agung RI
Solehoddin, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Terhadap Keberadaan          Advokat Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang Volume II Nomor 2, November 2009.
Teguh Samudera, disampaikan pada seminar nasional dan dialog “Immunitas & Hak-hak Advokat             Berdasarkan Undang-Undang Advokat” di Surabaya, 2006
c. Kamus                                 :
Yan Pramadya Puspa, 1977, “Kamus Hukum”. Edisi Lengkap. Aneka, Semarang.

d. Internet                               :
“Perlindungan Hukum Advokat  Dalam Undang-Undang Advokat”, errymeta.blogspot.com
“Tumpa: Penyatuan Peradi-KAI sudah sesuai kesepakatan”, www.tribunnews.com



e. Peraturan Hukum              :
Kode Etik Advokat Indonesia
Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Advokat







                [1] Solehoddin, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Terhadap Keberadaan Advokat Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi Puskasi Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang Volume II Nomor 2, November 2009. hlm.124
                [2] Jimly Asshidiqie, “Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum”, Bahan Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 – 2012”. Bandung, 19 Januari 2008. hlm.7
                [3] Lihat huruf b konsideran menimbang UU. No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
                [4] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi,  Djambatan, Jakarta, 1996, hlm. 1
                [5] Teguh Samudera, disampaikan pada seminar nasional dan dialog “Immunitas & Hak-hak Advokat Berdasarkan Undang-Undang Advokat” di Surabaya, 2006.
                [6] Yan Pramadya Puspa, “Kamus Hukum”. Edisi Lengkap. Aneka, Semarang. 1977
                [7]Jimly Asshidiqie, Loc.Cit
                [8] Lihat Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 014/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Advokat
                [9] Solehoddin, Op.Cit ,hlm. 129
                [10] “Tumpa: Penyatuan Peradi-KAI sudah sesuai kesepakatan”, www.tribunnews.com diakses tanggal  7 November 2011
                [11] Lihat Bab 2 Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia, menasbihkan: “Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya”.
                [12] Fred B.G, Tumbuan, “Kode EtikAdalah Pedoman Penghayatan Profesi Advokat Sebagai Penegak Hukum: Rekaman Proses Workshop Kode Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju Penegakan”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2004, hlm. 39.
                [13] Purwoto S. Gandasubrata, “Renungan Hukum”, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, 1998 hlm.65
                [14] Solehoddin, Op.Cit ,hlm. 127
                [15] Daniel S. Lev, dikutip dalam, “Perlindungan Hukum Advokat  Dalam Undang-Undang Advokat”, errymeta.blogspot.com diakses tanggal 12 Nopember 2011
                [16] Ibid
                [17] Gayuus lumbun, Makalah, “Esensi hak dan kewajiban advokat dalam perpektif profesi penegak hukum”, Surabaya, 2008
                [18] Adnan Buyung Nasution, dalam Frans Hendra Winata, “Advokat Indonesia Citra Idealisme dan Keprihatinan”, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 14
                [19] Diskusi Penulis dengan Meftahurohman, SH, pada tahun 2011

Pengikut