BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut
ilmu hukum tata negara syarat mutlak terbentuknya dari suatu negara adalah
memiliki wilayah, memiliki rakyat, memiliki pemerintahan yang berdaulat serta
mendapat pengakuan dari negara lain. Keempat syarat ini mutlak harus dimiliki
oleh setiap negara. Hal ini ditegaskan pula dalam Konvensi Montevideo pada
tahun 1993 yang memaparkan bahwa unsur yang mutlak untuk dipenuhi demi
terbentuknya negara adalah: Permanent
Population, a defined Teritory, a Government, a Capacity to enter into
relations with other states.
Suatu
negara menurut Thomas Hobbes terbentuk karena adanya perjanjian dalam
masyarakat itu sendiri. Untuk terselenggaranya perdamaian, manusia-manusia itu
mengadakan suatu perjanjian yang disebut perjanjian masyarakat, untuk membentuk
suatu masyarakat dan selanjutnya disebut negara (Soehino: 2000: 99).
Selanjutnya dalam perjanjian itu, masyarakat memilih seseorang sebagai
pemimpinnya yang kemudian dikenal sebagai Raja. Namun Thomas Aquinas memberikan
argumen yang berbeda akan asal mula suatu negara itu sendiri, menurutnya negara
terbentuk karena hak-hak yang diberikan oleh Tuhan. Ia mengemukakan bahwasanya
gereja adalah persekutuan hidup yang nyata dan terlengkap, dia pun menjelaskan
bahwa itu merupakan wakil kerajaan Tuhan di dunia. Plato dalam teori
idealismenya menyatakan berbeda, bahwa menurutnya suatu negara terbentuk
dikarenakan keinginan manusia yang beraneka ragam sehingga menyebabkan mereka
harus bersatu untuk memenuhi keinginan itu, persatuan inilah yang selanjutnya
disebut negara. Selain itu masih banyak pula teori-teori yang menjelaskan akan
asal mula terbentuknya suatu negara itu sendiri seperti pemikiran dari
Montesquieu, John Locke, Imanuel Kant, dll.
Dalam
suatu negara dikenal akan ajaran mengenai kedaulatan. Kedaulatan adalah konsep
mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Menyangkut siapa yang
berdaulat (berkuasa) dalam suatu negara, dalam ilmu kenegaraan dikenal adanya
beberapa teori atau ajaran, yaitu :
1.
Teori
Kedaulatan Tuhan
2.
Teori
Kedaulatan Raja
3.
Teori
Kedaulatan Negara
4.
Teori
Kedaulatan Rakyat
5.
Teori
Kedaulatan Hukum(Jimly Asshidiqie:1994: 10)
Apabila
merujuk pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” maka kental terasa bahwa
Negara Indonesia ini lebih bercondong kepada model kedaulatan hukum. Dalam kedaulatan
hukum, hukum diharapkan menjadi panglima tertinggi dalam pelbagai aspek
kehidupan. Konsekuensi dari dianutnya kedaulatan hukum maka tidak dapat
dilepaskan dari teori negara hukum dan teori konstitusi. Teori Negara Hukum
meletakan prasyarat bagi pelaksanaan pemerintahan dalam negara yang berdasarkan
kedaulatan hukum. Teori Konstitusi meletakkan kerangka dasar hukum tertinggi
dalam suatu negara modern atau memberikan landasan bagi berjalannya supremasi
konstitusi/UUD yang menjadi prasyarat berlakunya kedaulatan hukum (Anwar Cengkeng:
2008: 15). Perbincangan akan negara hukum sejatinya merupakan terjemahan langsung dari
istilah “Rechstaat”. Di negara-negara
di Eropa dan Amerika menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk negara hukum
ini, contohnya seperti di Jerman dan Belanda memakai kata Rechstaat sedangkan di Perancis memakai istilah kata Etat De Droit. Di negara Spanyol memakai
istilah Estado Dederecho, dan Italia
memakai kata Stato Di Diritto.
Sedangkan di Inggris dikenal ungkapan the
state according to law atau according
to the rule of law. Istilah-istilah yang digunakan dalam paham Eropa
Kontinental dan Amerika Latin adalah istilah-istilah yang tidak memiliki
kesepadanan yang tepat dengan sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the
rule of law yang juga digunakan untuk maksud “Negara Hukum”(Fatkhurohman:
2010: 43). R.Soepomo memberikan pengertian terhadap Negara Hukum
ini sebagai negara yang tunduk pada hukum,peraturan-peraturan hukum berlaku
pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara(Fatkhurohman, et.al: 2005: 128).
Istilah Rechstaat ini
sendiri jika ditilik sejatinya mulai populer di Eropa sejak abad XIX walaupun
pemikiran akan itu sudah berlangsung lama sebelumnya. Dan sejak tahun 1885
dengan terbitnya buku dari Albert Van Dicey yang berjudul “Introduction to the study of law of the constitution” istilah the rule of law ini mulai populer (Bagir Manan: 1990: 75). Unsur-unsur Rechstaat dikemukakan oleh Friedrich
Julius Stahl yang berlatar belakang ahli hukum Eropa Barat Kontinental sbb:
a)
Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia
b)
Untuk melindungi hak asasi tersebut maka
penyelenggara negara harus berdasarkan teori Trias Politica
c)
Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasarkan
atas undang-undang (wetmatig bestuur)
d)
Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah
dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada pengadilan administrasi yang akan
menyelesaikannya.(Padmo
Wahyono: 1989: 151)
AV Dicey, memberikan
pengertian mengenai the rule of law
sbb:
a)
Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada
kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar
hukum.
b)
Kedudukan yang sama didepan hukum baik bagi rakyat
biasa maupun bagi pejabat.
c)
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan
keputusan-keputusan pengadilan.(Anwar
Cengkeng, Op.Cit: 49)
Dapat dicermati bahwa sejatinya terdapat perbedaan antara
konsep antara konsep rechstaat dan juga konsep the rule of law, tetapi juga perlu ditarik sebuah benang merah
bahwasanya kedua konsep tersebut tetap melindungi kepada hak-hak kebebasan
sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar. Jimly Asshidiqie merumuskan perihal 12
prinsip pokok yang mutlak dimiliki oleh negara modern yang merupakan negara
hukum (baik itu The Rule of Law
ataupun Rechstaats), prinsip tersebut
adalah:
1.
Supremasi
Hukum (Supremacy of Law)
2.
Persamaan
dalam hukum (Equality before the Law)
3.
Asas
Legalitas (Due Process of Law)
4.
Pembatasan
Kekuasaan
5.
Organ-organ
eksekutif independen
6.
Peradilan
bebas dan tidak memihak
7.
Peradilan
Tata Usaha Negara
8.
Peradilan
Tata Negara
9.
Perlindungan
Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokrasi (Democratische Rechstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan
bernegara (Welfare Rechstaat)
12. Transparasi
dan Kontrol Sosial (Jimly Asshidiqie: 2005: 21)
Pada
point ke-10 dimana menyandarkan demokrasi sebagai salah satu pilar negara hukum
merupakan pembahasan menarik. Hal ini di dasarkan kepada demokrasi yang dikenal
berpakem pada adagium “dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Demokrasi selama ini memang diagungkan karena citanya
yang dianggap luhur, sehingga wajar jika
hampir semua negara di dunia ini memilih demokrasi sebagai sistem
pemerintahannya (Dwi
Nofi A: 2012: 1). Di dalam khasanah demokrasi sejatinya peran rakyat dianggap
sebagai sarana yang amat sentral, hal ini dikarenakan pemerintah dianggap
sebagai wakil rakyat. Mutlak dibutuhkan peran masyarakat sebagai pengerem atau
pengawas dari sikap yang diambil oleh pemerintah. Perlu adanya suatu
kebangkitan kembali demokrasi melalui “kekuatan masyarakat” (Bill Moyer: 2004:
4). Dalam perwujudan “kekuatan masyarakat” tersebut maka diperlukan aksi nyata dari
masyarakat untuk sadar akan perannya dalam kehidupan demokrasi di Indonesia,
yang salah satunya melalui jalan pergerakan sosial (social movement). Sejatinya dengan diangkatnya Indonesia sebagai
salah satu negara demokrasi terbesar di dunia sudah sepantasnya apabila bangsa
ini berbenah guna menciptakan alam demokrasi yang seutuhnya dan tidak bersifat
demokrasi semu.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian diatas maka dapat
ditarik rumusan masalah, yaitu:
1.
Bagaimana
peran masyarakat demi terciptanya alam demokrasi utuh di Indonesia?
2.
Sejauhmana
efektivitas Pergerakan Sosial sebagai upaya kontrol terhadap kinerja
pemerintah?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Penulisan ini bertujuan guna:
a.
Guna mengetahui peran masyarakat demi terciptanya alam demokrasi utuh di Indonesia.
b.
Guna mengetahui efektivitas Pergerakan Sosial sebagai upaya kontrol terhadap kinerja
pemerintah.
2. Dengan diadakannya penulisan
ini, dapat ditarik beberapa
kegunaannya yaitu:
a)
Kegunaan dari segi teoritis
Dari kacamata teoritis, berguna untuk menambah dan membuka khasanah
pengetahuan lebih dalam lagi perihal peran pergerakan sosial sebagai wujud konkret pelaksanaan proses
demokrasi Indonesia.
b)
Kegunaan dari segi praktis
1.
Bagi Pemerintah
Menjadi bahan acuan dalam hal peningkatan pemahaman akan peran serta
masyarakat dalam era perpolitikan demokrasi di Indonesia
2.
Bagi Kalangan Akademisi
Penulisan ini diharapkan
sebagai sumbangan pemikiran guna mengkaji akan pentingnya peran serta masyarakat dalam sebuah proses lahirnya
demokrasi di Indonesia.
3.
Bagi Masyarakat luas
Dengan diadakannya
penulisan ini diharapkan dapat memicu kepedulian masyarakat guna membangun “Public Control” terhadap pengambilan kebijakan yang
diambil oleh pemerintah, selain itu berguna pula dalam membentuk pembinaan dini
pada masyarakat demi terciptannya proses demokrasi yang utuh.
BAB
II
TELAAH
PUSTAKA
A.
Cita Demokrasi di Indonesia
Demokrasi
berasal dari dua suku kata yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos yang
berarti pemerintahan. Maka demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan oleh
rakyat. Atau dalam pakemnya sering disebut sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi bermula dari zaman Yunani namun ketika itu
masih berwujud demokrasi langsung, atau demokrasi kuno. Hal itu dapat terjadi
di Yunani karena :
1.
Negara
Yunani pada waktu itu masih kecil, masih merupakan apa yang disebut Polis atau City State, negara Kota
2.
Persoalan
di dalam negara dahulu itu tidaklah seruwet dan berbelit-belit seperti sekarang
ini, lagipula jumlah warga negaranya masih sedikit
3.
Setiap
warganegara adalah negara minded (Soehino,
Op.Cit: 15)
Hal
tersebut untuk digunakan pada era sekarang terasa sangat tidak mungkin, dikarenakan
jumlah penduduk yang mutlak telah berjumlah beratus-ratus juta. Selain itu
jumlah kerumitan masalah yang semakin meningkat. Maka demokrasi yang dianggap
luhur tersebut dibutuhkan suatu modifikasi demi tercapainya cita tersebut dalam
era modern ini, dengan demikian lahirlah konsep demokrasi perwakilan. Demokrasi
tipe ini merupakan pilihan dari banyak negara di dunia.
Tercatat
setelah Perang Dunia ke II terjadi suatu gejala bahwa secara formal demokrasi
merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Perihal ini dapat diketahui
dalam penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1949 yang memaparkan :
“Probably for the first time in history
democracy is claimed as the proper
ideal description of all system of political and social organization advocated by influential proponents”(S.I Bens :
1964: 393)
(“Mungkin
untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
berpengaruh”)
Penelitian
tersebut melibatkan lebih dari 100 sarjana Barat maupun Timur menunjukan tidak
satupun tanggapan yang menolak demokrasi. Lebih mendalam Affan Gafar
mengemukakan tentang lima ciri demokrasi yaitu :
- Akuntabilitas,
dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus
dapat mempertangungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah
ditempuhnya
- Rotasi Kekuasaan,
dalam demokrasi peluang terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan
dilakukan secara teratur dan damai
- Rekruitmen Politik
yang terbuka, untuk memungkikan terjadinya rotasi kekuasaan
- Pemilihan Umum.
Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur
- Menikmati hak-hak
dasar. Dalam suatu negara mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah
hak untuk berkumpul dan berserikat, dan untuk menikmati pers yang bebas
(Affan Gafar: 2000: 82)
Demokrasi
sering pula disebut sebagai titik keseimbangan dari perbedaan dari masyarakat
dalam sebuah negara, karena dalam demokrasi tetap terjadinya keseimbangan
antara konflik dan juga konsensus. Namun dalam sebuah demokrasi dikenal ada dua
aliran yang cukup penting, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi yang
mendasarkan dirinya pada komunisme (Miriam Budiardjo: 2008: 105). Demokrasi
yang berada di Indonesia ini sejatinya beragam, hal ini dapat ditafsirkan dari
setiap jatuh bangunnya pemerintahan, tercatat setidaknya ada 3 jenis demokrasi
yang hidup di Indonesia, yaitu: Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Pancasila.
Demokrasi
liberal terlahir dari Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang pada
intinya memberikan kesempatan seluasnya kepada rakyat untuk membentuk partai
maka dari itu sistem politik kala itu menganut sistem multi partai. Hal ini
bermuara dari usul BPKNIP yang merupakan penegasan dari pendirian pemerintah
yaitu Pertama, Pemerintah menyukai
tumbuhnya banyak partai politik, hal ini disebabkan asumsi yang dimiliki
pemerintah dengan munculnya banyak partai politik, maka akan mudah dalam
mengatur masyarakat. Kedua,
Pemerintah kala itu mengharapkan agar partai politik telah tersusun sebelum
adanya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada Januari 1946 (Moh. Hatta:
1982: 473-474). Bermula dari hal ini maka nampak perubahan ke arah liberal,
dimana masyarakat di harapkan memiliki peranan lebih besar daripada peranan
negara.
Sebuah
hal mencengangkan terjadi yaitu demokrasi liberal yang diharapkan mampu lebih
mudah dalam mengatur masyarakat berubah menjadi tumbuhnya Instabilitas
Nasional. Sadar akan hal itu muncullah era demokrasi terpimpin. Presiden
Soekarno dalam pidatonya tertanggal 17 Agustus 1959, beliau memaparkan tentang
butir-butir demokrasi terpimpin, yaitu :
1.
Tiap
orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat dan negara
2.
Tiap
orang mendapat penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa dan negara (Soekarno:
372)
Definisi
perihal demokrasi terpimpin setidaknya belum didapat suatu kesepakatan utuh,
bahkan Presiden Soekarno-pun memberikan tak kurang dari 12 definisi. Salah satu
definisi beliau yang cukup terkenal adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ada juga definisi yang
menjelaskan bahwa demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarkinya liberalisme dan
tanpa otokrasi diktator (M. Lubis: 1986:
39).
Setumbangnya
rezim Orde Lama, dan beralih ke rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto,
model demokrasi di Indonesia-pun turut mengalami perubahan. Demokrasi yang
dilahirkan dalam rezim ini adalah demokrasi yang mengembalikan secara utuh ajaran
Pancasila dan UUD 1945 yaitu demokrasi Pancasila. Demokrasi ini dipahami
sebagai pola demokrasi yang di ingini bangsa Indonesia karena membentuk tata
nilai tentang tatanan kenegaraan yang dirumuskan dalam UUD 1945. Ajaran pokok
dalam demokrasi Pancasila terdapat empat pilar utama, yaitu:
1.
Pelaksanaan
demokrasi itu harus berdasarkan atas Pancasila seperti termuat di dalam
Pembukaan UUD 1945 dan penjabarannya lebih lanjut seperti apa yang tersebut
dalam batang tubuh UUD 1945 dan Penjelasannya.
2.
Demokrasi
ini harus menghargai hak-hak asasi manusia serta menjamin adanya hak-hak
minoritas, baik berdasarkan kelompok ataupun kekuatan sosial politik.
3.
Pelaksanaan
kehidupan ketatanegaraan harus berdasarkan atas kelembagaan atau
konstitusional.
4.
Demokrasi
ini harus bersendi atas hukum, sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan UUD
1945.(Darji Darmodihardjo, et.al:
1994: 93)
Runtuhnya
tameng kekuasaan Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, berimbas pula
dengan runtuhnya pondasi-pondasi dari Demokrasi Pancasila tersebut. Demokrasi
Pancasila yang sejatinya bercita luhur, nyatanya telah tergerus oleh kekuatan
kepentingan kekuasaan pemerintah. Era Orde Baru memposisikan kekuasaan bagi
pemerintah cukup besar maka dengan runtuhnya era tersebut, maka timbulah era Reformasi
yang mencitakan kembalinya segala hal ke dalam pembatasan-pembatasan berdasar
pada hukum, maka dalam era ini Indonesia telah memasuki masa demokrasi
konstitusional.
B.
Sumber Kekuasaan
Kekuasaan
secara bahasa berasal dari kata “kuasa” yang berarti kemampuan atau kesanggupan
(untuk berbuat sesuatu) (Anton M. Moelino, et.al:
1995: 533). Sedangkan definisi yang diberikan oleh Harold D. Laswell adalah
suatu hubungan dimana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan
seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Harold D.
Laswell: 1950: 74), dan Soerjono Soekamto medefinisikan kekuasaan adalah
sebagai kekuasaan untuk mepengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada
pemegang kekuasaan (Soerjono Soekamto: 1998: 79-80). Cara untuk
menyelenggarakan suatu kekuasaan berbeda-beda, namun pada dasarnya ada beberapa
cara yang ampuh untuk dilakukan yaitu dengan, melakukan kekerasan fisik (force) cara ini dipandang paling ampuh,
namun juga dapat dilakukan lewat jalan koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi, atau dengan
jalan yang lebih halus kembali yaitu melalui suatu proses persuasi (persuasion) namun ada juga dengan cara
lain yaitu dengan tidak mengatakan denda tetapi memberi ganjaran (reward) atau insentif, imbalan, atau
kompensasi (Miriam Budiardjo, Op.Cit:
61-62).
Di era
modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya dipahami
sebagai hasil bentukan masyarakat melalui proses perjanjian sosial antara warga
masyarakat (Moh. Mahfud MD: 2009: 1). Secara utuh sumber kekuasaan pada suatu
Negara dapat dijelaskan melalui teori kedaulatan, kedaulatan adalah konsep
mengenai kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara (Anwar Cengkeng, Op.Cit: 7), ada empat teori yang
memaparkan perihal kedaulatan tersebut yaitu, Pertama, Teori Kedaulatan Tuhan
yang dikembangkan oleh Agustinus, Thomas Aquinas dan Marsillius pada abad ke-15
teori ini menjelaskan bahwa sumber dari kekuasaan itu adalah dari Tuhan
(Soehino, Op.Cit: 150). Kedua, teori
hukum alam yang dikembangkan oleh Johanes Althusius, teori ini mengajarkan
bahwa kekuasaan bersumber dari rakyat. Kekuasaan tidak lagi dipandang berasal
dari Tuhan(Fatkhurohman, Pembubaran…,Op.Cit
:57). Ketiga, Teori kedaulatan hukum yang dipelopori oleh Krabbe. Teori ini
menjelaskan bahwa segala kekuasaan dalam negara berdasarkan atas hukum
(Wirdjono Prodjodikoro: 1980: 6). Keempat, Teori kedaulatan Negara, teori ini
dikembangkan oleh Jellinek dan Otto Mayer dalam teori ini diajarkan bahwa
pangkal kekuasaan negara tidaklah diperoleh dari siapapun dan kekuasaannya
tidak perlu diberi penjelasan apapun (Ibid:5).
BAB
III
METODE
PENULISAN
A. Jenis Penulisan dan Metode Pendekatan
Metode penulisan yang dilakukan dalam penulisan ini ialah metode penulisan hukum, yaitu suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki: 2005: 95). Berdasarkan ruang
lingkup dan permasalahan sebagaimana diuraikan di muka, maka intisari dari
permasalahan yang di angkat dalam penulisan ini akan dikaji secara
yuridis-normatif. Yaitu penulisan yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka
atau data sekunder belaka
(Soerjono Soekanto: 2001: 13-14).
Demi memperoleh suatu kebenaran ilmiah yang diharapkan,
maka dalam penulisan ini secara umum menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Penggunaan pendekatan ini bertujuan guna mempelajari dan menelaah dasar
ontologis lahirnya dan landasan filosofis undang-undang serta ratio legis dari ketentuan
undang-undang. Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan mendasarkan
pada peraturan yang bersinergi dengan peran pergerakan sosial sebagai wujud
konkret pelaksanaan proses demokrasi Indonesia. Selain menggunakan pendekatan
perundang-undangan juga digunakan pendekatan sejarah, tentang peran pergerakan
sosial sebagai wujud konkret pelaksanaan proses demokrasi Indonesia.
B. Jenis Bahan Hukum
Merujuk pada jenis
pendekatan penulisan yang dipergunakan yaitu pendekatan yuridis normatif maka
jenis bahan hukum yang digunakan adalah:
a.
Bahan hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang diperoleh berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada seperti, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Informasi dan Pendapat, KUHP, KUHAP, dll.
b.
Bahan hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang diperoleh melalui buku-buku
referensi, internet, pendapat para ahli serta referensi-referensi lain yang
terkait dengan tulisan ini.
c.
Bahan hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang diperoleh melalui kamus
hukum dan ensiklopedia.
C. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk mengumpulkan bahan
hukum dapat menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan mencari,
mencatat, menginvetarisasi, menganalisa dan mempelajari data-data yang berupa
bahan-bahan pustaka.
D. Metode Analisis
Metode yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara tepat keadaan subjek
atau objek penulisan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak
atau sebagaimana adanya (Ronny
Hanitijo S: 1994: 145). Penulisan ini akan mengambarkan potret secara utuh
tentang peran pergerakan sosial sebagai wujud konkret pelaksanaan proses
demokrasi Indonesia yang kemudian akan dianalisa dan diteliti berdasarkan teori
juga perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
BAB
IV
ANALISIS
DAN SINTESIS
A.
Peran Masyarakat Demi Terciptanya Alam Demokrasi di Indonesia
Demokrasi
sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya, ialah suatu konsep
pemerintahan yang mendasarkan pada Pemerintahan oleh rakyat. Alam demokrasi
menuntut peran serta masyarakat untuk secara aktif turut serta di dalamnya. Demokrasi
diketahui bermula dari zaman Yunani tetapi saat itu masih berwujud demokrasi
langsung, atau demokrasi kuno. Hal itu dapat terjadi di Yunani karena :
1.
Negara
Yunani pada waktu itu masih kecil, masih merupakan apa yang disebut Polis atau City State, negara Kota
2.
Persoalan
di dalam negara dahulu itu tidaklah seruwet dan berbelit-belit seperti sekarang
ini, lagipula jumlah warga negaranya masih sedikit
3.
Setiap
warganegara adalah negara minded (Soehino,
Op.Cit: 15)
Hal
ini apabila digunakan di era saat ini terasa sangat tidak mungkin, hal ini
disebabkan karena jumlah penduduk yang mutlak telah berjumlah beratus-ratus
juta. Di dukung pula dengan jumlah kerumitan masalah yang semakin meningkat.
Maka demokrasi yang dianggap luhur tersebut dibutuhkan suatu modifikasi demi
tercapainya cita tersebut dalam era modern ini, dengan demikian lahirlah konsep
demokrasi perwakilan. Demokrasi tipe ini merupakan pilihan dari banyak negara
di dunia.
Tercatat
setelah Perang Dunia ke II terjadi suatu gejala bahwa secara formal demokrasi
merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Perihal ini dapat diketahui
dalam penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 1949, memaparkan :
“Probably for the first time in history
democracy is claimed as the proper
ideal description of all system of political and social organization advocated by influential proponents” (S.I Bens,
Loc.Cit)
(“Mungkin
untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
berpengaruh”)
Penelitian
tersebut melibatkan lebih dari 100 sarjana Barat maupun Timur menunjukan tidak
satupun tanggapan yang menolak demokrasi.
Lebih mendalam Affan Gafar mengemukakan tentang
lima ciri demokrasi yaitu :
- Akuntabilitas,
dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus
dapat mempertangungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah
ditempuhnya
- Rotasi Kekuasaan,
dalam demokrasi peluang terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan
dilakukan secara teratur dan damai
- Rekruitmen Politik
yang terbuka, untuk memungkikan terjadinya rotasi kekuasaan
- Pemilihan Umum.
Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur
- Menikmati hak-hak
dasar. Dalam suatu negara mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah
hak untuk berkumpul dan berserikat, dan untuk menikmati pers yang bebas
(Affan Gafar, Loc.Cit)
Demokrasi
sering pula disebut sebagai titik keseimbangan dari perbedaan dari masyarakat
dalam sebuah negara, karena dalam demokrasi tetap terjadinya keseimbangan
antara konflik dan juga konsensus. Max Webber pernah memaparkan bahwa partai
politik sebagai “anak demokrasi”
namun seiring berjalannya waktu kondisi ini memunculkan masyarakat sipil (civil society) sebagai favorit baru
sebagai institusi pendukung demokrasi (Ivan Doherty: 1). Masyarakat sipil sebagai
unsur penting dalam dekmokrasi dinilai memiliki 3 peran utama, yaitu : Advokasi,
Empowerment dan Social Control .
Peran
pertama yaitu advokasi, masyarakat dituntut untuk ikut mempengaruhi tentang apa
yang seharusnya menjadi kebijakan publik masyarakat
sipil harus ikut menyampaikan aspirasi kepada elemen-elemen yang bisa membuat
keputusan langsung. Elemen yang dimaksud salah satunya melalui DPR. Advokasi berdefinisi
sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan (Webster’s New Collegiate Dictionary Third
Edition). Pada hakekatnya sebuah advokasi adalah suatu pembelaan
terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, karena tujuan
mulia dalam sebuah advokasi adalah public
interest. Advokasi memiliki peran penting hal ini dikarenakan advokasi
bertugas untuk mendesak pemerintah guna selalu konsisten dalam melindungi serta
mensejahterahkan masyarakatnya. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan
dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok usaha, pemberian bantuan
hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi pengusaha,
serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusan (Kamar Dagang
Indonesia: 5).
Selanjutnya
adalah peran Empowerment, masyarakat
mutlak untuk turut serta dalam pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan ini
telah banyak dikemukakan oleh para ahli, secara umum empowerment bertujuan untuk membangun daya, dengan mendorong,
memotivasi dan menimbulkan kesadaran (awareness)
akan potensi yang dimiliki serta upaya untuk memampukan dan mengembangkan diri
sendiri atau orang lain supaya dapat berbuat lebih baik (www.bbppketindan.info).
Terdapat
suatu definisi perihal empowerment
ini, yaitu sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum
berbagai nilai sosial. Dalam hal ini menggambarkan suatu hal baru yaitu
pembangunan yang bersifat “people
centered, participatory, empowering, and sustainable”(Roberts Chambers:
1998: 21). Selain itu empowerment
juga dimaknai sebagai upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasi
dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya
(Ginandjar Kartasasmita: 1996: 2). Konsep perihal empowerment ini timbul oleh adanya dua premis mayor, yaitu “kegagalan” dan “harapan”(John Friedmen: 1992: 47). Kegagalan dalam hal ini adalah
gagalnya model pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan
lingkungan yang berkelanjutan, sedangkan harapan muncul karena adanya
alternatif-alternatif pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi,
persamaan gender, peran antara generasi dan pertumbuhan ekonomi yang memadai(www.bbppketindan.info). Empowerment tersebut memiliki sebuah
cita yaitu ingin mengubah kondisi tersebut dengan cara memberi kesempatan pada
kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian melaksanakan program
pembangunan yang juga mereka pilih sendiri (Loekman Soetrisno: 1995: 139).
Ketiga,
adalah social control dalam peran ini
masyarakat beserta media massa menjadi pengawas akan kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah guna tidak menyimpang dari rambu-rambu demokrasi. Social Control ditilik dari arti sempit
adalah pengawasan oleh masyarakat terhadap pemerintah.
B.
Efektivitas Pergerakan Sosial Sebagai Upaya Kontrol Terhadap Kinerja Pemerintah
Pergerakan
Sosial adalah pergerakan kolektif dimana massa disiagakan, di didik, dan
dikerahkan selama bertahun-tahun dan beberapa dekade, untuk menghadapi
tantangan pemegang kekuasaan dan keseluruhan masyarakat untuk mengatasi masalah
sosial atau keluhan-keluhan dan menata kembali nilai-nilai sosial yang kritis
(Bill Moyer, Loc.Cit). Selain itu
definisi perihal Pergerakan Sosial dikemukakan pula oleh Robert Missel yaitu
seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh
sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan dalam masyarakat
(Robert Missel: 2004: 6-7). Definisi berbeda juga dikemukakan oleh seorang ahli
asal Indonesia, Mansoer Faqih yang mengemukakan bahwa Pergerakan Sosial dapat
diartikan sebagai kelompok yang terorganisir secara tidak ketat dalam rangka
tujuan sosial terutama dalam usaha merubah struktur maupun nilai sosial(Zairyardan
Zubir: 2002: 27).
Pergerakan
sosial merupakan salah satu wujud konkret yang dapat merubah suatu kondisi yang
di harapkan lebih baik, apabila kita meruntut dari segi geografis di berbagai
negara seringkali terjadinya revolusi baik itu yang menyangkut perihal ekonomi,
politik, budaya, selalu terdapat pergerakan sosial yang menaungginya. Salah
satu pergerakan sosial yang cukup terkenal adalah Revolusi Perancis di tahun
1789, kala itu masyarakat secara kolektif mengecam kebijakan Raja yang menurut
mereka sangat tidak etis. Penjara Bastille yang merupakan simbol dari
otoriterianisme pemerintahan berhasil mereka runtuhkan, yang mengakibatkan di
eksekusinya Louis VI dan Marie Antoniette. Revolusi ini berimbas kepada
dianutnya sistem demokrasi setelah sebelumnya menganut sistem monarki absolut.
Juga di Filipina yang berhasil menumbangkan Marcos dan menaikan Corazon Aqui. Begitu pula di Indonesia yang
telah menaklukan era orde baru menuju era reformasi.
Pembahasan
utama dalam sebuah Pergerakan adalah perjuangan antara Penguasa dan Pergerakan
guna mendapat simpati, pikiran, dan dukungan aktif dari mayoritas massa. Apabila
kita berkaca pada kasus di Indonesia yang baru beberapa minggu ini terjadi,
yaitu tentang demonstrasi besar perihal perencanaan kenaikan harga BBM. Dari
sini dapat kita kecap suatu strategi demi menarik cita simpati dalam
masyarakat, terlepas dari motif politik yang di dugakan, pihak penguasa
berdalih kenaikan tersebut adalah digunakan untuk menutup jebolnya APBN 2012
serta diperlukan untuk memberikan bantuan dana terhadap sektor-sektor yang
lebih membutuhkan. Argumen yang disampaikan oleh kaum Pergerakan-pun juga tak
kalah menarik, dipaparkan bahwa penaikan harga BBM merupakan langkah yang
mutlak keliru untuk ditempuh oleh pemerintah serta kebijakan pengikutnya
seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dinilai malah memperlemah kondisi bangsa
ini. Hingga kemudian terjadi Pergerakan Sosial di pelbagai kota di Indonesia
bahkan hingga berakhir bentrok.
Menilik
dengan iklan layanan masyarakat yang disampaikan pemerintah dalam
televisi-televisi nasional hal ini menunjukan sikap pemerintah yang ingin
menarik simpati masyarakat mayoritas demi tercapainya visi pemerintah. Hal
serupa ditunjukan oleh kaum Pergerakan Sosial yang tak kalah santer menyuarakan
aspirasinya melalui pelbagai media. Suatu trend
positif terjadi ialah dimana ketika Pergerakan Sosial yang baru saja
terjadi di Indonesia ini di ikuti oleh pelbagai kalangan masyarakat. Disini
menunjukan dengan banyaknya elemen Mahasiswa, NGO, Ormas, bahkan Parpol,
semakin menggarangkan nuansa alam demokrasi di Nusantara. Jadi dapat ditarik
sebuah benang merah sementara, bahwasanya Pergerakan Sosial merupakan fenomena
yang lahir dari tataran akar rumput masyarakat yang menginginkan suatu sikap
yang lebih baik dari Pemerintah, maka bukan suatu hal yang mengherankan apabila
titik fokus dari kaum Pergerakan Sosial ini adalah kekurangan Pemerintah. Suatu
Pergerakan Sosial akan berhenti apabila tuntutan tersebut telah terpenuhi.
Sebuah
sandiwara nyata terjadi yaitu sebuah Pergerakan Sosial tidak hanya berpilar
untuk Anti-Pemerintah, namun banyak juga Pergerakan Sosial yang nyatanya adalah
Pro-Pemerintah. Umumnya Pergerakan Sosial yang Pro-Pemerintah ini merupakan
pergerakan yang dimotori oleh Pemerintah guna menandingkan dengan Pergerakan
Sosial yang Anti-Pemerintah. Pergerakan Sosial yang ideal harusnya bermula dari
rasa perlawanan atau desakan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat yang
mana selanjutnya masyarakat menginginkan adanya perubahan dari Pemerintah itu.
Dalam prakteknya, Pergerakan Sosial terbentuk dengan adanya pola
interaksi-konflik.
Terdapat
3 (tiga) kondisi yang dapat memicu lahirnya Pergerakan Sosial, Pertama, Pergerakan Sosial yang terlahir
karena adanya kondisi yang memberikan kesempatan untuk Pergerakan itu lahir,
misalnya Pemerintahan demokratis akan lebih banyak memberikan ruang untuk
terjadinya Pergerakan Sosial dibanding Pemerintahan yang bersifat otoriter. Kedua, ialah Pergerakan Sosial yang
terlahir karena ketidak puasan akan kondisi situasi yang ada, sebagai contoh
adalah Pergerakan Sosial yang menuntut tidak dinaikannya harga BBM. Ketiga, adalah Pergerakan Sosial yang
timbul karena masalah kemapuan dari Tokoh Penggerak. Yang mana Tokoh Penggerak
tersebut membentuk semacam organisasi/jaringan hingga masyarakat akan turut
serta dalam Pergerakan Sosial tersebut.
Berbicara
Pergerakan Sosial di Indonesia, hal ini juga telah dijamin dalam konstitusi
kita, terutama pada pasal 28 yang berbunyi:
“Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”
Selanjutnya perihal Pergerakan Sosial ini
juga diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Informasi dan Pendapat. Fenomena Pergerakan Sosial di Indonesia ini sejatinya
bukanlah hal baru, melainkan telah lama terjadi. Merujuk pada Proklamasi RI
yang kala itu merupakan desakan dari sekumpulan pemuda yang memaksa Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dimana mereka sadar akan desakan dan
kebutuhan untuk merdeka sehingga memaksa kedua tokoh nasional itu untuk segera
bertindak.
Tidak hanya cukup disitu kala tumbangnya era
Orde Baru yang dikawal oleh Soeharto juga di motori oleh Pergerakan Sosial, sejarah kita pernah
mencatat bagaimana kegarangan Pergerakan
Sosial yang kala iti di dominasi Mahasiswa dalam menjatuhkan rezim
orde baru yang begitu lama bercokol selama 32 tahun. Saat itu pada tahun 1998 kondisi
perekonomian di Indonesia mengalami keterpurukan dimana Rupiah menembus Rp. 17.000/dollar AS, mutlak dibutuhkan pemecahan terhadap permasalahan tersebut. Namun pada bulan Maret 1998, MPR malah menetapkan kembali Soeharto sebagai
Presiden RI padahal hal ini ditentang keras oleh masyarakat dan mahasiswa. Hal ini didasarkan atas ketidakpuasan terhadap
kepemimpinan Soeharto yang mana malah
akan memperburuk kondisi perekonomian
Indonesia. Gundah akan keputusan
MPR ini, mahasiswa memilih
bedemonstrasi sebagai solusi agar suara mereka dapat didengar.
Demonstrasi pertama kali
diluncurkan oleh mahasiswa Yogyakarta sebelum Sidang Umum MPR 1998. Dan menjelang Sidang Umum tersebut demonstrasi
malah “menjadi” dibanyak kota besar
di Indonesia sampai akhirnya berlanjut
terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2
Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang
Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB
sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari
berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak
melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek. Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di
Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan
puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin
panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer
semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi
menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang
telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut
pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari
Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh
aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya
terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung
sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan
puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena
terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat
mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke
seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati
mahasiswa. Peristiwa tersebut tidak hanya berhenti
sampai disana, walaupun banyak dari mahasiswa yang menjadi korban
namun hal itu tidak menghentikan dan menggetarkan semangat dari pejuang-pejuang
reformasi ini, terbukti perjuangan
tersebut tidak sia-sia, pada tanggal 21 Mei 1998
Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden.(dwinofi.blogspot.com)
Pergerakan
Sosial merupakan konsekuensi wajib bagi negara yang mengatas namakan dirinya
sebagai negara demokrasi, hal ini dikarenakan peran serta masyarakat sebagai
hal yang mutlak tak dapat ditinggalkan. Menurut Polibius ada siklus dalam
kehidupan bernegara yaitu :
MONARKI
TIRANI
ARISTOKRASI
ANARKI DEMOKRASI OLIGARKI
Berdasarkan
pada teori siklus Polibius tersebut, dapat dipahami apabila suatu Negara
Demokrasi terdapat rakyat yang mengutamakan kepentingan sendiri, maka mereka
menjadi anarki sehingga yang unggul dalam anarkisme tersebut sajalah yang akan
muncul sebagai pemenang dan akibatnya negara akan menjadi kepentingan sebagian
orang saja(Zulkarnain: 2008: 44). Sebagai percontohan adalah apa yang telah
terjadi di Afrika, yang mana bukannya perpolitikan yang beradab yang terlahir,
melainkan malah pertempuran antar suku dan agama, sehingga pertumpahan darah
menjadi hal wajib dalam arena perebutan kekuasaan(Robert Kaplan: 2000: 36-42) .
Setidaknya Indonesia-pun pernah pula mencicipi ke-anarkisme-an ini, ketika era
1998 tersebut, tidak hanya terjadi fenomena membanggakan dengan tumbangnya
rezim Orde Baru tersebut, tetapi juga lahirnya pilu yang cukup mendalam kala
pertokoan banyak yang dibakar dan dijarah oleh massa. Juga hal yang sangat dzolim dengan banyaknya pemerkosaan yang
di alami oleh saudara-saudara kita dari etnis Tiong Hoa. Merupakan hal wajib
pula bagi setiap Pergerakan Sosial untuk tetap dapat terpelihara karena
merupakan jantung vital penting demokrasi, namun tetap mengindahkan social aggregation yang diemban demi
terciptanya harmonisasi di setiap pihak.
BAB
V
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
Dari
pemaparan yang telah dikemukakan dapat ditarik suatu benang merah sebagai wujud
kesimpulan yaitu:
·
Negara
Indonesia adalah negara hukum, yang mana dalam suatu negara hukum mutlak
diperlukan adanya Partisipasi Masyarakat yang mana dapat diwujudkan dengan
sistem demokrasi.
·
Demokrasi
merupakan sistem perpolitikan yang dipercaya paling baik dan relevan untuk saat
ini.
·
Peran
serta masyarakat dalam alam demokrasi meliputi, advokasi, empowerment dan juga social
control
·
Sebagai
perwujudan dari Social Control,
Pergerakan Sosial merupakan hal yang wajib untuk terjadi demi memelihara
keseimbangan yang merupakan ciri khas demokrasi.
·
Pergerakan
Sosial sebagai luapan desakan akan situasi yang dialami masyarakat muncul dari
tataran akar rumput masyarakat, tetapi sering pula terjadi Pergerakan Sosial
yang merupakan pola bentukan Pemerintah guna menandingi Pergerakan Sosial yang
anti kepadanya
·
Pergerakan
Sosial bukanlah hal baru bagi Indonesia, terbukti dari Pergerakan Sosial
terbesar yang pernah ada di Indonesia yaitu Proklamasi RI yang digawangi oleh
desakan Pemuda kepada Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dan
Pergerakan Sosial yang dilakukan dalam penumbangan Orde Baru.
·
Pergerakan
Sosial yang berlebih secara terus menerus maka akan merubah pola demokrasi
menjadi pola negara anarki
Adapun Rekomendasi yang dapat penulis
haturkan adalah:
·
Tetap
melakukan kontrol terhadap pemerintah, tidak hanya menyoroti dari segi
kekurangan/kelemahan pemerintah saja, tetapi juga mengapresiasi keberhasilan
Pemerintah.
·
Melakukan
pengawasan secara optimal terhadap Pergerakan Sosial yang merupakan bentukan invisible hand yang memiliki kepentingan
pribadi tertentu
·
Menjaga
harmonisasi tujuan Pergerakan Sosial bersama seluruh elemen bangsa demi
terciptanya Pergerakan Sosial secara cerdas.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku,
Jurnal dan Makalah:
Affan Gafar, 2000, Politik Indonesia, Transisi Menuju
Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Anwar Cengkeng, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi,
In-Trans Publishing, Malang.
Anton M. Moelino, et.al, 1995,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Bagir Manan, 1990, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut
Asas Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945, Disertasi Pasca Sarjana UNPAD, Bandung.
Bill Moyer, 2004,
Merencanakan Gerakan, Pustaka Kendi, Yogyakarta.
Darji Darmodihardjo, et. al , 1994, Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi,
Lab. Pancasila IKIP Malang, Malang.
Dwi Nofi Andhiyantama, 2012, Mungkinkah
Bersatu dalam Demokrasi?, Merdeka
News edisi Januari 2012.
Jimly Asshidiqie, 2005, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia,
disampaikan dalam Kuliah umum di
Universitas Brawijaya Malang tanggal 25 September 2005,
John Friedmen, 1992, Empowerment. The Politics of
Alternative Development.
Blackwell, Cambridge.
KADIN, Membangun Kadin yang Efektif, Pedoman
Advokasi Kebijakan, Kamar Dagang
dan Industri Indonesia, Jakarta.
Loekman Soetrisno, 1995, Negara dan Peranannya Dalam
Menciptakan Pembangunan Desa yang
Mandiri. Dalam Seminar Strategi Pembangunan
Pedesaan, Yogyakarta.
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Gramedia, Jakarta.
Mochtar Lubis, 1986, Hati Nurani Melawan Kezaliman,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia,
Ind. Hill Co. Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta.
Ronny Hanitijo S, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia, Jakarta.
Robert Kaplan, 2000, The Coming Anarchy,
Random House, New York.
Robert Missel, 2004, Teori Pergerakan Sosial,
Resist Book, Yogyakarta.
S.I Bens, et. al, 1964, Principles
of Political Thought, Collier Books, New York.
Soehino, 2000, Ilmu Negara, Liberty,
Yogyakarta.
Soerjono Soekamto, 1998, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Soekanto et al, 2001, Penelitian
Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Press, Jakarta.
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi,
Panitia Penerbit Di Bawah Bendera
Revolusi
Webster’s New Collegiate Dictionary Third
Edition
Wirdjono Prodjodikoro, 1980, Asas-asas
Hukum Tata Negara di Indonesia,
Dian Rakyat, Jakarta.
Zairyardan Zubir, 2002, Radikalisme Kaum Terpinggir,
Studi tentang Ideologi, Isu,
Strategi dan Dampak Gerakan, Insist Press, Yogyakarta.
Zulkarnain, 2008, Bahasa Indonesia Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Widyagama
Malang.
Internet:
Mahasiswa Sekarang “Impoten”? dalam dwinofi.blogspot.com
Memahami Pemberdayaan (Empowerment) dalamwww.bbppketindan.info
Tiga Peran Mayarakat Sipil dalam Proses
Demokrasi dalam www.detik.com
Biodata Penulis :
a. Nama :
Dwi Nofi Andhiyantama
b. NIM :
082421810002
c. Fakultas/Program Studi :
Hukum / Ilmu Hukum
d. Perguruan Tingi :
Universitas Widyagama Malang
e. Alamat :
Jl. Setia 8 Balearjosari-Blimbing- Malang Telp.08980094201
g. Pengalaman Organisasi :
·
Ketua UKM Bola Volly UWG Malang
·
SEKDA BEM FH-UWG
·
Menteri Luar Negeri BEM-UWG Malang
·
Anggota WEC (Widyagama English Club)
·
Anggota UKM
ASPIRASI UWG Malang
·
Anggota FORDIHUWIGA
·
Pengurus GPAP Kota Malang
·
Anggota
PERMAHI
·
Anggota TIDAR (Tunas
Indonesia Raya)
h. Pengabdian Mahasiswa :
·
Ketua Pelaksana Seminar Regional “GerakanMemperkokoh Wawasan Kebangsaan Bagi Generasi Muda se-Jawa Timur”
·
Panitia Jambore
Koperasi Sekolah Tingkat SMA/SMK/MA se-Jawa Timur
·
Panitia LKMM (Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa) UWG Malang
·
Peserta 15th Unesco-Apeid International Conference
2011. Inspiring Education: Creativity and
Entrepreneurship
·
Peserta Lomba Debat Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi RI Tahun
2010 dan 2011
·
Peserta Public Speaking Contest oleh Direktorat Kerjasama ASEAN,
Kementerian Luar Negeri RI dan Univ. Surabaya Tahun 2010
·
Duta Kewirausahaan Universitas Widyagama Malang Tahun 2012
i. Pengalaman Ilmiah :
·
PKM-P lolos 2012 (Ketua)
·
PKM-P lolos 2009 (Anggota)
·
“Mungkinkah Bersatu dalam
Demokrasi?” dimuat dalam koran Merdeka News Edisi Januari 2012
·
“Analisa Terhadap Wajah
Hukum Indonesia” dimuat dalam Tabloid Pilar Edisi Desember 2009