Indonesia mencatatkan dirinya sebagai Negara Hukum,seperti yang ditorehkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum". Konsep negara hukum di Indonesia ini diperkuat lagi dalam pembukaan UUD 1945, bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[1].
Kata “Negara hukum” ini sendiri merupakan terjemahan langsung dari istilah “Rechstaat”. Di negara-negara di Eropa dan Amerika menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk negara hukum ini, contohnya seperti di Jerman dan Belanda memakai kata Rechstaat sedangkan di Perancis memakai istilah kata Etat De Droit. Di negara Spanyol memakai istilah Estado Dederecho, dan Italia memakai kata Stato Di Diritto. Sedangkan di Inggris dikenal ungkapan the state according to law atau according to the rule of law. Istilah-istilah yang digunakan dalam paham Eropa Kontinental dan Amerika Latin adalah istilah-istilah yang tidak memiliki kesepadanan yang tepat dengan sistem hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the rule of law yang juga digunakan untuk maksud “Negara Hukum”[2]. R.Soepomo memberikan pengertian terhadap Negara Hukum ini sebagai negara yang tunduk pada hukum,peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara[3].
Istilah Rechstaat ini sendiri jika ditilik sejatinya mulai populer di Eropa sejak abad XIX walaupun pemikiran akan itu sudah berlangsung lama sebelumnya. Dan sejak tahun 1885 dengan terbitnya buku dari Albert Van Dicey yang berjudul “Introduction to the study of law of the constitution” istilah the rule of law ini mulai populer[4]. Unsur-unsur Rechstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl yang berlatar belakang ahli hukum Eropa Barat Kontinental sbb:
a) Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia
b) Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggara negara harus berdasarkan teori Trias Politica[5]
c) Dalam menjalankan tugasnya,pemerintah berdasarkan atas undang-undang(wetmatig bestuur)
d) Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi(campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang),maka ada pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.[6]
AV Dicey,memberikan pengertian mengenai the rule of law sbb:
a) Supremasi hukum,dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
b) Kedudukan yang sama didepan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat.
c) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.[7]
Dapat dicermati bahwa sejatinya terdapat perbedaan antara konsep antara konsep rechstaat dan juga konsep the rule of law, tetapi juga perlu ditarik sebuah benang merah bahwasanya kedua konsep tersebut tetap melindungi kepada hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar. Dengan ditekankannya perlindungan terhadap hak-hak kebebasan sipil maka dapatlah di analogikan apabila peran pemerintah tentulah sangat sedikit. Dikarenakan peran pemerintah yang sangat sedikit sekali terhadap rakyatnya dan cenderung pasif dan hanya tunduk pada kemauan rakyat yang liberalistik maka negara diperkenalkan sebagai nachtwachterstaat(negara penjaga malam)[8]. Nachtwachterstaat ini menurut Imanuel Kant bertugas untuk menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat.Gagasan negara menurut Kant ini dinamakan Negara Hukum Liberal[9], namun kerap kali pula dinamakan negara hukum formil. Seiring berjalannya waktu konsep yang menginginkan pemerintah untuk tidak banyak ikut campur dalam kehidupan masyarakat ini berubah menjadi ke pemikiran bahwa pemerintah harus bertangung jawab atas kesejahteraan rakyatnya(biasa dikenal dengan konsep negara hukum material/welfare state), dikarenakan gagalnya kapitalisme klasik dan liberalisme seperti apa yang diungkapkan oleh Jimly Asshiddiqie:
“Konsep welfarwe state sendiri lahir karena kegagalan kapitalisme klasik dan liberalisme yang didasarkan atas faham individualisme sehingga terjadi krisis perekonomian dunia di awal abad ke 20 “[10]
Berujung dari kegagalan model nachtwachterstaat tersebut, terlahirlah konsep welfare state seperti yang telah dikemukakan diatas. Dalam konsep welfare state ini disandarkan pula teori mengenai pemisahan kekuasaan atau yang lebih dikenal dengan Trias Politica. Dalam teori Trias Politica ini, kekuasaan negara dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga, dan yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri yaitu:
1. Kekuasaan perundang-undangan, legislatif
2. Kekuasaan melaksanakan pemerintahan, eksekutif
3. Kekuasaan kehakiman, yudikatif[11]
Doktrin ini diuraikan oleh Montesquieu dalam bukunya L’Esprit de Lois(The Spirit Of The Laws), yaitu “In Every government there are three sort of power; the legislative; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on the civil law”[12] yang mana dalam uraian tersebut berarti membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang: kekuasaan legislatif , kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.
Motesquieu tidak memasukkan kekuasaan federatif karena kekuasaan pengadilan itu sebagai kekuasaan yag berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan.Sebaliknya oleh Motesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif[13].
Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya:”Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seadainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu”. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal itu menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.[14]
Dalam doktrin Trias Politica tersebut,Eksekutif yang mana dalam hal ini presiden betugas untuk mengurusi urusan pemerintahan sehari-hari, sedang pembuatan undang-undang oleh parlemen/DPR sebagai lembaga legislatif, dan Yudikatif bertugas dalam pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan[15]. Presiden di Indonesia memiliki wewenang,kewajiban dan hak sbb:
· Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
· Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
· Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
· Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa).
· Menetapkan Peraturan Pemerintah.
· Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
· Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR.
· Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR.
· Menyatakan keadaan bahaya.
· Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
· Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
· Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
· Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
· Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU.
· Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
· Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR.
· Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
· Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.[16]
Berbicara masalah DPR sendiri memiliki runtutan historis yang cukup panjang, dimana pada awal kemerdekaan(1945-1949), lembaga-lembaga negara seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belumlah terbentuk. Berbekal pada pasal 4 aturan peralihan UUD 1945 dibentuklah KNIP yang mana merupakan benih lahirnya badan legislatif di Indonesia. Jumlah anggota KNIP tersebut adalah 60 orang tetapi dalam berbagai literatur disebutkan bahwa jumlahnya adalah 103 orang[17]. Pada era Republik Indonesia Serikat(1949-1950) keberadaan DPR tidak diketahui secara jelas hal ini dinafaskan karena terjadinya kekacauan politik, dimana fokus utama berada di pemerintah federal RIS.
Di era tahun 1950-1956, Pada tanggal 14 Agustus 1945, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS NKRI (UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogyakarta[18].
Pada pemilu 1956, jumlah anggota DPR yang dipilih sebanyak 272 orang. Dalam pemilu ini juga memilih 542 anggota konstituante. Adapun tugas dan wewenang DPR pada era ini adalah sama persis dengan DPRS hal ini dikarenakan landasan hukum yang digunakan adalah UUDS juga[19]. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda.
Di masa DPR Hasil Pemilu 1959 berdasarkan UUD 1945(1959-1965).Jumlah anggota terdapat 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, dimana didominasi oleh : PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dengan lahirnya Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR(DPR-Gotong Royong).
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat[20]. Pada masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966). Dimana setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966. b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966. c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966. d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966. Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk 2 buah panitia:
a) Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
b) Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas-tugas utama sebagai berikut:
· Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 beserta penjelasannya.
· Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
· Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai “Tukang Stempel” kebijakan pemerintah yang berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar yang merupakan pendukung pemerintah. Namun di era reformasi, banyaknya skandal korupsi dan kasus pelecehan seksual merupakan bentuk nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Mantan ketua MPR-RI 1999 s.d 2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR yang sekarang hanya merupakan stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya demi membela kepentingan rakyat. Hal itu tercermin dari ketidakmampuan DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, kasus lumpur Lapindo, dan banyak kasus lagi. Selain itu, DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan beberapa undang-undang. Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat tidak puas terhadap para anggota legislatif[21]. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR. Banyaknya judicial review yang diajukan oleh masyarakat dalam menuntut keabsahan undang-undang yang dibuat oleh DPR saat ini juga mencerminkan bahwa produk hukum yang dihasilkan mereka tidak memuaskan rakyat[22].
Menurut UU No.22 Tahun 2003 pasal 25 dijelaskan bahwa DPR memiliki fungsi: legislasi, anggaran dan pengawasan. Kemudian perihal tugas dan wewenang diatur dalam pasal 26 UU No.22 Tahun 2003 ini yang mana terdiri dari 16 point huruf yang mengatur, DPR pun juga masih dipersenjatai oleh 3 hak yaitu hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat[23].
Namun dari beberapa fungsi ,tugas ,wewenang dan juga hak DPR tersebut ,terdapat lagi hak dari anggota DPR yang diatur khusus oleh pasal 28 UU No.22 Tahun 2003 yaitu,
a. mengajukan rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
Namun dari kedelapan hak anggota DPR tersebut ,hak imunitas (pada point f) terkesan mengusik rasa keadilan rakyat. Hal senada diungkapkan oleh Didi Supriyanto seorang mantan anggota DPR/MPR RI 1999-2004, “Hak istimewa anggota DPR berupa imunitas yang diatur melalui Pasal 28 huruf f UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, ternyata mengusik keadilan rakyat. Dengan hak itu, seorang anggota DPR telah memerankan fungsi “tuhan” (dengan huruf ”t” kecil) di hadapan rakyat Betapa tidak, karena hak yang dilekatkan kepadanya, seorang anggota DPR dapat menjatuhkan vonis bersalah kepada siapa saja tanpa proses penyelidikan, penyidikan dan pendakwaan. Berkali-kali penyalahgunaan itu dipraktikkan, sebanyak itu pula rakyat menjadi korban. Kini, saatnya ditegaskan, bahwa hak-hak itu sesungguhnya dibatasi banyak aturan.”[24].
Dari terminologi hukum kata imunitas dalam bahasa Inggris “immunity” berarti kekebalan, kata lainnya “imunis” yang menyatakan "tidak dapat diganggu gugat". Terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu seperti korps diplomatik atau anggota legislatif.
Black's Law Dictionary mencantumkan istilah “legislative immunity” yang pada intinya bermakna hak kekebalan yang diberikan Konstitusi Amerika Serikat kepada anggota Kongres, Pertama, tidak boleh ditangkap pada saat sidang, kecuali terhadap tidak pidana makar, kejahatan berat seperti pembunuhan dan terhadap pelanggaran perjanjian perdamaian. Kedua, untuk setiap pidato atau debat yang dilakukan di parlemen, mereka itu mempunyai hak kekebalan, baik itu opini, pidato, debat atau penyampaian pendapat, juga dalam pengambilan suara, laporan tertulis, dan penyampaian petisi secara umum yang dirasa penting oleh anggota dilakukan dalam rangka tugas legislatif. Bahkan terhadap adanya tuduhan dengan motif yang tidak jelas melakukan hal-hal di atas, tidak menghapuskan imunitas mereka, sepanjang dilakukan untuk kepentingan publik[25]. Dikaji dalam pasal 28 huruf f UU.No 22 Tahun 2003 ini bahwa seorang anggota DPR memiliki hak imunitas atau kekebalan yang mana dalam penjelasannya ditafsirkan pula bahwa hak imunitas itu adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan[26].
perundang-undangan[26].
Namun dalam pasal 103 ayat 1 UU.No 22 Tahun 2003 ini dijelaskan bahwa hak kekebalan tersebut masih dibatasi oleh Peraturan Tata Tertib dan juga Kode Etik Lembaga[27]. Selain itu patut diketahui juga bahwa anggota legislatif memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah, sehingga dalam hal mengajukan pertanyaan dan pernyataan harus dilakukan dengan tata cara mengindahkan etika politik dan pemerintahan dan senantiasa menggunakan tata krama, sopan santun, norma serta adat budaya bangsa. Tetapi sudah merupakan rahasia umum bahwa suatu hal yang dicitakan tidak pernah seindah pada kenyataan, seringkali anggota DPR tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan tersebut, dimana banyak sekali kasus-kasus yang mana terkesan anggota DPR ini seolah memberikan judge secara liar tanpa mengindahkan ketentuan tersebut[28].
Padahal patut diketahui, Sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP, seseorang hanya dapat dinyatakan bersalah jika sudah ada penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran, penyidikan untuk mencari pelaku, kemudian penuntutan, pendakwaan dan vonis. Semestinya sebagai wakil rakyat, DPR meskipun telah ditamengi dengan hak imunitas tidak boleh secara semena-mena dalam menyampaikan pendapat, terutama dalam menvonis seseorang bersalah meski itu disampaikan dalam rapat resmi adalah perintah undang-undang. Bahwa anggota DPR diberi hak imunitas untuk melindungi diri saat menjalankan tugas harus dimanfaatkan dengan tidak menginjak-injak hukum juga adalah kewajiban. Seharusnya, hak itu digunakan dengan melihat rambu hukum yang memandang semua orang dengan kaca mata presumption of innocence.
Berkaca pada pasal 310 KUHP yang mendalilkan "barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum" diklasifikasikan sebagai pencemaran atau jika itu dimaksudkan untuk menghina, mengingat yang dihina itu umumnya adalah pegawai negeri[29], diklasifikasikan sebagai penghinaan ringan oleh Pasal 315 jo Pasal 316 KUHP. Mengacu kepada aturan pidana di atas, ungkapan tersebut dapat dipandang sebagai pencemaran atau penghinaan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 103 ayat (1) tersebut.
Berbicara mengenai pencemaran nama baik, dalam kajian ilmu hukum pidana adalalah termasuk dalam delik aduan (Klacht delicten), sehingga delik tersebut hanya dapat ditindak apabila telah ada pengaduan dari orang yang nama baiknya dicemarkan. Menurut P.A.F. Lamintang[30] yang dimaksud dengan delik aduan tersebut adalah, delik-delik yang hanya dapat dituntut apabila ada suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan itu didalam bahasa Belanda disebut “delicten allen op klachte vervolgbaar” atau didalam bahasa Jerman juga disebut Antragdelikte, yakni sebagai lawan dari apa yang disebut “delicten van ambtswege vervolgbaar” atau delik-delik yang dapat dituntut sesuai dengan jabatan.
Didalam Klacht delicten terdapat perbedaan mengenai absolute klachtdelict dan juga relatieve klachtdelict. Pada absolute klachtdelict, adanya sebuah pengaduan merupakan “voorwaarde van vervolgbaarheid” atau syarat agar pelakunya dapat dituntut. Dalam hal ini kata “pada dasarnya” sangat penting untuk ditekankan, karena tidak selalu keadaanya demikian, seperti dalam pasal 319 KUHP adalah delik aduan absolut tetapi apabila berkaca pada pasal 316 KUHP delik penghinaan tersebut bukanlah termasuk dalam delik aduan.
“Relative Klachtdelict” , menurut Pompe[31] adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu “voorwaarde voor vervolgbaarheid” atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, dimana orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan tersebut memiliki hubungan yang bersifat khusus.
Kembali pada masalah imunitas tersebut, yang menjadi pokok permasalahan yang pelik apakah pencemaran tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana ataukah hanya pelanggaran kode etik saja. Dapat tidaknya ungkapan tersebut diklasifikasi sebagai tindak pidana tergantung konotasi, locus penyampaian serta sensitivitas ragam asal subyeknya. Seperti keberatan Jaksa Agung beserta jajarannya karena ungkapan dipandang, pertama berkonotasi negatif yang digeneralisir pada tahun 2005, mengingat jumlah jaksa 6000 orang, pernyataan anggota DPR yang mengungkapakan “bagai ustadz di kampung maling” seolah-olah ditujukan ke semua jaksa, apalagi diutarakan berkali-kali dan sebelumnya dalam rapat 7 Februari 2005 telah juga diutarakan, kedua disampaikan di depan umum dalam forum rapat kerja, ada kesan ingin mempermalukan para jaksa, karena rapat tersebut terbuka untuk umum dan ketiga ragam asal subyek tidak sama, meskipun menyampaikan ungkapan tidak dilarang atau sah-sah saja, tetapi harus diperhatikan konteksnya dan hal-hal yang dipandang siri, pamali atau tabu untuk diungkapkan di depan umum, yang dapat ditafsirkan berbeda, mengingat beragamnya adat dan budaya masing-masing daerah. Kalaulah itu tidak digeneralisasi walaupun locusnya sama, tidak akan dipandang berkonotasi negatif pencemaran atau penghinaan, dan sensitivitasnya tidak terusik[32].
Dalam ilmu hukum tata administrasi negara, bentu kesewenang-wenangan dibagi menjadi 5 kelompok :
1. Perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad)
2. Perbuatan melawan Undang-undang (onwetmatig)
3. Perbuatan yang tidak tepat (onjuist)
4. Perbuatan yang tidak bermanfaat (ondoelmatig)
Perbuatan melawan hukum oleh penguasa atau yang sering disebut Onrechtmatige overheidsdaad, berasal dari pasal 1365 BW yang mendalilkan “Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian”, namun dalam perkembangannya pengertian tersebut tidak hanya sebatas pada orang perorangan akan tetapi juga kepada badan hukum atau penguasa. Perbuatan dalam point kedua yaitu onwetmatig, yang berarti bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap melawan hukum bilamana perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersangkutan[34].
Onwetmatig ini disebut juga perbuatan yang ilegal. Undang-undangpun juga harus dimaknai secara luas baik dalam artian formil (wet in formele zin) ataupun materiil (wet in materiele zin). Wet in formele zin ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan Undang-undang karena cara terjadinya,seperti Presiden dan DPR menetapkan UU[35]. UU dalam pengertian wet in materiele zin adalah suatu penetapan kaidah hukum dengan tegas sehingga kaidah hukum tersebut menurut sifatnya menjadi mengikat. Perbuatan selanjutnya adalah Onjuist atau perbuatan yang tidak tepat, ketidak tepatan dari suatu perbuatan atau keputusan dari Administrasi Negara ialah perihal interpertasi dari ketentuan peraturan perundangan yang disekngketakan.
Aparat negara juga dapat melakukan penyimpangan yang bersifat perbuatan tidak bermanfaat (ondoelmatig). Selanjutnya adalah Penyalahgunaan wewenang atau deteurnoment de pouvouir yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang[36]. Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline pengertian penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi diartikan dalam 3 wujud :
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum. Tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan lain.
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana[37].
Ulah anggota DPR tersebut secara jelas dapat dibincangkan sebagai sebuah penyalahgunaan wewenang dalam point 2 tersebut. Dalam khasanah hukum administrasi negara parameter yang membatasi gerak bebas aparatur negara adalah sendi-sendi deteurnoment de pouvouir dan juga abus de droit, sedang dalam area hukum pidana rambu-rambu yang membatasi kesewenangan aparatur negara ini adalah unsur wederrechtelijkheid[38]. Wederrechtelijkheid ini diartikan dalam 2 golongan[39] yaitu paham positif yang berarti “in sjrid met het recht” atau “bertentangan dengan hukum”, kemudian kelompok kedua adalah paham negatif yang mengartikan “wederrechtelijk” sebagai “niet steunend op het recht” atau “tidak berdasarkan hukum” atau juga sebagai “zonder bevoegdheid” yaitu “tanpa hak”.
Dalam ilmu tata negara dikenal sebuah doktrin tentang good governance, secara teoritis good governance mengandung makna bahwa pengelolaan kekuasaan yang didasarkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku, pengambilan kebijaksanaan yang transparant, serta pertanggungjawaban kepada masyarakat[40]. Secara spesifik karakteristik perwujudan good governance adalah sbb[41]:
1. Partsisipasi Masyarakat
2. Tegaknya Supremasi Hukum
3. Transparasi
4. Peduli pada stakeholder
5. Berorientasi pada konsensus
6. Kesetaraan
7. Efektivitas dan Efisiensi
8. Akuntabilitas
9. Visi strategis
Prinsip good governance tersebut adalah suatu hal yang sangat dicitakan demi terwujudnya konsep welfare state yang sangat dirindukan, begitu pula prinsip good governance ini yang harus dipahami dan dipegang teguh oleh anggota DPR yang terhormat dalam membawa Hak Imunitasnya agar tidak sampai berbenturan dengan asas presumption of innoncence / asas praduga tidak bersalah dimana seseorang tidak bisa dikatakan bersalah kecuali atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap[42] . Dimana kesadaran setiap anggota dewan demi menjamin kepentingan masyarakat ini juga tidak membangkang dari kaidah-kaidah hukum yang hidup di Indonesia.
[5] Trias Politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas,mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan antara legislatif,eksekutif dan yudikatif.Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.(www.wikipedia.com diakses tanggal 14 April 2011)
[27] Berikut isi pasal 103 ayat 1 UU. No.22 Tahun 2003: “Anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut di hadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat-rapat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik masing-masing lembaga.”