Salah satunya adalah RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Isu krusial yang banyak mendapat soroton publik dalam RUU tersebut menyangkut pemilihan gubernur yang tidak lagi dipilih secara langsung (direct democracy), tetapi kembali dipilih DPRD.Biaya pilkada Gubernur yang sangat mahal menjadi salah satu pertimbangan Kemendagri. Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur misalnya, menghabiskan anggaran hampir Rp1 triliun. Padahal APBD mereka masing-masing hanya Rp2,7 triliun dan Rp5,9 triliun. Di luar biaya resmi tersebut, diyakini bahwa para kandidat juga menghamburkan dana ratusan miliar bahkan ada yang lebih dari Rp1,5 triliun. Sedangkan gaji yang diterima setiap bulan seorang gubernur hanya Rp8,7 juta. Di samping itu, posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan kewenangan gubernur terbatas dibanding kewenangan yang dimiliki seorang bupati atau walikota, menjadi alasan pembenar bagi Kemendagri untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD.
Alasan Keliru
Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi, tetapi jelas membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut.
Cita-cita utama adanya penyelenggaraan pilkada langsung adalah terpilihnya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara efektif. Melalui pilkada langsung, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih melalui pilkada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam meningkat pertumbuhan demokrasi dan jalannya pemerintahan di daerah.
Pada titik inilah pilkada langsung menjadi pilihan strategis dibandingkan dengan pilkada tak langsung melalui DPRD. Apalagi bila kita telaah lebih jauh salah satu raison d’etre pilkada langsung adalah terciptanya tata cara dan mekanisme yang sama antara pemilihan presiden dan wakil presiden dengan tata cara dan mekanisme pilkada langsung.
Dalih bahwa pilkada langsung gubernur amat mahal tidak cukup kuat untuk mengembalikan pemilihan gubernur ke DPRD. Mahalnya biaya pilkada di Indonesia sesungguhnya disebabkan karena pilkada dianggap sebagai pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus. Mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang berulang tiap pemilihan, sampai kampanye jor-joran yang dilakukan parpol dan calon. Dengan kata lain, pilkada adalah “proyek besar” yang harus dibiayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi dalam paradigma proyek pilkada.
Penggabungan pilkada adalah solusi yang bisa dikembangkan untuk mengatasi problem anggaran. Penggabungan tersebut bisa dalam satu provinsi atau bahkan penggabungan secara nasional. Pilkada yang berlangsung serentak lebih efisien dari segi waktu, biaya, dan dampak sosial politiknya. Apalagi bila pilkada serentak ini digabungkan dengan pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan presiden. Ke depan hanya ada tiga hari pemilu. Pemilu presiden, legislatif dan kepala daerah.
Menyangkut posisi gubernur memang amat dilematis. Di satu sisi gubenur melaksanakan urusan desentralisasi yang menjadi domain fungsinya sebagai daerah otonom dan fungsi pelayanan di provinsi (concurrent system), pada sisi lain bertanggung jawab atas urusan dekonsentrasi dalam kedudukannya selaku wilayah administratif yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Gubernur yang tetap menjalankan fungsi pelayanan (walaupun amat terbatas), tetap membutuhkan legitimasi yang kuat. Pilkada langsung adalah pilihan yang tidak bisa ditawar guna memperoleh legitimasi tersebut.
Bila memaksakan pilkada gubernur tidak secara langsung, menghapus pemerintahan di tingkat provinsi (termasuk DPRD Provinsi) adalah pilihan yang harus ditempuh. Sehingga gubernur hanya memiliki satu fungsi, yakni sebatas wakil pemerintah pusat di daerah.
Implikasi
Gubernur dipilih DPRD tanpa melakukan perubahan mendasar atas arsitektur pembagian kewenangan pusat-daerah, status provinsi dan kedudukan gubernur, baik dalam hirarki pemerintahan maupun dalam konteks otonomi daerah, akan memunculkan persoalan lain yang amat serius.
Pertama, dapat dipastikan bupati dan walikota akan semakin sulit “dikontrol” oleh gubernur. Konflik kepentingan provinsi dengan kabupaten/kota akan semakin terbuka lebar dan sulit dihindari karena dualisme penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Ini dipicu karena tingkat legitimasi yang jauh berbeda. Kekuatan pilkada langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasinya. Kepala daerah membutuhkan legitimasi tersendiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat.
Kedua, tidak ada jaminan bahwa politik uang dan berbagai bentuk politik dagang sapi di DPRD akan dapat dibendung atau bahkan diminimalisir. Yang tentu saja anggaran pilkada, khususnya yang akan dikeluarkan calon akan menjadi pemicu sikap koruptif sang gubernur terpilih. Sulit berharap paradigma kepemimpinan daerah berubah menjadi semakin demokratis, peka terhadap persoalan rakyat, partisipatif dalam pengambilan kebijakan, transparan dalam anggaran, dan akuntabel dalam tugas dan kewajiban.
Ketiga, dualisme sistem pilkada merancukan sistem politik di tingkat daerah. Partai politik sebagai elemen terpenting akan semakin terpinggirkan.
Di luar itu semua, sistem demokrasi perwakilan akan lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekrutmen politik di tangan segelitir orang di DPRD (oligarkis). Sistem ini jelas akan menutup ruang partisipasi bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Ini jelas sebuah kemunduran besar dan penzaliman atas cita-cita reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar