“ANALISA TERHADAP WAJAH HUKUM INDONESIA”
Berdasarkan dari Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 negara Indonesia menyatakan diri sebagai negara hukum (recht staat) yang mana kerap kali diperlawankan dengan konsep negara kekuasaan (macht staat). Hal ini diperkuat lagi dalam pembukaan UUD 1945, yang menurut Latief Fariqun betujuan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Maka setelah meninjau tujuan tersebut, maka indonesia ialah negara hukum dengan tipe negara hukum modern/negara kesejahteraan/Welfare State.
Adapun menurut Fatkhurohman dan Siradjudin dalam reading materialnya mengenal hukum administrasi negara, mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan Welfare State ialah negara yang tugasnya tidak hanya menjaga keamanan dan ketertiban, tetapi mewujudkan pula kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Yang kemudian hal ini diperkuat lagi oleh pendapat Anwar C. bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Menurut Jimly Asshiddiqie ada 12 prinsip pokok yang harus dimiliki oleh suatu negara sebagai pilar berdirinya suatu negara hukum yaitu :
1. Supremasi hukum
2. Persamaan dalam hukum
3. Asas legalitas
4. Pembatasaan kekuasaan
5. Organ-organ eksekutif independen
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokrasi
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
12. Transparasi dan kontrol sosial
Berbicara mengenai prinsip yang pertama yaitu “supremasi hukum” Maka ada baiknya jika kita tinjau tentang arti dari pada supremasi hukum yaitu menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi (panglima) dalam tingkah laku kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, atau dengan kata lain masyarakat, kekuasaan pemerintah negara harus tunduk pada hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum (SuwitoAssociates.com, 27/11/2009). Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa diharapkan hukum dapat ditegakkan secara sempurna, namun Soerjono Soekamto berpendapat, hukum baru dapat ditegakkan bilamana kualitas dari hukum itu sendiri, penegak hukum, partisipasi masyarakat, sarana prasarana, budaya (sadar hukum) semuanya baik.
Namun yang menjadi pertanyaan, sudah baikkah hukum itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya jika kita melihat pernyataan C.S.T Kansil mengenai sumber hukum formal yaitu :
· Undang-undang
· Kebiasaan
· Keputusan-keputusan hakim
· Traktat
· Pendapat ahli
Undang-undang sebagai salah satu produk hukum yang paling sentral mestinya diilhami dari kepentingan masyarakat. Tetapi jika kita menilik pernyataan dari Mahfud MD yang mengungkapkan, tidak ada produk hukum yang lahir demi kepentingan masyarakat murni (Jabarnews.com, 11/6/2009). Maka disimpulkan bahwa adanya kesenjangan yang amat berarti dalam kehidupan hukum Indonesia.
Prinsip pemisahan kekuasaan (Separation of Power) yang dianut oleh Indonesia dapat dilihat dari fungsi lembaga negara menurut UUD 1945 pasca perubahan yang secara garis besar dikelompokkan dalam kekuasaan legistatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif (Anwar.C). yang mana masing-masing kekuasaan memiliki fungsi :
· Legistatif : fungsi membentuk undang-undang → DPR
· Eksekutif : fungsi melaksanakan undang-undang/pemerintahan→ Presiden
· Yudikatif : fungsi peradilan→KY, MA, MK
Dengan meninjau konsep separation of power (Trias Politika) tersebut dapat kita ketahui bahwa presiden dan DPR memiliki peran yang sangat penting dalam perundang-undangan. Yang menjadi permasalahan pelik, Presiden dan DPR mesti harus berasal dari partai politik, maka benarkah produk hukum yang berupa Undang-undang tersebut murni tanpa adanya unsur kepentingan. Menurut Miriam Budiardjo, perundang-undangan sendiri ialah hasil interaksi dari kekuasaan dan kepentingan. Maka dari itu tidak dipungkiri “aroma uang” hampir selalu mewarnai setiap pembehasan RUU di DPR (AL-ISLAM, edisi 39/Tahun XVI). Tentunya hal ini akan berdampak buruk bagi masyarakat yang mencari keadilan, jika nasib mereka telah “dizolimi” oleh para penguasa. Hal senada diungkapkan pula oleh peneliti dari Pukat Korupsi Hifdzil Alim di Jogjakarta yang menyatakan bahwa kinerja DPR masihlah buruk dan juga UU yang dihasilkan memiliki substansi yang buruk pula, seperti, UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No 4 Tahun 2009), UU Badan Hukum Pendidikan (UU No 9 Tahun 2009)
Untuk saat ini di Indonesia, sebagai lembaga pengontrol Undang-undang dikenalah MA dan MK. Yang mana pada MA memiliki peran guna menguji suatu peraturan tersebut bertentangan atau tidak pada peraturan yang ada diatasnya. Dan untuk MK berfungsi sebagai lembaga penguji terhadap undang-undang terhadap UUD. Namun dari 2 lembaga yang ada bagaimana jika UU bertentangan dengan hati nurani masyarakat, seperti pada kasus UU BHP yang secara terang-teranmgan ditolak oleh masyarakat namun tetap diundangkan, yang menjadi soal belum adanya jalan bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan pada Undang-undang yang ada, mestinya begitu mendapat pertentangan dari masyarakat yang dirugikan. Undang-undang tersebut harus dicabut, atau paling tidak membenahi beberapa pasal yang menyimpang tersebut.
Maka penulis tegaskan, kurangnya kesadaran para pembuat undang-undang atas kebebasan dari kepentingan pribadinyalah yang menjadi momok dari permasalahan ini, mengingat kekuasaan pembentuk dan pelaksana Undang-undang dalam tori Trias Politika (Separation of Power) diserahkan pada eksekutif dan legislatif yang notabenenya berasal dari Parpol. Dari hal ini baik sekiranya kita membaca pendapat Magnis Suseno yang mengatakan bahwa “penguasa yang melihat kekuasaannya adalah kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarganya, maka mereka akan menganggap rakyat sekedar sebagai ladang untuk digarap demi keuntungan dia sendiri, maka sudah pastilah ia bukan negarawan”. Maka dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Private Interest lebih dominan dari pada Public Interest.
Untuk mengatasi hal tersebut, solusi yang ditawarkan penulis ialah membentuk lembaga ke-4 selain dari 3 lembaga negara (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) tersebut guna memiliki peran sebagai pembentuk undang-undang yang mana haruslah independent dan tidak berasal dari Parpol, guna menghindari hal yang tidak sepantasnya tersebut. Agar hukum di Indonesia baik adanya.
Oleh : Dwi Nofi Andhiyantama
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Widyagama Malang, Angkatan 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar