Hak istimewa anggota DPR berupa imunitas yang diatur melalui Pasal 28 huruf f UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, ternyata mengusik keadilan rakyat. Dengan hak itu, seorang anggota DPR telah memerankan fungsi tuhan (dengan huruf ”t” kecil) di hadapan rakyat. Betapa tidak, karena hak yang dilekatkan kepadanya, seorang anggota DPR dapat menjatuhkan vonis bersalah kepada siapa saja tanpa proses penyelidikan, penyidikan dan pendakwaan. Berkali-kali penyalahgunaan itu dipraktikkan, sebanyak itu pula rakyat menjadi korban. Kini, saatnya ditegaskan, bahwa hak-hak itu sesungguhnya dibatasi banyak aturan.
Seperti disebutkan dalam Pasal 20-A UUD 1945, anggota DPR memiliki dua kategori hak konstitusional dalam menjalankan fungsinya, yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, terdapat hak individual, yaitu setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Hak yang terakhir inilah yang sering membuat gerah kita sebagai rakyat. Setiap kali berhadapan dengan hak imunitas, kita seolah sedang menghadapi tuhan yang tidak dapat disalahkan. Di dunia kecil pemilik hak imunitas, seolah berlaku ketentuan yang berbunyi, ”Pasal 1” anggota DPR selalu benar, ”Pasal 2” jika terjadi kesalahan, harus kembali ke pasal 1.
Demikianlah, hak imunitas itu tidak lagi sebagai pelindung tugas, tapi dimanfaatkan sebagai senjata penyerang yang sangat mengerikan. Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu saya ingin singgung sekilas soal imunitas ini. Dalam terminologi hukum, kata imunitas yang diimport dari bahasa Inggris immunity berarti kekebalan. kata lain, yaitu imunis atau ”tidak dapat diganggu gugat". Imunitas biasanya melekat pada tindakan seseorang dalam lingkup tertentu seperti korps diplomatik atau anggota legislatif. Di Barat, kita kenal ada istilah legislative immunity yang diberikan kepada anggota Kongres untuk tidak ditangkap pada saat sidang, kecuali terhadap tindak pidana makar, kejahatan berat seperti pembunuhan dan terhadap pelanggaran perjanjian perdamaian. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk tidak ditangkap karena pendapat, pidato dan debat di parlemen.
Sementara di negara kita, seperti tertuang dalam UU No. 22/2003 di atas, hak imunitas atau hak kekebalan hukum yang selanjutnya dalam penjelasan aturan ditafsir sebagai hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, UU yang dijadikan pegangan anggota DPR ini menyebut dengan tegas, bahwa pernyataan dan pendapat harus sesuai dengan peraturan perundangan.
Pada Pasal 103 ayat 1 UU yang sama juga menyatakan, bahwa hak kekebalan tersebut dibatasi, yaitu dilekatkan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Lembaga. Juga dijelaskan kesamaan kedudukan anggota legislatif di depan hukum, sehingga dalam hal mengajukan pertanyaan dan pernyataan harus dilakukan dengan mengindahkan aturan, norma, etika politik dan sopan santun.
Singkat kata, secara yuridis formil hak kekebalan hukum anggota DPR bersifat relatif atau tidak mutlak dan dapat dikesampingkan jika melanggar Pasal 28 huruf c jo. Pasal 29 huruf I dan j jo. Pasal 103 ayat 1 UU No. 22/2003. Jelas kiranya, di hadapan hukum seorang anggota DPR pun harus patuh pada aturan umum. Dalam menyampaikan laporan, pendapat atau rekomendasi, tidak dapat dilakukan dengan cara melanggar hukum yang berlaku meski itu atas nama hak imunitas.
Namun seperti kata pepatah, fakta sering tidak seindah yang dicita-citakan. Setumpuk aturan tidak bermakna apa pun jika tetap dilanggar dan tidak ada sanksi atas pelanggaran itu. Salah satu bentuk pelanggaran atas nama imunitas yang dapat saya sebut dalam tulisan ini misalnya menyangkut kesimpulan Pansus Tanker Pertamina, yang pada pertengahan Januari 2007 lalu menyebut seorang mantan menteri sudah disimpulkan bersalah, meski penyelidikan oleh lembaga negara yang berwenang selama dua tahun menyatakan tidak ada kerugian negara maupun korupsi. Sesuai Pasal 1 angka 5 KUHAP, seseorang hanya dapat dinyatakan bersalah jika sudah ada penyelidikan untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran, penyidikan untuk mencari pelaku, kemudian penuntutan, pendakwaan dan vonis.
Saya mencatat, kesimpulan Pansus DPR dalam kasus ini sudah melampaui tugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Semua lembaga yang dibentuk negara untuk mengatur tertib hukum di negeri ini dikesampingkan dan Pansus DPR berdiri di atas semua lembaga tersebut. Seolah tuhan, Pansus kemudian atas nama imunitas menvonis seseorang bersalah.
Saya menganggap ini adalah sebuah tragedi. Bahwa seorang anggota DPR tidak boleh secara semena-mena dalam menyampaikan pendapat, misalnya memvonis seseorang bersalah meski itu disampaikan dalam rapat resmi adalah perintah undang-undang. Bahwa anggota DPR diberi hak imunitas untuk melindungi diri saat menjalankan tugas harus dimanfaakan dengan tidak menginjak-injak hukum juga adalah kewajiban. Seharusnya, hak itu digunakan dengan melihat rambu hukum yang memandang semua orang dengan kaca mata presumption of innocence atau praduga tidak bersalah.
Kalau Tuhan (dengan ”T” besar) saja dalam memutus hambanya masih melewati hari perhitungan (judgement day atau yaumul hisab), maka perilaku wakil kita di Parlemen sudah sepatutnya dikoreksi. DPR bukan tuhan. Hak imunitas itu dilekatkan untuk melindungi tugas dan tegas tidak tak terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar