Minggu, 13 Februari 2011

Harapan Untuk Sikap Pengadilan Pidana Internasional (ICC) Terhadap Terorisme

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa  pengeboman  terhadap gedung World Trade Center (WTC) di New York, pada tanggal 11 September 2001,  dimana peristiwa ini dikenal sebagai ”September Kelabu”, yang telah menewaskan sekitar 3000 orang.  Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.  Tiga pesawat komersil milik AS dibajak, dua diantaranya ditabrakkanan ke menara kembar Twin Towers, World Trade Centre  (WTC) dan gedung Pentagon.  Tak lama setelah peristiwa di Gedung WTC New York, AS terjadi, pada tanggal 12 Oktober 2002, muncul ledakan Bom  di Legian, Kuta, Bali,  yang telah menewaskan lebih 180 orang dan melukai lebih 200 orang.  Akibat dari tindakan terorisme tersebut  ribuan orang meninggal, trauma luar biasa dan cacat seumur hidup dalam waktu seketika. Beberapa lama setelah peristiwa ini terjadi, pada tanggal  17 Juli 2009, terjadi peristiwa ledakan bom di Jakarta. Peristiwa ini merupakan suatu pertanda bahwa teror masih merupakan ancaman yang serius khususnya bagi negara Indonesia dan bagi dunia global pada umumnya. 
 Kedua tragedi yang terjadi di atas telah mengingatkan kita akan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia yang selalu muncul secara tidak terduga dan eksplosif.  Tragedi ini adalah salah satu bukti nyata bahwa teror merupakan aksi yang sangat keji dan tidak memperhitungkan serta tidak memperdulikan dan sungguh-sungguh mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, martabat bangsa dan norma-norma agama.  Tragedi ini juga telah menunjukkan bahwa dunia telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan  (Humanity Values).  Bahkan,  tragedi ini juga telah mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi mereka yang telah menjadi korban dari tindak kejahatan terorisme.  Di sinilah teror telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas nilai-nilai kemanusiaan. 
Sebagai sebuah kejahatan yang fenomenal, terorisme bukanlah kejahatan yang biasa (Ordinary Crime),  namun merupakan sebuah kejahatan yang luar biasa (Extrordinary Crime), yang dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tanpa mengindahkan batas-batas wilayah, agama dan bangsa.   Terorisme juga merupakan kejahatan internasional karena  telah memenuhi tiga (3) elemen kejahatan internasional sebagaimana antara lain sebagai berikut: Pertama, memiliki pengaruh/ efek yang luas, tidak hanya terhadap satu negara atau satu wilayah saja akan tetapi juga memiliki efek transnasional.  Kedua, dan mungkin yang paling penting ialah dilakukan dan dipusatkan di dalam wilayah suatu negara yang kemudian menjurus pada ’state promotion’,’ state toleration’ atau ’state acquiesce’, sehingga alasan bagi penanganan secara internasional atau bilateral menjadi sangat beralasan atau dengan kata lain terdapatnya pengakuan, perlindungan atau bantuan dari negara.  Ketiga, telah merupakan persoalan komunitas internasional dan ancaman bagi perdamaian terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) disamping kejahatan perang (war crimes). Keempat,  perbuatan tersebut berskala luas dan serius.
Kemunculan terorisme sebagai jenis kejahatan internasional yang baru di dalam Hukum Pidana Internasional bukanlah merupakan sesuatu wajar karena pada dasarnya sifat kejahatan terorisme itu sendiri yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara. Terorisme sebagai kejahatan internasional telah melampaui batas-batas wilayah negara baik mengenai tempat terjadinya, akibat-akibat yang ditimbulkannya maupun tujuan kejahatan itu sendiri. Demikian pula para pelaku kejahatan terorisme itu sendiri bisa dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara (State Terrorism).
Dalam pandangan penulis, kejahatan terorisme dapat memenuhi ruang lingkup dan substansi dari hukum pidana internasional karena beberapa alasan  yaitu sebagai berikut: Pertama, jurisdiksi di dalam kejahatan terorisme meliputi lebih dari satu negara (sekurang-kurangnya 2 negara), hal ini tidak lain disebabkan karena kejahatan terorisme telah melampaui batas suatu negara (Transcend National Boundaries) sehingga akhirnya menjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia (threat to the peace). Kedua,  karena terorisme merupakan  suatu kejahatan transnasional, juga sekaligus sebagai kejahatan yang  luar biasa (Extra Ordinary Crime) dan bahkan sudah menjadi musuh bagi umat manusia (Hostis Humanis Generis),  maka  semua atau bagian terbesar negara-negara sangat berkepentingan untuk mencegah, memberantas dan menghukum para pelaku kejahatan terorisme ini.  Oleh karena itu negara-negara di dunia cenderung untuk mencegah dan memberantasnya melalui kerjasama internasional dan mengaturnya ke dalam konvensi-konvensi internasional.  Adanya pengaturan mengenai kejahatan terorisme yang diatur secara tegas di dalam berbagai instrumen-instrumen hukum internasional, khususnya di dalam resolusi-resolusi PBB yang berkaitan dengan terorisme, juga di dalam berbagai konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang kejahatan terorisme.  Adapun beberapa Konvensi Internasional yang mengatur tentang terorisme Internasional antara lain sebagai berikut:
  1. Convention for the Prevention and Punishment of Terrorism 1937
  2. Convention on International and Punishment of Terrorism 1937 (Chicago Convention, 7 Desember 1944).
  3. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Humanity Internationally Protected Persons Including Diplomatic Agents, 1973.
  4. International Convention Against Taking of Hostages, 1979.
  5. Res. UNGA No. 34/154, 1979; measures to prevent International Terrorism which endanger or takes innocent human live or jeopardizes fundamental forms of terrorism and acts of violence which its in cause some people to sacrifice human lives including their own in an attempt to effeect radical chan
  6. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving Civil Aviation (Montreal Convention, 24 February 1988).
  7. Convention and Protocol from the International Against the Safety of Maritime Navigation (Rome Convention, 10 March 1988).
  8. Declaration on Measures to eliminate International Terrorism Res. UNGA No. 49/60, 1994). 
  9. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing 1997.
  10.  International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 
  11.  Berbagai Resolusi Majelis Umum PBB dan DK PBB dan Konvensi-Konvensi Regional. 
Ketiga, adanya suatu lembaga internasional yang dapat mengadili para pelaku kejahatan terorisme tersebut yaitu di dalam Pengadilan Pidana Internasional (ICC), dimana Pengadilan ICC ini didirikan khusus untuk mengadili  kejahatan-kejahatan serius antara lain Kejahatan Perang (War crimes), Kejahatan Genosida (Genocide), Kejahatan Agresi (Agression) dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime against Humanity).  Sayangnya, persoalan mengenai pemberantasan terorisme hingga saat ini belum menjadi salah satu kewenangan dari peradilan internasional, bahkan penanganan terorisme saat ini lebih ditekankan pada penegakan di level domestik, khususnya di dalam peradilan terhadap kejahatan terorisme , yang masih saja diserahkan pada lembaga pengadilan nasional, dan bukan pada lembaga pengadilan Internasional. Padahal terorisme merupakan salah satu calon yang potensial bagi kejahatan internasional baru yang materinya telah diatur dalam Hukum Pidana Internasional.
Kejahatan terorisme bukanlah kejahatan biasa (Ordinary Crime), bahkan bukan termasuk ke dalam kejahatan lintas-batas biasa (Cross-border crime). Meskipun istilah ”terorisme” tidak memiliki definisi yang legal, akan tetapi istilah tersebut menunjukkan adanya penggunaan tindakan kekerasan yang tidak sah untuk tujuan politik. Sayangnya, sejak terorisme dimotivasi secara politis, negara-negara menjadi target atau sasaran bahkan negara-negara juga menjadi sponsor terorisme.  Oleh karena adanya unsur yang bersifat politis di dalam kejahatan terorisme tersebut, maka munculnya ataupun adanya tekanan untuk melakukan proses peradilan Internasional yang  adil, dalam hal ini khususnya terhadap kejahatan terorisme, merupakan suatu hal yang dapat dimengerti, dan bahkan merupakan hal yang logis karena kejahatan terorisme memiliki  unsur-unsur politik.  Karena adanya aspek yang bersifat politik di dalam kasus-kasus terorisme Internasional, maka negara-negara-apakah mereka sebagai pelaku  (perpetrator states) atau sebagai sasaran (targeted states) yang menjadi pihak yang terlibat di dalam kasus ini, tidak diizinkan/tidak diperbolehkan untuk mengadili kasus-kasus yang mereka lakukan tersebut. Oleh karena itu, disaat negara Amerika Serikat menderita akibat serangan teroris-teroris pada tanggal 11 September 2001,  banyak yang menyarankan bahwa sebaiknya pengadilan dilakukan diluar pengadilan-pengadilan Amerika Serikat, atau di Negara-Negara Ketiga atau bahkan di dalam suatu pengadilan internasional. Hal ini disebabkan karena negara Amerika Serikat dipandang sebagai ”pihak yang terlibat konflik” (Party to the conflict) sehingga apabila peradilan dilakukan di dalam pengadilan Amerika Serikat, dikhawatirkan akan menjadi suatu pengadilan yang tidak netral. Karenanya itu sebagian berpendapat, terhadap kasus tersebut, sebaiknya diatasi oleh sebuah lembaga yang tidak dapat dipengaruhi oleh negara-negara yang terlibat oleh konflik yaitu dilakukan oleh sebuah pengadilan Internasional atau dilakukan oleh  Negara Ketiga yang melaksanakan Jurisdiksi Universal.  Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Negara Libya di depan International Court of Justice (ICJ) terhadap kasus ”Lockerbie”. Sebagai contoh, Hakim  Sahabudin selaku hakim Ad-hoc yang menangani kasus ledakan pesawat Pam Am di Lockerbie, Scotlandia, dan juga menangani negara-negara yang terlibat di dalamnya yaitu Libya, Amerika Serikat dan Scotlandia, menanyakan di depan pengadilan apakah  para para pelaku yang dituduh melakukan kejahatan tersebut dapat menerima peradilan yang jujur di Amerika Serikat.  Namun akhirnya hakim  Ad-hoc El-Kosheri menyatakan pendapatnya bahwa pelaku kejahatan yang melakukan peledakan tersebut tidak mungkin akan memperoleh peradilan yang jujur  baik di Amerika Serikat, di Inggris maupun di Libya. 
Berdasarkan kasus diatas maka menurut pandangan penulis untuk mendapatkan suatu keadilan di dalam menghadapi kasus-kasus semacam ini maka salah satu solusinya ialah bilamana terdapat  sebuah lembaga internasional yang dipercaya oleh negara-negara untuk menyelesaikan untuk menangani kasus-kasus tersebut, dalam hal ini ialah Pengadilan Pidana Internasional.   Akan tetapi  yang perlu diketahui adalah bahwat tidak semua negara memiliki keinginan untuk menyelesaikan kasus terorisme di dalam Peradilan ICC. Sebagai contohnya, salah satu negara yang menolak dilakukan peradilan internasional  terhadap kasus terorisme adalah Amerika Serikat yang menolak dibentuknya sebuah peradilan internasional untuk menangani kasus 11 September 2001.   
Selain itu, muncul kekhawatiran diantara sebagian negara-negara apabila terorisme diadili melalui suatu peradilan internasional dengan alasan-alasan berikut antara lain;  Pertama, negara yang dituduh mensponsori terorisme dikhawatirkan akan mempersoalkan keabsahan (legitimacy) dan netralitas (neutrality) dari lembaga-lembaga internasional (international institutions) yang memiliki wewenang untuk mengadili kasus tersebut.  Kedua, negara-negara yang menjadi sasaran terorisme juga tidak mau bergantung pada lembaga internasional untuk menangani kasus tersebut, dimana mereka mempersoalkan apakah lembaga internasional ini bisa berjalan efektif di dalam melakukan mekanisme pengadilan, khususnya bila negara yang menjadi sasaran terorisme tersebut telah memiliki sistem peradilan dan investigasi nasional yang maju dan  memiliki sumber-sumber daya yang baik untuk menyelesaikan kasus tersebut. Ketiga, negara-negara yang menjadi sasaran terorisme juga menyadari bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda; tidak semua negara memiliki sikap dan cara pandang yang sama di dalam menghadapi kejahatan terorisme.  Karenanya itu negara-negara yang terlibat dalam kasus terorisme tersebut merasa ragu dan khawatir bila menyerahkan kasus tersebut kepada suatu  pengadilan internasional yang mungkin saja memiliki  prioritas yang berbeda dari negara-negara yang terlibat kasus tersebut.  Keempat, negara-negara yang menjadi sasaran terorisme juga mungkin akan mempersoalkan apakah lembaga internasional yang menangani kasus terorisme tersebut mau berbagi mengenai pandangan-pandangan negara di dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Selanjutnya, di dalam hukum pidana internasional, penegakan hukum pidana internasional dalam bentuk proses menuntut dan mengadili para pelaku tindak pidana internasional ini dilakukan melalui  dua (2) cara yaitu: Penegakan Langsung (direct enforcement system) dan Penegakan Tidak Langsung (indirect enforcement system).   Penegakan hukum pidana internasional secara langsung  (direct enforcement system) adalah menuntut dan mengadili pelaku kejahatan internasional melalui suatu lembaga peradilan internasional yakni oleh Pengadilan Pidana Internasional.  Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah suatu lembaga peradilan pidana internasional permanen yang memiliki jurisdiksi atau kewenangan untuk melakukan peradilan atas pelanggaran dan kejahatan interansional sebagaimana terdapat di dalam prinsip-prisip Peradilan Ad hoc Nuremberg. Lembaga ini berdasarkan Pasal 1-nya mempunyai wewenang untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional yang menjadi jurisdiksinya yaitu Kejahatan Genosida (Genocide), Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime against humanity), Kejahatan Perang (War crimes) dan Agresi (Agression).
Namun yang menjadi persoalan penting di dalam Pengadilan ICC ialah apakah Pengadilan ICC hendak atau tidak untuk memasukkan kejahatan terorisme ke dalam jurisdiksinya  Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut pandangan penulis, Pengadilan ICC (International Crime Court ) merupakan forum yang tepat untuk mengadili kejahatan terorisme.  Mengapa Pengadilan ICC?  Karena Pengadilan ICC memiliki jurisdiksi atau kewenangan untuk  mengadili kejahatan-kejahatan serius terhadap kemanusiaan (kejahatan HAM berat seperti Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi).  Pembentukan ICC ini serta merta merupakan upaya bersama negara-negara di dunia untuk mengadili dan menghukum para penjahat HAM berat. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam Statuta Roma 1998 (Rome Statute) dimana statuta ini secara eksplisit menegaskan bahwa pelaku kejahatan-kejahatan yang paling serius tidak seharusnya berlalu tanpa dihukum, dan penghukuman secara efektif hanya dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan pada level nasional dan kerjasama internasional.  Meskipun pengadilan pidana internasional tidak memiliki jurisdikisi terhadap kejahatan-kejahatan terorisme akan tetapi karena terorisme internasional merupakan kejahatan internasional namun setiap negara yang berdaulat dapat mengkriminalisasi kejahatan terorisme  ke dalam kejahatan  kemanusiaan.  Hal ini dikarenakan hukum internasional baik dalam bentuk konvensi maupun dalam bentuk resolusi DK PBB serta hukum kebiasaan internasional yang berkembang untuk menentang terorisme telah menempatkannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan-kejahatan terorisme dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC hanya bila pelaku kejahatan terorisme tersebut juga dapat melakukan Genosida, Kejahatan Perang atau Kejahatan terhadap Kemanusiaan, karena ketiga jenis kejahatan tersebut merupakan  jurisdiksi dari ICC. Oleh karenanya itu, apabila sebuah tindakan terorisme mengandung elemen atau unsur dari ketiga jenis kejahatan tersebut maka tindakan terorisme dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC.
Namun sayangnya, hingga saat ini Pengadilan ICC tidak memiliki kewenangan untuk mengadili kasus terorisme internasional, sebab kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam jurisdiksi ICC telah dibentuk di dalam Pasal 5 Statuta ICC (Rome Statute 1998) antara lain yaitu; Kejahatan Genosida,  Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi.  Dengan demikian,  yang menjadi persoalan adalah bagaimana caranya agar terorisme internasional dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan revisi (amandemen) terhadap Statuta Roma.  Sesuai dengan prosedur yang telah diatur di dalam Pasal 121 dan 123 Statuta Roma maka kejahatan terorisme hanya dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC melalui cara amandemen, yang dapat terjadi tidak kurang dari 7 tahun setelah Statuta ICC tersebut berlaku (entry into force). Terlebih lagi, bila amandemen tersebut dilakukan oleh Statuta ICC,  maka hanya akan mengikat negara-negara yang menerima amandemen tersebut. 
Sebagai contoh,  pada 1 Juli 2009, Sekjen PBB dapat melakukan sebuah konferensi untuk meninjau ulang (review) apakah amandemen terhadap Statuta ICC merupakan hal yang tepat. Menurut Pasal 123 ayat (1) tinjauan (review) terhadap Statuta ICC tersebut tidak hanya dibatasi pada daftar kejahatan-kejahatan internasional yang telah dimasukkan ke dalam Pasal 5 Statuta ICC. Apabila Statuta ICC diamandemen pada masa yang akan datang untuk memasukkan kejahatan-kejahatan terorisme, maka kapasitas ICC  untuk mengadili  kejahatan-kejahatan internasional  (selain dari jenis kejahatan-kejahatan yang telah diatur dalam Statuta ICC) akan lebih besar. Dengan demikian,  Statuta Roma 1998 secara eksplisit menyiratkan bahwa jurisdiksi material ICC bisa saja diperluas sehingga mencakup kejahatan-kejahatan lain.  Hal ini telah dinyatakan di dalam Pasal 121 ayat (5) dari Statuta  ICC yang menyatakan sebagai berikut;  ” In respect of a State Party which has not accepted the amendement , the Court shall not exercise its Jurisdiction regarding a crime covered by the amandment when committed by the States Party’s nationals or on its territory”. The ICC treaty amandment process is based on the vote of a super-majority of ICC states parties”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jurisdiksi hanya dapat dilakukan terhadap negara-negara yang menerima amandemen.  Bila negara-negara pihak tidak menerima amandemen maka ICC tidak dapat melaksanakan jurisdiksinya.  Amandemen Statuta ICC hanya dapat dilakukan berdasarkan voting atau pungutan suara dari sebagian besar negara-negara pihak ICC. Dengan kata lain, Statuta ICC hanya dapat memiliki jurisdiksi terhadap kejahatan terorisme yang dimasukkan melalui amandemen hanya bila kejahatan tersebut dilakukan warga negara dan di negara yang telah menerima amandemen tersebut.  
Dalam pandangan penulis, pengadilan ICC dapat menjadi sebuah forum yang efektif untuk melakukan suatu peradiuan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan terorisme. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan-alasan yang mendasarinya yaitu antara lain sebagai berikut:
  1. Pertama, adanya keuntungan-keuntungan yang didapatkan negara-negara. Negara-negara yang lebih kecil akan mendapatkan keuntungan apabila kejahatan-kejahatan terorisme dimasukkan ke dalam Statuta ICC karena akan dapat mengurangi sumber dana untuk mengadili para teroris. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, negara-negara seperti Egypt, Algeria, Filipina, atau Rusia, yang notabene adalah negara-negara yang memiliki persoalan-persoalan serius dengan para teroris, kurang mampu untuk mengadili para pelaku terorisme (teroris-teroris) ke pengadilan.  Dengan demikian jelaslah bahwa negara-negara ini tidak memiliki potensi atau kemampuan seperti negara AS untuk melaksanakan tugas operasi jarak jauh.  Bila Pengadilan ICC dapat melaksanakan jurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan terorisme, maka dapat mengurangi dana finansial yang dipergunakan dalam proses mengadili para pelaku terorisme, oleh negara-negara yang lebih kecil.
  2. Kedua, Pengadilan ICC merupakan lembaga atau institusi yang netral pada tingkat internasional.  Hal ini sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) huruf a  dalam Statuta ICC yang menyatakan bahwa hakim-hakim yang bekerja di dalam ICC;“ shall be chosen from among persons of high moral character, impartiality and integrity”. Ini menunjukkan  bahwa hakim-hakim yang bekerja di dalam pengadilan ICC adalah orang-orang yang terpilih dengan karakter moral yang baik, jelas dan memiliki integritas.  Selain itu dalam pasal 36 ayat (8) huruf a bagian (ii) Statuta ICC juga menjamin bahwa hakim-hakim tersebut telah dipilih menurut perwakilan secara geografik.  Netralitas dari pengadilan ICC akan memberikan manfaat  yaitu peradilan yang lebih efektif  terhadap para teroris. Dengan demikian hal ini akan memberikan kemungkinan bagi para teroris untuk  tidak melarikan diri ke tempat yang aman  di negara-negara yang sistem pengadilannya tidak baik atau negara yang tidak mau (unwilling) mengadili para teroris tersebut.
  3. Ketiga, jurisdiksi material ICC dapat diperluas terhadap kejahatan-kejahatan terorisme. Pada dasarnya pengadilan ICC tidak memiliki jurisdiksi secara eksplisit untuk mengadili teroris-teroris. Demikian juga beberapa sarjana dan ahli hukum membantah bila teroris-teroris dapat diadili karena melakukan kejahatan perang ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu hal ini masih menjadi persoalan dan perdebatan diantara  sarjana-sarjana dan ahli hukum.  Meskipun demikian teroris-teroris tersebut dapat diadili dengan tuntutan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against Humanity).   Setiap negara yang berdaulat dapat mengkriminalisasi kejahatan terorisme ke dalam kejahatan kemanusiaan. Hal ini dikarenakan hukum internasional baik dalam bentuk Konvensi maupun dalam bentuk Resolusi DK PBB serta hukum kebiasaan internasional yang berkembang untuk menentang terorisme, telah menempatkannya sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.  Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 7 dari Statuta Roma 1998 yang mengatur tentang kejahatan terhadap kemanusiaan dan berkaitan dengan unsur-unsur dari kejahatan tersebut, dimana serangan yang dilakukan harus ditujukan kepada penduduk sipil dan merupakan bagian dari serangan yang luas atau sistematis, yang dilakukan sebagai bagian di dalam kebijakan negara atau kebijakan yang terorganisir.  Pasal 7 ayat (1) dari Statuta Roma 1998 mengutuk serangan-serangan  yang luas atau sistematik yang ditujukan kepada penduduk sipilPasal 7 ayat (2) menggambarkan “serangan “ tersebut sebagai;“A course  of conduct involving the multiple commission of acts…pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such an attack”.  Di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a menunjukkan adanya kemungkinan bagi kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam konteks “sebuah kebijakan yang terorganisir”. Hal ini telah menandakan bahwa Hukum Kebiasaan Internasional telah berkembang dan saat ini telah memasukkan non state actor sebagai organisasi-organisasi teroris.  Dengan demikian, sebenarnya jurisdiksi ICC dapat diperluas terhadap organisasi-organisasi teroris.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis berkesimpulan  bahwa kejahatan terorisme dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC karena memiliki dasar teoritis dan juridis yang kuat di dalam khususnya dalam tataran internasional.  Adapun hal-hal yang mendasari kejahatan terorisme untuk dapat dimasukkan ke dalam jurisdiksi ICC menurut penulis adalah karena beberapa alasan sebagai berikut yaitu;  Pertama, dengan adanya definisi terorisme yang terdapat di dalam  berbagai konvensi-konvensi internasional tentang terorisme telah menunjukkan bahwa ketiadaan definisi universal dari terorisme tidak dapat menhalangi terorisme untuk dimasukkan ke dalam Jurisdiksi ICC.  Kedua, apabila terorisme dimasukkan ke dalam Jurisdiksi ICC maka terorisme harus dibedakan dari kejahatan-kejahan inti (Core Crimes) sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 Statuta ICC (Genocide, War Crimes, Crime Against Humanity) agar dapat memudahkan Pengadilan ICC di dalam  proses penuntutan, peradilan dan penjatuhan hukuman kepada para teroris.  Ketiga, adanya berbagai Konvensi-Konvensi Internasional tentang terorisme dapat  dijadikan Hukum Kebiasaan Internasional (International Customary Law), yang dapat dijadikan acuan atau dasar untuk mengadili individu-individu yang melakukan kejahatan terorisme Internasional yakni para teroris.
.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut