Selasa, 05 April 2011

JIKA GUBERNUR DIPILIH DPRD

Dalam waktu dekat, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) segera menyerahkan 3 (tiga) Rancangan Undang-undang (RUU) menyangkut pemerintahan daerah ke DPR untuk dilakukan pembahasan bersama.
Salah satunya adalah RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Isu krusial yang banyak mendapat soroton publik dalam RUU tersebut menyangkut pemilihan gu­bernur yang tidak lagi dipilih secara langsung (direct de­mocracy), tetapi kembali dipilih DPRD.Biaya pilkada Gubernur yang sangat mahal menjadi salah satu pertimbangan Ke­men­dagri. Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur misal­nya, menghabiskan anggaran hampir Rp1 triliun. Padahal APBD mereka masing-masing hanya Rp2,7 triliun dan Rp5,9 triliun. Di luar biaya resmi tersebut, diyakini bahwa para kandidat juga menghamburkan dana ratusan miliar bahkan ada yang lebih dari Rp1,5 triliun. Sedangkan gaji yang diterima setiap bulan seorang gubernur hanya Rp8,7 juta. Di samping itu, posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan kewenangan gu­bernur terbatas dibanding kewenangan yang dimiliki seorang bupati atau walikota, menjadi alasan pembenar bagi Kemendagri untuk me­ngem­balikan pemilihan gubernur ke DPRD.
Alasan Keliru
Pilkada langsung tidak dengan sendirinya menjamin (taken for granted) peningkatan kualitas demokrasi, tetapi jelas mem­buka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut.
Cita-cita utama adanya penyelenggaraan pilkada lang­sung adalah terpilihnya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem peme­rintahan yang mampu berjalan secara efektif. Melalui pilkada langsung, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemim­pin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pe­mimpin yang terpilih melalui pilkada agar mampu menja­lankan fungsi dan perannya dalam meningkat pertumbuhan demokrasi dan jalannya pe­merintahan di daerah.
Pada titik inilah pilkada langsung menjadi pilihan strategis dibandingkan dengan pilkada tak langsung melalui DPRD. Apalagi bila kita telaah lebih jauh salah satu raison d’etre pilkada langsung adalah terciptanya tata cara dan meka­nisme yang sama antara pemi­lihan presiden dan wakil presiden dengan tata cara dan mekanisme pilkada langsung.
Dalih bahwa pilkada lang­sung gubernur amat mahal tidak cukup kuat untuk me­ngembalikan pemilihan guber­nur ke DPRD. Mahalnya biaya pilkada di Indonesia se­sung­guhnya disebabkan karena pilkada dianggap sebagai pesta akbar dan harus dibiayai secara khusus. Mulai dari pendaftaran ulang yang sering tidak valid, pengadaan barang dan jasa untuk pencoblosan yang beru­lang tiap pemilihan, sampai kampanye jor-joran yang dila­kukan parpol dan calon. De­ngan kata lain, pilkada adalah “proyek besar” yang harus di­biayai anggaran besar pula. Akibatnya, inefisiensi terjadi da­lam paradigma proyek pil­kada.
Penggabungan pilkada ada­lah solusi yang bisa dikem­bangkan untuk mengatasi problem anggaran. Pengga­bungan tersebut bisa dalam satu provinsi atau bahkan pengga­bungan secara nasional. Pilkada yang berlangsung serentak lebih efisien dari segi waktu, biaya, dan dampak sosial politiknya. Apalagi bila pilkada serentak ini digabungkan dengan pelak­sanaan pemilihan umum legis­latif dan presiden. Ke depan hanya ada tiga hari pemilu. Pemilu presiden, legislatif dan kepala daerah.
Menyangkut posisi gu­bernur memang amat dilematis. Di satu sisi gubenur melak­sanakan urusan desentralisasi yang menjadi domain fungsinya sebagai daerah otonom dan fungsi pelayanan di provinsi (concurrent system), pada sisi lain bertanggung jawab atas urusan dekonsentrasi dalam kedudukannya selaku wilayah administratif yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Gubernur yang tetap menjalankan fungsi pela­yanan (walaupun amat ter­batas), tetap membutuhkan legitimasi yang kuat. Pilkada langsung adalah pilihan yang tidak bisa ditawar guna mem­peroleh legitimasi tersebut.
Bila memaksakan pilkada gubernur tidak secara langsung, menghapus pemerintahan di tingkat provinsi (termasuk DPRD Provinsi) adalah pilihan yang harus ditempuh. Sehingga gubernur hanya memiliki satu fungsi, yakni sebatas wakil pemerintah pusat di daerah.
Implikasi
Gubernur dipilih DPRD tanpa melakukan perubahan mendasar atas arsitektur pem­bagian kewenangan pusat-daerah, status provinsi dan kedudukan gubernur, baik dalam hirarki pemerintahan maupun dalam konteks oto­nomi daerah, akan memun­culkan persoalan lain yang amat serius.
Pertama, dapat dipastikan bu­pati dan walikota akan semakin sulit “dikontrol” oleh gubernur. Konflik kepen­tingan  provinsi dengan kabu­pa­ten/kota akan semakin ter­buka lebar dan sulit dihindari karena dualisme penye­leng­garaan fungsi desentralisasi. Ini dipicu karena tingkat legitimasi yang jauh berbeda. Kekuatan pilkada langsung terletak pada pembentukan dan implikasi legitimasinya. Kepala daerah membutuhkan legitimasi ters­endiri sehingga harus dipilih sendiri oleh rakyat.
Kedua, tidak ada jaminan bahwa politik uang dan ber­bagai bentuk politik dagang sapi di DPRD akan dapat dibendung atau bahkan dimi­nimalisir. Yang tentu saja anggaran pilkada, khususnya yang akan dikeluarkan calon akan menjadi pemicu sikap koruptif sang gubernur terpilih. Sulit berharap paradigma kepemimpinan daerah berubah menjadi semakin demokratis, peka terhadap persoalan rakyat, partisipatif dalam pengambilan kebijakan, transparan dalam anggaran, dan akuntabel dalam tugas dan kewajiban.
Ketiga, dualisme sistem pilkada merancukan sistem politik di tingkat daerah. Partai politik sebagai elemen ter­penting akan semakin ter­pinggirkan.
Di luar itu semua, sistem demokrasi perwakilan akan lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekrutmen politik di tangan segelitir orang di DPRD (oligarkis). Sistem ini jelas akan menutup ruang partisipasi bagi warga dalam proses demokrasi dan menen­tukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Ini jelas sebuah kemunduran besar dan penzaliman atas cita-cita re­formasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut