Senin, 13 Juni 2011

SISTEM PENUNTUTAN PIDANA MODERN DI NEGARA-NEGARA YANG TIDAK MENGANUT SECARA RESMI SISTEM OPORTUNITAS ATAU LEGALITAS


Pada dasarnya negara-negara modern dapat dikelompokan ke dalam dua golongan yaitu penganut sistem hukum Anglo Saxon dan penganut sistem hukum Eropa Kontinental. Untuk negara-negara sosiais ataupun eks-sosialis digolongkan kedalam kelompok tersendiri. Kedua golongan negara dengan perbedaan sistem ukumnya tersebut pernah sebagian besar menjajajh bumi Asia maupun Afrika, dan dimana mereka selalu enerapkn sistem hukumnya di negara jajahannya tersebut. Seperti apa yang terjadi anatara Indonesia dan Malaysia dimana memiliki sistem hukum yang berbeda meskipun masih dalam satu rumpun dan bersebelahan. Dimana Indonesia lebih berkiblat pada Eropa Kontinental sedang Malaysia lebih condong ke Anglo Saxon. Akibatnya yang nampak, walaupun Indonesia telah berhasil membuat KUHAP yang lahir dari rahim asli Indonesia tetapi tetap saja masih bertumpu pada sistem Eropa Kontinental atau yang akrab juga disebut Civil Law, sedangkan Malaysia, Brunei, Singapura lebih bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon yang disebut juga Comon Law.
            Tetapi perlu dicermati bahwa KUHAP tidaklah menganut sistem Civil Law secar murni, hal ini dapat diketahui dalam hal jaksa tidak dapat menyidik hal ini ekuivalen dengan apa yang terjadi di Inggris, Malaysia dll. Namun di Skotlandia yang termasuk dalam Kesatuan Kerajaan Britania Raya (United Kingdom of Great Britain) lebih condong ke sistem eropa kontinental Perancis yang mana merupakan dari sumber hukum sistem Belanda yang kemudian diwariskan ke Indonesia berdasarkan asas konkordasi. Tidak hanya itu saja di Inggris (England and Wales) dalam sistem penuntutannya juga mulai merapat ke sistem hukum eropa kontinental.           Sejak tahun 1986, Inggris menciptakan sebuah lembaga baru yaitu lembaga penuntut umum, yang dikenal dengan nama Crown Prosecutor Service (CPS). Sebelum tahun tersebut di Inggris tidak memiliki lembaga penuntutan secara khusus, dimana yang melakukan penuntutan pada waktu itu masih pada polisi. Dikarenakan dalam hal penuntutan memerlukan keahlian khusus, maka pada waktu itu polisi hanya menangani penuntutan terhadap ksus-kasus kecil saja, sedang untuk keperluan penuntutan pada kasus besar maka mereka menggunakan jasa barrister(advokat) atau solicitor(pengacara). Namun pada hasilnya biaya yang diperlukan guna membayar pengacara melakukan itu adalah cukup mahal, maka dalam kondisi demikian lahirlah pemikiran untuk menciptakan sebuah lembaga penuntut umum.
            Dibentuklah suatu undang-undang yang bernama Prosecution Service Act, yang mana berdasar UU tersebut lahirlah Director of Public Prosecutions yang mana berfungsi sejak tanggal 1 Oktober 1986. Namun dalam prakteknya wewenang CPS berkembang sejak tahun 1986 meskipun ia belum menyidik. Ia mulai memberi polisi petunjuk-petunjuk dan polisi wajib memenuhi petunjuk CPS tersebut guna mengumpulkan bukti-bukti dan terutama keputusan CPS untuk tidak menuntut. Polisi wajib menghubungi CPS pada tahap pertama penyidikan sedini mungkin. Polisi juga harus melapor dimulainya penyidikan.
Dalam negara-negara yang merupakan bekas jajahan Inggris seperti New Zealand, Bangladesh, Brunei, India, Srilanka, Malaysia, Singapura, dll menganu sistem yang sama pula seperti di Inggris. Namun Malaysia dan Singapura sudah mempunyai lembaga penuntut umum dan jaksa agung jauh sebelum Inggris yang disebut Pendakwa atau Pendakwa Raya. Pada negara-negara ini jaksa tidaklah menyidik bersama polisi, berbeda dengan negara-negera Eropa Kontinental seperti Belanda, Jerman, Belgia, Indonesia, dll. Yang menjadi penting dalam sistem ini kebijakan penuntutan atau keputusan untuk menuntut maupun tidak menuntut ada pada penuntut umum.
            Dalam sistem Anglo Saxon, tidak dikenal adanya sistem oportunitas dan legalitas secara resmi maka kebijakan penuntutan ini bervariasi dari satu negara ke negara lain. Inggris mempraktekan tentang engenyampingan perkara demi kepentingan umum. Kata kepentingan umum dalam hal ini dimaknai secara luas, yaitu termasuk pula kepentingan anak di bawah umur dan juga orang yang terlalu tua. Berbeda dengan Indonesia yang secara historis maupun yuridis menganut asas oportunitas, tetapi pengertiannya terlalu sempit. Dimana hanya Jaksa Agung sajalah yang berwenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Dan kata kepentingan umum tidaklah dimaknai secara sempit, yaitu kepentingan negara atau masyarakat.
            Sekitar 40 tahunan yang lalu di Inggris telah dikenal diskresi penuntutan (Prosecutorial Discretion) seperti apa yang diungkapkan oleh Attorney General atau yang dikenal dengan istilah Jaksa Agung yang pada waktu itu dijabat oleh Sir Hartley Shoecrecross sebagai berikut:
“Tidak pernah menjadi aturan di negeri ini-saya harap tidak pernah- bahwa tersangka perbuatan krimnal harus secara otomatis menjadi subjek penuntutan. Memang peraturan utama (penuntutan pidana) yang direktur penuntut umum (Directur of Public Prosecutions) bekerja untuk mempersiapkan pada waktu dilakukannya mempunyai sifat yang menunjukan bahwa kepentingan umum masyarkat demikian. Itulah menjadi pertimbangan yang menetukan”
            Jadi tak ubahnya dengan Belanda yang menganut asas oportunitas CPS boleh menyamoingkan perkara demi kepentingan umum (untuk delik ringan, terdakwa terlalu tua, anak dibawah umur, dan yang berpenyakit mental) dan alasan-alasan teknis (tidak cukup bukti, lewat waktu, derajat kesalahan yang sangat rendah). Sebelum terbentuknya CPS pada tahun 1986, di Inggris ada tiga pilihan dalam penuntutan pidana, yaitu sbb :
1.      Terdakwa harus dituntut karena ada cukup bukti
2.      Terdakwa tidak dituntut karena tidak cukup bukti
3.      Dengan perhatian saja walaupun cukup bukti
           Setelah undang-undang penuntutan pidana (The Prosecution of Offences Act) tahun 1985 di undangkan maka CPS dalam memututskan untuk menunutut atau tidak ia harus memperhatikan ketentuan pasal 10 UU tersebut dimana mengatakan bahwa untuk melanjutkan suatu perkara haruslah cukup bukti yang memnunjukan adanya harapan realistik bahwa terdakwa akan dipidana dan untuk kepentingan umum menuntut.
            Skotlandia negera penganut Common Law dan termasuk dalam kesatuan United Kingdom of Great Britain mengikuti sistem diskresi penuntutan seperti halnya penganut asas oportunitas di Eropa Kontinental. Tidak ada aturan yang memnetukan bahwa suatu delik harus dituntut. Tidak ada seorang yang dapat memerintahkan Lord Advocate (Jaksa Agung) guna menuntut dan tidak seorangpun kecuali Lord Advocate yang dapat memerintahkan Procurator Fiscal untuk menuntut.
Di Inggris, sekali penuntut umum mengajukan perkara ke pengadilan maka ia tidak dapat lagi mengeyampingkan perkara tersebut. Apabila ia hendak menarik penuntutan, ia tidak dapat mengajukan bukti-bukti dan memohon persetujuan pengadilan untuk menghentikan penuntutan. Pengadilan dapat melimpahkan perkara kepada Director of Public Prosecutions (Direktur Penuntutan Umum), yang biasa disebut DPP. DPP ini mengambil alih atau meminta kepada Attorney General (Jaksa Agung) guna menarik penuntutan yang disebut nolle prosequi.
            Menurut Chris Summer, Jaksa Agung di Ausralia sistemnya condong ke asas legalitas, artinya jaksa tidaklah boleh mengeyampingkan perkara. Prancis yang diikuti Belgia termasuk negara-negara yang tidak mengenal asas oportunitas ataukah legalitas secara resmi, tetapi sejak revolusi Prancis penuntut umum boleh menyampingkan perkara yang dikenal dengan istilah classer sans suite.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut