OLEH:
DWI NOFI ANDHIYANTAMA
082421810002
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG
“Rumahku Tenggelam”, gaungan kata tersebut mungkin bagi nalar kita nampak konyol dan hampir tidak masuk akal. Setidaknya mungkin kita akan beranggapan “Apa orang ini sudah gila atau bagaimana kok rumahnya bisa tenggelam ? mirip sekali dengan cerita dongeng danau Sampuraga”, memang nampak lucu dan konyol tapi hal inilah yang dialami korban lumpur Lapindo Sidoarjo.
Lumpur Sidoarjo yang mulai menyemburkan lumpur panasnya sejak tahun 2006 ini menjadi suatu fenomena yang amat luar biasa baik didalam maupun diluar negeri, bayangkan saja sudah berapa desa yang tadinya tentram berubah mejadi kubangan lumpur panas yang sangat tidak bersahabat. Masalahnya lagi terkesan pemerintah hanya berperilaku turut prihatin saja tanpa memberikan upaya bantuan secara jelas, dan juga dari pihak Lapindo sendiri yang hanya bicara soal pemberian ganti rugi yang mana itupun juga hingga detik ini tak kunjung usai. Patut dicermati bahwasanya kondisi yang ada disana bukan hanya masalah rumah yang terbenam lumpur saja, tetapi masalah kesehatan masyarakat pula menjadi masalah, berdasar testimoni anak korban lumpur Lapindo bahwa lumpur tersebut memberikan bau yang sangat menyengat, jelas ini akan mempengaruhi kesehatan mereka.
Sejatinya ini merupakan sebuah ironi dimana SDA yang terkandung dalam proyek pengeboran itu seharusnya menjadi kemaslahatan bagi warga Sidoarjo sendiri, namun warga Sidoarjo malah tidak pernah mendapatkan kemaslahatan olehnya justru mendapat kemudharotannya. Gerakan akan perlindungan bagi korban lumpur Sidoarjo ini sendiri menurut hemat penulis hanya nampak seperti perlindungan yang hanya saat hangat-hangatnya saja atau insidentil belaka, betapa tidak saat fenomena lumpur tersebut terjadi betapa banyaknya NGO, Parpol maupun tokoh politik secara pribadi menunjukan simpatinya dengan pendirian posko-posko maupun sowan kepada mereka. Namun saat ini sudah sekitar 5 tahunan lumpur ini masih belum mendapatkan solusinya tetapi posko-posko dan sorotan terhadap mereka malah meredup, celakanya pers sendiri juga hanya memberitakan dari satu sisi belaka yaitu dari segi kebaikan pemerintah maupun cukong dari Lapindo itu sendiri.
Kalaupun ada yang melihat dari people of view itupun hanya soal permasalahan ganti rugi saja. Bagaimana soal sekolah yang tenggelam dan juga bagaimana soal kesehatan masyarakat Lapindo sendiri? Nampaknya hal tersebut jauh dari singgungan mata dunia. Sebagai bukti, berdasarkan informasi yang dikemukakan oleh tokoh yang memang berdiam di daerah lumpur Lapindo itu sendiri sudah ada beberapa penduduk yang berdomisili disana meninggal dunia dengan tiba-tiba, yang mana akhirnya diketahui bahwa itu disebabkan oleh kandungan berbahaya yang ada di lumpur yang menyembur tersebut.
Kalau boleh penulis berasumsi, permasalahan Lapindo ini sengaja dipelihara oleh pihak yang berkepentingan demi kesuksesan haram pada 2014, atau mungkin secara sederhana dapat disebut sebagai pengalihan isu belaka. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa Lapindo akan mengarah pada sosok pemimpin “Partai Pohon Beringin” jadi dengan dipeliharanya Lapindo maka akan membentuk suatu monumen akan kebobrokan tokoh yang dimaksud. Namun perlu dicatat ini hanya suatu asumsi belaka.
Bagaimanapun juga masyarakat korban lumpur Lapindo merupakan saudara kita yang tertimpa suatu pilu yang sangat komplek, pemerintah maupun Lapindo yang mesti bertanggungjawab akan ini semua hanya menyatakan “Turut Prihatin” belaka tanpa adanya suatu aksi, dalam hal ini mutlak dibutuhkan peran serta masyarakat guna membelalakan mata para pihak yang wajib bertanggung jawab guna kembali mencurahkan angel side-nya terhadap masyarakat yang menjadi korban mereka. Sudah saatnya masyarakat melancarkan suatu gerakan skala nasional terlebih internasional demi tercapainya kembali kemadanian masyarakat korban lumpur Sidoarjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar