Selasa, 29 November 2011

BIARKAN PANCASILA BERNAFAS


BIARKAN PANCASILA BERNAFAS
Oleh:
Dwi Nofi Andhiyantama
Mahasiswa Fakultas Hukum Univ. Widyagama Malang

            Bukan suatu hal yang layak untuk diperdebatkan lagi bahwasanya Negara Republik Indonesia tersiri dari ribuan suku dan juga kebudayaan yang berbeda. Juga merupakan pakem bersama bahwa dibutuhkan suatu tali pengikat demi kesatuan bangsa yang juga harus mendasarkan pada semangat “musyawarah”, menurut hemat penulis semangat musyawarah ini jika ditilik jauh lebih lengkap tatarannya daripada suatu demokrasi. Mengapa penulis berkata demikian? Hal ini sesuai dengan apa yang penulis pahami selama perjalanan, bahwa suatu musyawarah dengan tujuan mufakatnya dapat dipatenkan bahwa seluruh pihak yang kalah karena pendapatnya tidak tersaring dapat menerima dengan ikhlas juga mendukung dari keputusan yang diambil karena menurutnya sama baiknya. Berbeda dengan demokrasi yang dipakemkan dengan pilar dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Atau kalau dipecah secara bahasa “demos” yang berarti rakyat dan juga “kratio” yang artinya pemerintahan. Jadi pemerintahan oleh rakyat, sedang wujud nyata dan konkret dari demokrasi ini pasca tidak adanya lagi model “City State” dimana akhirnya berubah menjadi demokrasi perwakilan/demokrasi tidak langsung, nyata citanya tidak dapat menjaring suatu kebutuhan akan kepuasan masing-masing individu seperti apa yang ditanamkan oleh sebuah musyawarah. Demokrasi pada hari ini hanya nampak pada PEMILU dan itupun hanya lebih mirip dengan voting belaka.
            Sengaja penulis memilih judul “Biarkan Pancasila Bernafas” tersebut dengan melihat fakta yang telah sekelumit penulis gambarkan yang mana gambaran umumnya telah banyak kita ketahui. Bicara masalah musyawarah sejatinya kita akan bicara masalah pancasila,yaitu terdapat 5 sila pokok bagi nafas bangsa ini yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Kita mungkin tahu pada zaman berdirinya Republik ini banyak sekali usulan untuk menjadikan dasar filosofis bangsa ini. Dimana pada akhirnya ditemukan kesepakatan(pada hal ini penulis belum yakin apakah benar sepakat atau hanya kalah “voting” belaka saja) dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar filosofis negara kita. Namun tragedi “bengis” terjadi dimana “baju” Pancasila digunakan untuk melacurkan diri guna memperoleh atau setidaknya mencapai stabilitas pemerintahan oleh penguasa belaka.
            Mengapa penulis berani mengatakan melacurkan baju Pancasila? Dapat kita ketahui dari zaman orde lama, orde baru, sampai pada era reformasi ini. Pada orde lama, Pancasila yang digaungkan ternyata menjadi baju untuk paham Sosialisme, pada orde baru menjadi baju Otoriterianisme(sebagian ada juga yang mengatakan menjadi baju Kapitalisme), pada era inipun Pancasila menjadi baju dari Neo-Liberalisme. Lalu karena tertelanjanginya roh Pancasila ini maka banyak pihak menjadi pesimistis terhadap Pancasila, bahkan banyak pula yang merujuk untuk dibuyarkannya pancasila sebagai dasar filosofis dan diganti oleh paham yang lain. Apakah ini suatu kesalahan? Tentu saja tidak, setidaknya menurut penulis. Hal tersebut menjadi wajar karena tubuh Pancasila yang nyata sampai saat ini tidak pernah dimunculkan oleh para penguasa, nama Pancasila hanya menjadi label dalam dagangan mereka demi memenangkan voting tersebut diatas.  Dimuka tadi penulis sempat menyinggung perbedaan musyawarah dan juga demokrasi, dan juga penulis sempat meragukan apakah saat pemilihan pancasila sebagai dasar filosofis negara kita ini adlah sesuai dengan kesepakatan dimana semua pihak setuju dan ikhlas atau dalam bahasa jawa “Lego Lilo” atau hanya sekadar kalah voting belaka. 
            Pada hari ini saja kalau kita bawa keranah macam agama yang diakui di Indonesia(penulis memilih mengambil contoh agama karena penulis anggap perbedaannya paling sedikit dibanding dengan suku/budaya yang tak terhitung) yaitu ada 6: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Seumpama kita mendasarkan dasar filosofis bangsa kepada salah satu agama saja, maka agama yang lain juga akan dengan keras memprotes atau bahkan menentang. Karena mereka memaknai apa yang meraka yakini adalah yang terbaik. Begitu pula apabila mendasarkan filosofis bangsa ini pada suatu suku ataupun budaya maka akan lebih banyak lagi yang akan protes.  
            Maka dibutuhkan suatu stimulan bersama demi terakomodirnya intisari pemikiran dari sandaran-sandaran tersebut, yang mana tidak lain adalah Pancasila.  Sayangnya karena terlacurkannya Pancasila ini rasa manis dari Pancasila belum dapat kita kecup hingga banyak pihak beranggapan Pancasila itu ternyata hancur dan layak untuk diganti dengan sandaran lain. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah kalau sandaran baru tersebut diterapkan bukankah malah menjadikan suatu gejolak penolakan yang besar? Penulis rasa iya, karena kita tidak terdiri dari masyarakat yang homogen tetapi adalah heterogen.
            Pancasila merupakan kolam bersama bagi setiap penduduk di Indonesia dengan latar belakangnya masing-masing dimana setiap individu memiliki hak yang sama. Pancasila juga merupakan perahan dari ajaran pokok dari setiap agama, suku, budaya, dll yang hidup di Indonesia. Jadi kalau ada pihak yang mengatakan Pancasila itu sudah usang dan tidak layak lagi bukankah berarti setiap pemikiran individu di Indonesia ini sudah tidak layak? Adakah suatu ajaran yang berlawanan dengan pancasila? Nyatanya sikap perlawanan terhadap Pacasila yang timbul pada akhir-akhir ini tidak dapat menunjukan ajaran Pancasila yang mana yang bertentangan dengan paham yang mereka anut tersebut. Jujur kita belum menikmati Pancasila tersebut, hingga memang wajar timbul berjuta kekecewaan dan skeptisme terhadap Pancasila, karena yang kita nikmati adalah Pancasila-pancasila-an atau pancasila gadungan yang intinya bukan Pancasila. Sempat penulis mendengar guyonan akan carut marutnya sistem hukum di Indonesia, guyonan tersebut mengatakan “Ini adalah sistem hukum Pancasila” meski hanya suatu guyonan namun penulis sempat terpikir apakah seperti ini buruknya Pancasila dimata masyarakat.
            Wajar karena kita tidak pernah merasakan Pancasila. Mungkin pada hari ini sudah saatnya bagi para penguasa sebagai tokoh utama untuk merefleksikan kembali guna memberikan kesempatan Pancasila untuk bernafas dan mohon jangan diperkosa Pancasila itu sendiri.  Dan juga tugas kita sebagai Grass Root adalah membenahi sistem yang terkesan Pancasila ini guna menjadi Pancasila yang nyata, agar tak terjadi suatu sikap skeptisme terhadap Pancasila dan menentangnya. 

1 komentar:

  1. Silakan baca ini_

    http://abuyoesoef13.blogspot.com/2011/06/doktrin-zionisme-dan-idiologi-pancasila.html

    BalasHapus

Pengikut