SIKAP RASIS PRIMITIF UMAT INDONESIA
(TENTANG APA YANG DIPIKIRKAN ORANG TIONG HOA KEPADA ORANG PRIBUMI DAN APA YANG DIPIKIRKAN ORANG PRIBUMI KEPADA ORANG TIONG HOA)
OLEH
DWI NOFI ANDHIYANTAMA
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG
“Bhineka Tunggal Ika” iyah, itu adalah slogan negara kita Indonesia tercinta yang mutlak semua akan mengamini bahwa kita harus bersatu dalam perbedaan yang ada, karena itulah Indonesia, negara yang terbangun dari berbagai perbedaan suku, agama, ras, dan budaya. Jika anda cukup punya waktu, saya ingin meminta anda untuk bertanya kepada tukang becak, preman, dokter, pesulap sampai pada dukun santet sekalipun untuk bertanya apakah mereka sepakat untuk bersatu dalam perbedaan? Dan apakah bersatu dalam perbedaan itu indah? Saya rasa jawabnya “Iya”, mungkin jawabnya akan berbeda jika anda mengajukan pertanyaan pada teroris atau beberapa orang yang telah dinyatakan sakit jiwa oleh dokter.
Sekarang saya ingin bertanya kepada anda, apakah bersatu dalam perbedaan itu indah? Hempth, kalau anda mengatakan “tidak”, saya akan bertanya lagi. Apakah anda termasuk dalam dua kategori yang telah saya sebutkan diatas?. Karena saya yakin anda menjawab “iya, bersatu dalam perbedaan itu indah” maka saya akan meneruskan tulisan ini. Oke, anda adalah orang yang tepat karena berpikiran luas, maka saya akan mengajukan pertanyaan kembali, Sudahkah mereka atau lebih tepatnya kita, dapat mengaplikasikan hal ini dalam kehidupan nyata? Saya ulangi sekali lagi, Dapatkah kita mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata? Satu hal yang pasti, walaupun saya tidak bertemu dengan anda pada saat ini, tapi saya dapat membaca senyum kecut atau mungkin gelengan kepala yang anda lakukan. Suatu bahasa tubuh non-verbal yang mengatakan “tidak”. Yah itulah kita, slogan yang telah ditanamkan oleh para founding fathers kita dimana juga telah ditanamkan dalam alam pikiran kita sejak TK sampai sekarang, tapi belum dapat merubah tabiat kita yang masih melihat perbedaan adalah hal yang menjadikan kita harus terpecah.
Oke, pada kesempatan ini saya akan menuangkan apa yang ada dipikiran saya tentang sikap rasisme kita, diskriminasi kita terhadap saudara kita dari etnis Tiong Hoa dengan mengidentikannya sebagai :
1. Orang Pelit
2. Orang Sombong
3. Orang Sok
4. Dan orang-orang lain yang berkonotasi negatif
Sadar atau tidak fenomena ini selalu terus terjadi dan kadang malah mengerus persatuan kita, jujur saya merasa betapa primitifnya kita apabila masih menganggap saudara-saudara kita dari etnis Tiong Hoa ini berbeda dengan kita dan parahnya lagi kita malah memusuhinya bahkan anti terhadapnya. Coba kalau kita pikir, apakah ada warga keturunan Tiong Hoa di Indonesia ini yang lebih memilih RRC dibanding Indonesia? Lebih hafal lagu RRC daripada Indonesia Raya? Lebih mengamini paham komunisme cina dibanding Pancasila? Saya rasa tidak ada, kalau kita cermat, sebagai bukti pada era zaman bulutangkis Susie Susanti, Liem Swi King, dll mereka adalah orang-orang berdarah Tiong Hoa, tapi mereka malah mengalahkan RRC saat pertandingan, dan membawa nama harum Indonesia. Atau mungkin yang lagi booming sekarang, Agnes Monica. Dia dalam ajang penghargaan dunia mengatakan “yes, Im from Indonesia”. Juga pemenang olimpiade matematika juga fisika yang berdarah Tiong Hoa dan membawa harum nama Indonesia. Kalau kita menengok dari segi yuridis dalam pasal 26 ayat 1 UUD 1945, mendalilkan:
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”
Jadi, kalau kita pakai bahasa enteng-nya setiap orang yang ber-KTP Indonesia adalah WNI dan mutlak tak ada lagi sikap diskriminatif terhadapnya, seperti yang diatur pula dalam pasal 28 I ayat 2 UUD 1945:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”
Dulu sempat saya membaca sebuah tulisan, dimana ada seorang berketurunan Tiong Hoa dimana ia selalu dilecehkan dengan dipanggil “Hey, Cina jauh-jauh dari adik gue balik sana ke Negara lu”, “Hey, Cina lu makan babi”, bahkan sempat kawan saya mengatakan “Kulit orang cina mirip babi”. Hey, kawan, saya ingin balik bertanya dapatkah kita membuktikan bahwa ejekan-ejekan tersebut benar? Seperti, masihkah saudara kita berdarah Tiong Hoa di Indonesia ini masih berpikiran akan kembali kepada moyangnya di RRC? Benarkah hanya orang berdarah Tiong Hoa yang makan Babi? Bukankah banyak dari mereka yang beragama Islam, yang mutlak mengharamkan Babi? Selanjutnya, adakah dokter ahli kulit yang mengatakan gen mereka identik dengan gen Babi?
Tidak, adalah jawabannya. Saya selalu diajarkan oleh orang tua saya bahwa semua manusia itu sama tak peduli agama, ras, ataupun kekayaan, yang menjadi berbeda ialah kepribadian mereka masing-masing. Ayah saya dahulu pernah menikah dengan seorang wanita berketurunan Belanda namun kemudian bercerai, tetapi mereka bukan bercerai karena sikap rasisme melainkan karena ketidak cocokan. Saya sendiri juga sering mengikuti konferensi maupun lomba dengan taraf Internasional dimana saya mengenal orang-orang dari pelbagai negara, juga mahasiswa dikampus saya banyak yang bukan dari Indonesia, juga beberapa dosen tamunya yang bukan dari Indonesia, yang menyebabkan saya yakin bahwa bukan perbedaan ras yang menjadi faktor penentu tabiat seseorang, tetapi kepribadian masing-masing.
Jadi kalau ada yang mengatakan orang dari ras ini harus dimusuhi, karena ras ini adalah orang-orang yang bersifat bla . . bla . . bla . . maka saya yakin orang tersebut hanya terkungkung dalam perahu kecil sehingga tidak mengetahui luasnya dunia sosial. Saran saya untuk orang seperti ini PERBANYAK KAWAN ANDA. Tapi bro, itukan kawan kamu yang dari lain negara kalau orang cina yang ada disini lain bro, mereka pada sok dan sombong semua emang. Itu adalah kata-kata yang pasti terpikir oleh mereka yang rasis dan berusaha mempertahankan argumen bodohnya tersebut. Oke akan saya jawab, dalam kehidupan saya selama ini saya cukup banyak mengenal WNI yang berdarah Tiong Hoa, entah itu kawan yang saya kenal saat mengikuti konferensi, lomba, organisasi atau pacar teman saya, atau kawan yang memang saya baru kenal di Mall. Dan apa yang saya alami? Mereka ramah dan tidak bingung membedakan ras. Sama seperti kita berkawan dengan mereka yang non-Tiong Hoa.
TAPI MEREKA HANYA MAU BERKAWAN DENGAN SESAMA RAS-NYA SAJA
Pasti apabila ada umat rasis yang membaca sub-judul ini ia akan langsung berteriak girang atau bahkan lari menuju studio musik kemudian menyalakan microphone dan membesarkan volume speaker sebesar mungkin dan selanjutnya mengatakan dengan lantang IYA BENAR SEKALI. Namun sayangnya saya akan memintanya untuk segera membayar sewa studio musik tersebut dan lari menuju kios “Air Mata Kucing®” guna memesan segelas besar minuman dingin rasa Kiwi dan meneguknya sedikit kemudian duduk, karena saya akan mengatakan bahwa saya tahu itu yang ada dalam pikiranmu dan saya akan mencoba memaparkan secara objektif mengapa hal tersebut kadang terjadi.
Kerusuhan Mei 1998 dapat dikatakan sebagai suatu hal yang amat memilukan bagi masyarakat Tiong Hoa, dimana mereka kala itu menjadi bulan-bulanan atau mungkin sasaran yang dimangsa dengan sangat brutal kala itu. Penjarahan, Pembunuhan bahkan Pemerkosaan menjadi suatu menu wajib yang mewarnai etnis Tiong Hoa kala itu. Banyak dari mereka yang sampai berlari keluar negeri demi menyelamatkan nyawa mereka. Namun juga masih cukup banyak pula yang tetap bertahan dengan mengundi nasib demi keselamatan mereka. Trauma inilah yang sejatinya membawa saudara kita yang berketurunan Tiong Hoa merasa lebih nyaman dan aman berada di sisi mereka yang hanya sesama ras mereka. Merasa takut, itulah yang terjadi pada mereka apabila mereka berkumpul dengan warga yang non-keturunan, setidaknya walaupun mereka yang belum lahir pada masa itu mereka mendapat dongeng-dongeng seram oleh orang tuanya. Tetapi patut pula diketahui bahwa banyak pula dari masyarakat Tiong Hoa yang telah berpikiran terbuka dan tak mepermasalahkan akan hal tersebut sebagai mimpi buruk masa lalu.
Tetapi ada kalanya hal tersebut tidak juga terjadi karena trauma tersebut, namun terkadang juga merupakan rasa persamaan. Persamaan seperti orang yang sesuku Batak akan lebih akrab dengan sesama Bataknya, namun bukan berarti mereka anti berkawan dengan orang yang non-Batak. Jadi hanyalah suatu persamaan jiwa dan budaya lah yang mempengaruhi, tetapi bukan berarti mereka mendiskriminasikan diri mereka sendiri, akan tetap terbuka dan nyaman apabila kita bergaul dengannya.
MEREKA SEMUA KAYA?
Apakah anda telah melakukan survey terhadapnya? Saya yakin belum, dan anggapan tersebut adalah anggapan anda sendiri. Tidak juga adalah jawabannya karena masih banyak dari saudara kita yang berdarah Tiong Hoa ini yang tidak kaya cenderung miskin. Saya tidak akan mengambil contoh yang terlalu jauh, sekitar 35 meter dari tempat saya ketika menulis tulisan ini dengan ditemani oleh sebuah modem yang dari tadi juga tak kunjung mendapatkan sinyal, terdapat tetangga saya yang berdarah Tiong Hoa yang mana mereka tidak kaya. Masih dari tempat saya ini, sekitar 5 tahun silam dalam jarak 50 meter juga terdapat warga yang berdarah Tiong Hoa yang tidak kaya karena dia (maaf) hanya seorang sopir angkutan umum. Apa mereka kaya? Tidak. Apa mereka membaur dengan warga? Iya. Apakah mereka pelit walaupun tidak kaya? Tidak. Kalau saja, saya dapat mengajak anda berada di rumah saya guna menetap selama 7 hari berturut-turut, maka saya yakin anggapan anda terhadap orang Tiong Hoa yang semuanya seperti ini, seperti itu akan terpatahkan.
Lalu apakah saya akan mengingkari bahwa banyak warga berdarah Tiong Hoa itu kaya? Tentu saya akan berkata bahwa benar banyak dari mereka yang kaya, tetapi banyak pula dari mereka yang tidak kaya. Oke pasti anda akan bertanya, mengapa mereka kaya? Betul? Hempth, saya bukan seorang pakar bisnis atau ekonomi karena saya adalah seorang yang mendalami ilmu hukum, maka anda tidak akan mendapatkan jawaban yang mengatakan mereka ulet, pekerja keras, inovatif, dsb. Itu jawaban yang akan anda jumpai pada literatur lainnya yang tidak melihat fenomena sosial yang ada, saya tidak akan membawa anda pada rasa tulisan yang monoton. Oke, anda dapat menerimanya? Baiklah, tulisan akan saya lanjutkan. Kekejaman yang terjadi pada saudara kita yang berdarah Tiong Hoa tidak hanya terjadi pada zaman kerusuhan 1998 tetapi jauh sebelum itu pada zaman rusuhnya G 30.S/PKI pun kerusuhan ini sudah pernah ada. Bahkan di era orde lama dikatakan warga keturunan Tiong Hoa harus di usir dari Indonesia berdasar kebijakan pemerintah.
Kebencian akan mereka sudah terlalu lama. Hal ini yang mengakibatkan mereka tidak lagi memiliki ruang untuk bergerak, mustahil bagi mereka untuk dapat lolos menjadi Pegawai, Politikus, atau mungkin TNI/POLRI. Karena mereka di anggap sebagai warga yang layak untuk di diskriminasikan. Dengan tertutupnya pintu pencaharian bagi mereka maka apa yang terjadi? Saya teringat bahwa ada tokoh negeri ini yang mengatakan, “Jika tidak ada media massa yang mau meliput saya, maka saya akan membuat media massa sendiri yang akan meliput saya”, terbayang suatu jawaban di dalam pikiran anda? Jika “ya” anda dapat melanjutkan membaca tulisan ini demi mengetahui apakah jawaban anda sama dengan jawaban dalam pemikiran saya, namun apabila “tidak” silahkan baca kembali kutipan tersebut.
Karena situasi kala itu tidak memungkinkan bagi warga berdarah Tiong Hoa untuk dapat menemukan suatu lingkungan pekerjaan yang menerima mereka, maka mutlak bagi mereka untuk membentuk suatu pekerjaan sendiri agar perut tetap terisi. Alias, karena “The Power of Kepepet”. Inilah sejarah pembentuk mereka cenderung menjadi seorang “entrepreneur” ketimbang menjadi “job seeker”. Positifnya dari diskriminasi tersebut, mereka akhirnya menjadi orang yang bermental entrepreneur dimana mental ini pasti akan diwariskan kepada anak cucu mereka, oh . . iyah sedikit intermezzo, kalau anda ingin mengetahui bagaimana serunya menjadi entrepreneur ketimbang menjadi job seeker, anda dapat membaca tulisan saya yang berjudul “Dosa Anda Kalau Sampai Mati Miskin” di blog saya.
Dengan asyiknya warga keturunan Tiong Hoa menjalankan bisnisnya dimana mereka merasa lebih aman dengan tidak terlalu banyak berinteraksi dengan orang yang mendiskriminasikan mereka, akhirnya pelan tapi pasti menjadikannya para pengusaha yang cukup mapan, oh . . iyah, sikap inilah yang membentuk mereka sering bersifat apolitis demi keamanan usahanya, mereka akan cenderung membela penguasa yang melindungi usahanya(karena trauma akan kegoncangan politis silam) sehingga seringkali pada saat kampanye mereka hampir dapat dikatakan “dipalak” oleh para calon penguasa. Ketika mereka sukses sikap yang terjadi oleh orang yang mendiskriminasikan mereka adalah menjadi iri dan semakin membencinya. Dalam buku “World On Fire, How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability” yang merupakan hasil tulisan oleh Amy Chua terdapat istilah yang cukup unik dan saya rasa cocok untuk digunakan yaitu “market dominant minorities” yang bermakna kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat sistem ekonomi pasar.
Inilah yang menyebabkan mayoritas menjadi iri dengan kondisi ekonomi yang ada dimana malah berpihak pada minorotas. Kebencian dan rasa iri ini yang menjadi pil pemicu aksi biadab pada era 1998. Mengapa? Baiklah, sebelumnya telah saya paparkan bahwa kebencian ini terjadi jauh sebelum tahun 1998, dapat kita ketahui pula dari segi kebijakan pada masa orba yang menerapkan kebijakan ganti nama, larangan pemakaian bahasa mandarin, larangan perayaan Tiong Hoa, larangan terhadap agama Kong Hu Cu juga kebijakan pada masa Orla yang telah dipaparkan diatas. Jadi dari kebijakan ini saja menunjukan ada suatu diskriminasi atau mungkin kesenjangan yang berusaha dibaurkan oleh pemerintah kala itu. Namun gagal. Pada era 1998 dikatakan merupakan era reformasi, era tumbuhnya demokrasi yang utuh. Mengutip apa yang disampaikan oleh Ignatius Wibowo dalam buku “Negara dan Bandit Demokrasi” bahwa dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Nah, karena itu warga keturunan Tiong Hoa ini menjadi bulan-bulanan, karena dianggap sebagai Market-Dominant Minorities tersebut walaupun nyatanya tidak semua adalah Market-Dominant Minorities.
Segelas minuman dingin yang saya teguk pada pukul 01.45 pagi ini untuk melepas dahaga yang saya rasakan karena terus berada didepan netbook ini, hampir sama ketika Gus Dur atau KH. Abdurahman Wahid terpilih menjadi Presiden RI yang merupakan pelepas belenggu yang selama ini di alami oleh warga keturunan Tiong Hoa. Dimana kebudayaan mereka diperbolehkan ditontonkan, bahasa mandarin dibolehkan sehingga sekarang banyak bermunculan pendidikan bahasa Mandarin, diakuinya John Lee sebagai Pahlawan, dsb. Secara yuridis, belenggu telah hilang namun trauma dan kondisi masyarakat ternyata belum berubah. Lalu kalau tidak berubah mengapa saya sibuk membuat tulisan ini? Saya bukan Tuhan yang dapat merubah sesuatu sesuai keinginan saya, tulisan ini saya buat sebagai kaca yang berada ditengah para perias dengan maksud menjembatani apa yang ada dipikiran tiap golongan yang merasa dirinya berbeda demi terciptanya suatu keindahan yang selaras.
MEREKAPUN JUGA BERSALAH
Sub-judul ini adalah “Merekapun Juga Bersalah” artinya terdapat dua kubu yang bersalah yang mana salah satu pihak telah saya ungkap kesalahannya. Jika dalam tulisan diatas saya paparkan tentang kesalahan diskriminasi yan dilakukan oleh warga non-Tiong Hoa dan juga sejarah mengapa warga Tiong Hoa menjadi begitu sekarang saya akan mencoba menguraikan apa kesalahan dari warga berdarah Tiong Hoa itu sendiri. Upps, anda mungkin sudah berencana untuk menekan tombol close pada web browser anda dan mengumpat bahwa ternyata saya ujung-ujungnya juga akan mengejek warga Tiong Hoa, maka saya rasa anda bagaikan manusia yang meminum obat tanpa membaca aturan pakainya sehingga mengakibatkan anda masuk ke dalam ruang I.C.U..
Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan konsepsi keliru yang dilakukan oleh warga Tiong Hoa sehingga diskriminasi ini terjadi. Baiklah saya mulai, kesalahan pertama dimana hal tervital yaitu, yang terjadi adalah seringkali warga Tiong Hoa masih menelan dogma lama tanpa memandang sikap yang terjadi pada era sekarang. Saya belajar Ilmu Hukum yang sejatinya adalah Ilmu Sosial, hingga saya dapat memahami dalam Ilmu Sosial suatu hal tidak akan selalu sama selamanya alias berubah-ubah. Dapat saja pada hari ini masyarakat mencibir Julia Perez ataupun Dewi Persik karena pakaiannya yang seronok, namun bisa saja nanti masyarakat malah ingin Julia Perez dan Dewi Persik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Yah, tadi entah pada kalimat keberapa saya menjelaskan bahwa trauma masa lalu yang menjadikan orang keturunan Tiong Hoa menjadi lebih nyaman berkumpul dengan mereka yang se-etnis. Dalil trauma ini sesungguhnya merupakan hal yang saya katakan merupakan “hantu pikiran” atau suatu hal yang hanya menakutkan dalam alam pikiran itu saja tetapi sejatinya jika dilakukan tidak terjadi, kalau ada kawan saya dari komunitas Lair, pasti paham saya meniru istilah siapa. Inilah yang saya katakan menelan dogma secara mentah. Perlu dipahami kondisi masyarakat non Tiong Hoa sekarang sungguh berbeda dari era terdahulu.
Masyarakat sekarang lebih terbuka alam pikirnya dan menerima suatu perbedaan menjadi hal yang indah. Mau bukti? Benar mau bukti? Saya tidak akan menunjukan data statistik, karena saya yakin data tersebut tidak ada, dan yang kedua karena modem saya sedari tadi juga belum mendapatkan sinyal sama sekali dan tentunya pasti akan terasa membosankan. Hempth, anda tahu girlband yang sekarang sedang populer Cherry Belle? Girlband yang terbentuk oleh Christy, Anissa, Cheryl, Gigi, Felly, Devi, Angel, Wenda dan Ryn. Anda pasti juga pernah melihat Cherry Belle baik di Televisi ataupun Konsernya bukan? Bukankah mereka hampir semuanya nampak berdarah Tiong Hoa? Dan hanya Anissa saja yang bukan.
Namun dapat anda lihat ketika konser Cherry Belle digelar warga non Tiong Hoa pun juga berduyun-duyun menyambutnya dengan antusias, tak peduli apakah mereka Tiong Hoa atau tidak. Kalau masyarakat peduli akan etnis, tentunya Cherry Belle saat menggelar pertunjukan hanya akan ditonton oleh kalangan etnis Tiong Hoa saja bukan? Dan jika masyarakat kita rasis seperti itu, bukankah mereka tidak akan terkenal? Oke, begitu juga dengan Boyband Hitz. Anda ingat tadi saya menceritakan tentang tetangga saya yang juga berdarah Tiong Hoa? Saya mengatakan mereka membaur bukan? Nah, sekarang saya minta anda buang dogma negatif yang ditanamkan tersebut. Coba lepas dan hiduplah seperti di surga.
Wah, kenapa saya malah terjebak dalam tulisan saya sendiri? Tadi sebenarnya ada banyak point kesalahan yang ingin saya gambarkan tetapi karena seperti yang saya katakan bahwa menelan dogma secara mentah itu adalah faktor kesalahan utama maka hampir semuanya telah tercakup di dalamnya. Kuncinya jangan takut untuk bergaul dengan masyarakat Non Tiong Hoa atau saya lebih nyaman menyebutnya pribumi karena tidak terlalu menghabiskan banyak karakter untuk menulisnya, karena jika anda takut maka anda akan terkesan kaku atau malah menyendiri bahkan membencinya, sehingga mengakibatkan mereka menganggap anda negatif celakanya akan membawa generalisasi keliru. Ingat, jika anda menularkan aura positif maka semua orang akan ramah kepada anda. Oh, iyah kalaupun ada yang menghina anda karena ras, buatlah saja itu menjadi sebuah candaan hingga anda tidak perlu menghabiskan koin-koin di Time Zone untuk bersenang-senang. Tetapi saya yakin anda tidak akan mendapatkan cercaan jika anda memberikan aura positif. Masyarakat Pribumi sangat menyukai dan akan terkagum dengan masyarakat keturunan Tiong Hoa yang bersikap ramah kepadanya, karena itu masih merupakan hal asing bagi mereka.
Sekarang saya ingin anda mengucek mata anda, kalau anda memakai softlens silahkan lepas dahulu softlens anda. Oke sekarang lakukan. Enak kah rasanya? Jika iya, ini merupakan tanda bahwa mata anda telah lelah membaca tulisan ini. Saya tidak mau anda gugat karena mengakibatkan mata anda sakit. Maka lebih baik saya akhiri tulisan ini. Oh, iyah saya harap anda memberikan komentar anda atau mungkin memberikan beberapa tambahan pengetahuan akan hal yang belum saya bahas pada tulisan ini. Layar netbook saya menunjukan pukul 2.12 pagi, maka terimakasih telah membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar