Become An Entrepreneur, kata itu dahulu adalah kata yang paling anti untuk saya dengar, apalagi untuk terucap dari bibir saya. Yah, saya dahulu adalah seorang yang sangat apatis dengan konsep entrepreneur itu sendiri. Salahkah saya? , ternyata yah memang saya salah karena saya baru melihat sebagian kecil dari entrepreneur itu sendiri tetapi celakanya saya berpikir bahwa saya sudah memahami entrepreneur sampai pada tulangnya. Ketidak pahaman yang terus mendominasi alam pikir saya ini mungkin menjadi salah satu penumbuh rasa malas saya untuk hadir dalam 15th Unesco – Apeid International Confference yang diselenggarakan di Jakarta. Yah, sebuah konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh UNESCO dimana mengangkat tema “Creativity and Entrepreneurship”. Mulanya saat di tugaskan oleh P2K Universitas Widyagama Malang, saya tidak begitu excited tentang konferensi tersebut, walaupun acara tersebut hanya terbatas untuk 200 orang sedunia, karena saya berpikir “Saya bukan orang yang berjiwa Entrepreneur, dan saya tak mungkin dapat berpikir ala Entrepreneur”.
Akhirnya saya dan juga ketiga orang sahabat saya berangkat menuju Jakarta, oh , . iyah ketiga teman saya ini adalah seorang entrepreneur, jadi hanya saya yang bukan seorang entrepreneur. Sesampainya disana kami di istirahatkan di salah satu Hotel Mewah di Jakarta untuk mengumpulkan kembali energi yang telah terurai selama perjalanan Malang-Jakarta guna bersiap mengikuti Konferensi pada esok harinya. Akhirnya, setelah semalam berlalu hari yang ditunggu telah ada di hadapan kami, sederet orang yang sering kami katakan “bule” hampir mendominasi acara yang dilaksanakan selama 3 hari tersebut. Beruntung, dengan modal bahasa Inggris yang kami miliki, kami akhirnya dapat menjalin komunikasi dengan mereka. Cukup mengesankan ketika kami menjelaskan tentang bagaimana kampus kami kepada para mahasiswa dan dosen asing dan juga pejabat-pejabat dunia yang ada seperti World Bank, Uni-Eropa, Harvard University, Queens University dan tentunya pejabat UNESCO itu sendiri.
Pada acara tersebut kami juga dapat bertatap muka dan menyerap kiat-kiat tentang become an entrepreneur itu sendiri dari para pengusaha yang pastinya sangat populer di telinga kita, yaitu Ciputra, Ananta Gondonomo, Sandiaga Uno dan juga Mira Lesmana. Satu hal pasti yang membuat anda cukup bingung, mengapa seorang Mira Lesmana dapat memberikan materi dalam konferensi tersebut, bukan? Iyah, suatu mindset Entrepreneur yang memang masih belum dipahami secara utuh, termasuk saya dimana pasti kita hanya berpikiran bahwa Entreperneur hanyalah seorang pebisnis saja dan tak ada kata lain. Ternyata Entrepreneur lebih dari itu.
Lalu apakah Entrepreneur itu? Entrepreneur lebih dapat kita artikan tentang suatu Mindset yang out of the box, inovatif, dan dapat diterima masyarakat. Entrepreneur, seperti yang telah saya kemukakan diawal tadi yaitu tidak hanya terbatas pada bisnis saja, dalam dunia entrepreneur, ada yang dinamakan dengan socioentrepreneur, technopreneur, government entrepreneur, dan masih banyak lagi. Hempth . . saya yakin 3 cabang entrepreneur yang telah saya sebut tadi pasti belum cukup akrab ditelinga. Tapi itulah entrepreneur, yang menuntut seorang mesti berani tetapi berani disini bukanlah berani yang asal nekad saja tetapi berani dengan ada perhitungannya, dan yang selanjutnya adalah inovatif, bayangkan saja jikalau seorang Thomas Alva Edison tidak Inovatif akankah kita menikmati cahaya bola lampu? Itulah, seorang Entrepreneur dapat mewujudkan apa yang belum pernah terpikirkan oleh orang lain dan tentunya hal yang akan diterima masyarakat. Maka saya tekankan lagi bahwa Entrepreneur bukan suatu rumusan kaku tentang menjadi Pebisnis, tetapi menjadi seorang yang inovatif dan menghasilkan sesuatu yang dapat diterima masyarakat.
Pertanyaan selanjutnya, mampukah saya menjadi seorang entrepreneur? Jawabnya adalah IYA. Yang membuat kita tidak dapat menjadi Entrepreneur pada hari ini sejatinya hanya alam pikir kita sendiri. Seringkali seorang yang memiliki Inovasi dia akan terkunkung dengan hantu dipikirannya yang mengatakan, “Ah, itu hal yang tak mungkin dilakukan aneh-aneh saja!” atau kalau tidak, “Saya tidak mungkin dapat melakukannya”. Itulah penyakit yang menyebabkan jiwa entrepreneur anda berhenti. Coba bayangkan ketika anda memiliki rumusan ide inovatif kemudian anda langsung mengerjakannya, dan ketika itu berhasil maka apa yang anda rasakan? Tentu bahagia, dan orang yang dahulu menertawakan anda dengan ide inovatif anda, akan menjadi tersenyum iri pada anda, pasti anda tahu bagaimana pencetus ide Minuman Mineral dalam kemasan yang mengemukakan idenya bahwa air mineral akan dapat lebih mahal daripada BBM? Dia ditertawakan, dan sekarang apa yang terjadi dengannya?. Dan jika inovasi anda gagal, yang perlu anda lakukan adalah mengambil segi positif dari kegagalan tersebut, yaitu ambil dan kembangkan yang telah benar dan benahi apa yang manjadi kesalahan anda. Bukankah ada pepatah yang mengatakan “No Succes Without Pain”. Yang sering terjadi adalah konsepsi primitif kita yang mengatakan, kalau kita gagal harus kita tingalkan karena kita tak mau tercebur ke lubang yang sama. Ibaratnya kalau kita telah mencoba dan gagal, kemudian kita mencoba kembali, yang terjadi kita pasti akan tahu bagaimana cara melewati lubang itu. Yang terpenting bukan bagaimana hasil natinya akan diperoleh, tetapi yang terpenting komitmen anda untuk menjadi enterpreneur.
Selanjutnya budaya kita seringkali mengatakan, bahwa yang dapat menjadi sukses menjadi Entrepreneur hanyalah etnis Tionghoa saja. Apakah itu benar? Jawabnya tentu “Big No” karena dasarnya semua orang itu sama, apalagi kita dengan etnis tionghoa yang juga masih satu benua. Yang menjadi pembeda utama adalah mindset kita. Bayangkan jika anda adalah seorang yang bukan dari kaum tionghoa, kemudian anda bertemu karib anda yang telah lama tidak bertemu, pasti ada dua hal yang dijadikan pertanyaan, Pertama, “Apa kabar? Lama nggak kelihatan.” Kedua, “Sekarang kerja dimana?”. Coba kita cermati, pertanyaan pertama memang wajar, tapi pertanyaan kedua mengapa harus ditanya seperti itu? Berarti kita hanya diberikan ruang sebagai Job Seeker saja dengan alam pikir mereka sehingga terasa lebih sreg bagi kita kalau kita menjawab, “Saya menjadi Karyawan/PNS/ABRI/dll”. Tapi berbeda dengan etnis tionghoa, pertanyaan kedua saya yakin akan berbunyi “Sekarang usaha apa?”, betul tidak?. Memang hal yang simple, tetapi berdampak luar biasa, bayangkan jika anda ditanya seperti itu tiap hari, maka anda akan malu karena anda hanya sebagai seorang Job Seeker saja, bukan? Nah, itulah hal sepele yang terjadi pada etnis tionghoa.
Maka mutlak bagi kita untuk merubah itu semua, beralih dari zona nyaman yang selama menina-bobokan kita dengan menjadi job seeker menuju zona tantangan yaitu job creater. Lucunya, kalau seorang teroris saja dapat merubah alam pikir seseorang untuk berani melakukan Bom Bunuh Diri, mengapa anda tidak bisa merubah alam pikir anda sendiri untuk menjadi lebih sukses? Padahal saya yakin latar belakang pendidikan anda jauh lebih tinggi daripada teroris. Kemudian, kalau anda bertanya lagi, “Waduh, modalnya untuk itu semua besar” maka saya sarankan anda untuk melihat profil dari seorang Aburizal Bakrie yang pernah mengatakan ia dahulu lebih miskin daripada pengemis.
Pertanyaan-pertanyaan yang bernada negatif yang ada di alam pikir kita, sejatinya hanyalah suatu pertempuran logika yang selama ini terlelap untuk berada di zona nyaman menuju ke zona petualangan, yaitu dengan menjadi seorang Entrepreneur. Terakhir, saya cuma ingin mengutip pernyataan Donald Trump bahwa “Lahir miskin itu bukan salah anda, tetapi mati miskin itu kesalahan anda”. So whataya waiting for? Be an Entrepreneur now!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar