Rabu, 16 November 2011

Naskah Akademik Pelacuran

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
I. Dasar Filosofis
                Dalam semangat kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam Pembukaan UUD Republik Indonesia, maka diangkatlah nilai-nilai moral yang hidup dalam hati nurani setiap masyarakat sebagai individu guna mengarah kepada kehidupan yang bermartabat. Sudah menjadi kepelikan bersama atas terpeliharanya sikap-sikap bersifat amoral yang merendahkan martabat manusia itu sendiri yang mana juga sangatlah bertentangan dengan pondasi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
                Pelacuran sebagai sikap amoral yang menjadi penyakit masyarakat di Indonesia atau bahkan di seluruh dunia, merupakan permasalahan yang telah mencapai pada tataran akar rumput sampai pada ujung daun kehidupan. Demi menciptakan suasana kondusif dalam masyarakat yang menjunjung tinggi budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai masyarkat timur terlebih agama, mutlak dibutuhkan upaya baik yang bersifat preventif maupun represif yang terkait dengan degradasi moral. Upaya represif dapat diwujudkan dengan peraturan perundang-undangan yang mana memiliki kekuatan yang mengikat dan memaksa untuk dipatuhi dan memberi sanksi bagi para pelanggarnya. Berdasarkan kondisi tersebut maka mutlak diperlukan sebuah regulasi mengenai pelarangan tempat pelacuran demi terwujudnya keharmonisan nilai di tengah masyarakat.



II. Dasar Yuridis
                Bermula pada Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama dalam pasal 136 ayat 2 yang mendalilkan :
“Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.”
                Maka suatu daerah otonom memiliki hak guna membentuk suatu peraturan daerah yang merupakan cerminan dari ciri khas masing-masing daerah. Lebih keatas lagi peraturan daerah ini termaktub dalam amanat pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berisi hierarki susunan perundang-undangan.
                Sebagai pencerminan dari sikap pengamalan budi pekerti, sejatinya mutlak dibutuhkan suatu regulasi yang mana pengaturan tentang perlacuran, dimana juga telah diatur dalam pasal 284, 296, 297, 506 KUHP , UU No. 21 Tahun 2007, UU No. 44 Tahun 2008 dan pelbagai peraturan yang mengatur tentang hal itu maka dibutuhkan suatu tindak lanjut akan peraturan daerah yang mengatur tentang pelarangan tempat pelacuran dan perbuatan cabul. Penanggulangan kejahatan prostitusi sudah barang tentu tidak hanya menggunakan sarana hukum pidana (penal), tetapi harus jugamenggunakan sarana-sarana non-penal.
                Usaha-usaha non-penal dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal itu adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non-penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus di intensifkan dan di efektifkan.
                Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (Social Defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (Sosial Welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (Social Policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi, di dalam pengertian “Social Policy” sekaligus tercakup di dalamnya “Social Welfare Policy” dan “Social Defence Policy”.
III. Dasar Sosiologis
                Pelacuran yang juga akrab dijuluki Prostitusi ini sejatinya bukanlah hal baru dalam belantika persoalan di tengah masyarakat. Prostitusi ini sendiri juga kerap dikatakan beriring sejalan dengan kemajuan kehidupan suatu daerah, jadi dapat juga dikatakan sebagai life style . Pelacuran diruntut dari segi historis dapat dilacak pada zaman kerajaan jawa, dimana pada masa tersebut wanita memiliki peran feodal[1] , pada era kerajaan kuasa seorang raja amatlah luas dari membentuk suatu hukum, menegakan suatu keadilan dimana semua rakyat mutlak untuk mentaatinya.
                Kekuasaan raja juga tercemin dari banyaknya selir, beberapa orang selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan sebagian pula merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana[2]. Semakin banyak jumlah seorang selir  maka bertambah kuat pula posisi raja di mata masyarakat[3], hal itu dapat pula dikategorikan bahwa dukungan politik kepada raja juga sangat kuat. Status seorang perempuan pada masa itu layaknya seperti suatu barang atau upeti kepada sang raja. Lebih terorganisasi lebih profesional lagi adalah saat zaman kependudukan Belanda. Yaitu dengan dikenalnya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan demi memuaskan syahwat masyarakat Eropa.
                Hal ini diakibatkan banyaknya pemuda yang masih berstatus bujang dari negara Eropa tersebut guna dikirim ke Indonesia, sehingga permintaan akan kebutuhan jasa haram ini semakin membludak. Lacurnya, banyak pula warga pribumi yang memang sukarela melakukannya, banyak keluarga yang menjual anak puterinya demi mendapat imbalan dari pengguna jasa mereka tersebut.
                Prostitusi ini sendiri bermula dari bahasa latin yaitu pro-stituere atau pro-staure yang berdefinisi membiarkan sendiri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, pergendakan[4]. Sedang definisi yang diberikan oleh P. J. de Bruine Van Amstel adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan banyak pembayaran[5].
                Dalam dunia prostitusi terdapat satu peran yang amat penting yaitu germo atau juga mucikari, seorang mucikari ini dapat  juga seorang wanita ataupun seorang pria. Mucikari adalah orang yang pekerjaannya memudahkan atau memungkinkan orang lain (laki-laki) untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pihak ketiga (wanita) yang lewat dengan cara kerja ini sang germo mendapatkan hasil yang diperoleh wanita dari laki-laki yang menyetubuhinya[6]. Pelbagai alasan muncul perihal terjerumusnya seseorang wanita masuk dalam dunia pelacuran, salah satu alasan klasik yang sering muncul adalah permasalahan ekonomi. Namun menurut studi, motif yang melatar belakangi pelacuran  adalah :
a.       Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek, kurang pengertian, kurang pendidikan dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.
b.      Adanya nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian dan kerolayan seks. Histeris dan hiper seks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.
c.       Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan; adanya pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.
d.      Aspirasi materiil yang tinggi pada wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah, namun malas bekerja (hedonisme).
e.      Terkena bujuk rayuan kaum laki-laki dan para calo; terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi misalnya sebagai pelayan toko, bintang film, peragawati dan lain-lain. Namun pada akhirnya gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam bordil-bordil dan rumah-rumah pelacuran.
f.        Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk; film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul, geng-geng  anak muda yang mempraktekkan relasi seks dan lain-lain.
g.       Penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang lebih tinggi.
h.      Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau ibu tiri, kawin lagi atau hidup bersama dengan partner lain, sehingga anak gadis merasa sangat sengsara batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam dunia pelacuran.
i.         Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia pelacuran/prostitusi.
j.        Adanya hubungan seks yang normal tapi tidak dipuaskan oleh suami. Misalnya suami sakit impoten, lama menderita sakit.
k.       Pengalaman-pengalaman traumatis dan shock mental. Misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnomalitas seks.[7]
                Prostitusi dikaji dalam victimologi sering juga disebut sebagai kejahatan tanpa korban(victimless crime), hal ini karena yang bersalah adalah korban, karena ia juga sebagai pelaku[8]. Maka dari itu teramat perlu guna terbentuknya suatu peraturan daerah yang mana dapat sebagai landasan hukum demi terciptanya kondisi masyarakat yang kembali bermoral. Dengan terbentuknya peraturan daerah tersebut cita tertib masyarakat akan dapat tertimbulkan, karena salah satu tugas hukum adalah sebagai alat perekayasa sosial atau yang sering pula disebut Law as a tool of social engineering. Maka diharapkan dengan lahirnya sebuah Peraturan Daerah yang mengatur akan hal itu pola pikir masyarakat pengguna jasa prostitusi ini dapat dirubah menjadi lebih sehat.

B.Identifikasi Masalah
                Penulisan naskah akademik ini setidaknya ingin memotret jawaban, akan permasalahan-permasalahan yang terjadi, diantaranya, sbb:
1.       Bagaimanakah sikap masyarakat yang secara ideal menolak tumbuhnya prostitusi atau pelacuran maupun pencabulan, yang mana justru berbanding terbalik dengan semakin mencuatnya kasus-kasus prostitusi atau pelacuran maupun pencabulan yang subur ditengah masyarakat?
2.       Bagaimana pemerintah daerah seharusnya menyikapi permasalahan prostitusi atau pelacuran maupun pencabulan ini sebagai perwujudan keseriusan dalam mengembalikan citra masyarakat yang bermoral?
3.       Sejauh mana landasan-landasan yang bersifat filosofis, sosiologis maupun yuridis yang akan dituangkan akan lahirnya Peraturan Daerah ini? 
4.       Apa saja tujuan mulia yang ingin dicapai dan juga ruang lingkup maupun sasaran dan arah peraturan daerah yang diharapkan tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Naskah akademik ini dalam perjalannya bertujuan untuk :
1.       Mengetahui sikap masyarakat yang secara ideal menolak tumbuhnya prostitusi atau pelacuran maupun pencabulan, yang mana justru berbanding terbalik dengan semakin mencuatnya kasus-kasus prostitusi atau pelacuran maupun pencabulan yang subur ditengah masyarakat
2.       Mengetahui pemerintah daerah seharusnya menyikapi permasalahan prostitusi atau pelacuran maupun pencabulan ini sebagai perwujudan keseriusan dalam mengembalikan citra masyarakat yang bermoral
3.       Mengetahui sejauh mana landasan-landasan yang bersifat filosofis, sosiologis maupun yuridis yang akan dituangkan akan lahirnya Peraturan Daerah ini 
4.       Mengetahui apa saja tujuan mulia yang ingin dicapai dan juga ruang lingkup maupun sasaran dan arah peraturan daerah yang diharapkan tersebut
                Sedangkan Naskah Akademik ini nantinya akan memiliki kegunaan sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.


D. Metode Penyusunan Naskah Akademik
                Dalam melakukan penyusunan naskah akademik agar memperoleh hasil secara maksimal, maka digunakan beberapa metode yaitu :
                1. Jenis Penyusunan naskah akademik dan Metode Pendekatan
                Metode yang dilakukan dalam penyusunan naskah akademik ini ialah metode penyusunan         naskah akademik hukum, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip     hukum maupun doktrin-doktrin                 hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi[9]. Berdasarkan                ruang lingkup dan permasalahan sebagaimana diuraikan di muka, maka intisari dari            permasalahan yang di    angkat dalam penyusunan naskah akademik ini akan dikaji secara       yuridis-normatif. Yaitu penyusunan naskah akademik yang dilakukan dengan meneliti bahan                 pustaka atau data sekunder belaka[10].
                Demi memperoleh suatu kebenaran ilmiah yang diharapkan, maka dalam penyusunan naskah akademik ini secara umum menggunakan pendekatan perundang-undangan. Penggunaan pendekatan ini bertujuan guna mempelajari dan menelaah dasar ontologis lahirnya dan landasan filosofis undang-undang serta ratio legis dari ketentuan undang-undang. Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan mendasarkan pada beberapa peraturan yang bersinergi dengan pelarangan pelacuran dan juga pencabulan. Selain menggunakan pendekatan perundang-undangan juga digunakan pendekatan sejarah, tentang kelamnya pelacuran dan pencabulan di masa lampau.       
2.  Jenis Bahan Hukum
Merujuk pada jenis pendekatan penyusunan naskah akademik yang dipergunakan yaitu              pendekatan yuridis normatif maka jenis bahan hukum yang digunakan adalah:
a.       Bahan hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang diperoleh berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada seperti, UU No. 8 Tahun 1981, UU No.12 Tahun 2011, UU. No 32 Tahun 2004 dll.
b.      Bahan hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang diperoleh melalui buku-buku referensi, internet, pendapat para ahli serta referensi-referensi lain yang terkait dengan tulisan ini.
c.       Bahan hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang diperoleh melalui kamus hukum dan ensiklopedia.
               
3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk mengumpulkan bahan hukum dapat menggunakan teknik studi  kepustakaan yaitu dengan mencari, mencatat, menginvetarisasi, menganalisa dan mempelajari data-data yang berupa bahan-bahan pustaka.
               
4. Metode Analisis
                Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan secara tepat keadaan subjek atau objek penyusunan naskah akademik pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya[11]. Penyusunan naskah akademik ini akan mengambarkan potret secara utuh tentang keadaan       pelarangan pelacuran maupun pencabulan yang kemudian akan dianalisa dan diteliti berdasarkan teori juga perundang-           undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.


E. Daftar Pustaka      
Buku :
Ibnu Subarkah, 2010, “Materi  mata kuliah Victimologi dan Penologi”, Fakultas Hukum Universitas         Widyagama Malang
Kartini Kartono, 1981, “Pathologi Sosial I”, CV. Rajawali Press, Jakarta
Peter Mahmud Marzuki, 2005, “Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media,   Jakarta.
Ronny Hanitijo S, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia, Jakarta
Soerjono Soekanto et al, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”, Rajawali Press,                 Jakarta
Terence Hull,et.al, 1999, ”Prostitution in Indonesia(Its History and Evolution)”, PT. Raja Grafindo            Persada, Jakarta
Tjahjo Purnomo, et.al, 1982, ”Membedah Dunia Pelacuran Surabaya Kasus Kompleks Pelacuran Gang   Dolly”, PT. Grafiti Pers, Yogyakarta
Internet:
“Sekilas Sejarah Pelacuran di Indonesia”, www.rehsos.depsos.go.id
Penelitian:
Fitria Yuliawati Lokollo, “Studi Kasus Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung Dalam Pencegahan IMS,    HIV dan AIDS di Pub dan Karaoke, Café, Diskotik di Kota Semarang”, Tesis, Program Pasca     Sarjana Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009







                [1]Terence Hull,et.al,”Prostitution in Indonesia(Its History and Evolution)”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm.4
                [2] “Sekilas Sejarah Pelacuran di Indonesia”, www.rehsos.depsos.go.id diakses tanggal 14 November 2011.
                [3] Terence Hull, op.cit, hlm.2
                [4] Kartini Kartono, “Pathologi Sosial I”, CV. Rajawali Press, Jakarta, 1981, hlm.203
                [5] ibid
                [6] Tjahjo Purnomo, et.al,”Membedah Dunia Pelacuran Surabaya Kasus Kompleks Pelacuran Gang Dolly”, PT. Grafiti Pers, Yogyakarta, 1982, hlm.11
                [7] Fitria Yuliawati Lokollo, “Studi Kasus Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung Dalam Pencegahan IMS, HIV dan AIDS di Pub dan Karaoke, Café, Diskotik di Kota Semarang”, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm.17-18.
                [8] Ibnu Subarkah, Materi mata kuliah Victimologi dan Penologi, Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, 2010.
        [9] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm.95.
        [10] Soerjono Soekanto et al, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)”, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
        [11] Ronny Hanitijo S, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri , Ghalia, Jakarta, 1994,  hlm.145.

1 komentar:

  1. assalamualaikum, boleh minta nomer kontaknya,,,,,,,, bagaimana pendapat anda secara yuridis tentang lokalisasi prostitusi aspek peraturan daera

    BalasHapus

Pengikut