OLEH
DWI NOFI ANDHIYANTAMA
MAHASISWA FAK.HUKUM UNIV.WIDYAGAMA MALANG
1.PENDAHULUAN
Di berbagai daerah di Indonesia sedang ramai adanya iklan-iklan baru yang tidak hanya menghiasi layar kaca televisi,menggema di radio melainkan juga “mewarnai” pohon-pohon di jalanan.Ya,PILKADA jawaban dari iklan baru tersebut,semua kandidat menyerukan janji-janji mereka jika terpilih kelak yang pasti isinya juga seputar pemberantasan korupsi dan memperhatikan nasib “wong cilik”.Janji-janji tersebut terdengar indah di bayangkan dan di harapkan membuat rakyat simpati dan memilihnya dalam PILKADA kelak.
PILKADA yang notabenenya di adaptasi dari PEMILU ini memang dapat dikatakan sebagai wujud kemajuan demokrasi di Indonesia yang lazim disimbolkan sebagai: dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat[1].Adapun sistem demokrasi di Indonesia ini menganut prinsip daripada demokrasi perwakilan,dimana rakyat dituntut guna menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakilnya yang akan menduduki tahta di pemerintahan.Namun esensi dari sistem ini yang mesti di cermati bagi semua pihak ialah “memiih”,bukan berarti rakyat akan kehilangan kedaulatannya sebagai warga negara melainkan hanya kekuasannya dalam memerintah saja yang dialihkan kepada wakilnya, adapun inilah yang disebut dengan Legitimasi Rakyat.
Meninjau dari fakta yang ada para elite politik baik dalam daerah ataupun pusat seperti tak memahami esensi ini, maka fenomena yang ada sepertinya yang beralih bukan saja kekuasaannya melainkan juga kedaulatannya,jadi tak heran lagi jika para elite politik tersebut malah lupa akan fungsinya sebagai “pelayan” dari rakyat.Seringkali mereka beranggapan bahwa fungsi rakyat hanyalah sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan saja.Franz Magnis-Suseno[2] menyatakan tentang kelemahan dari sitem demokrasi perwakilan ini yaitu :
1.Rakyat tidak langsung dapat membuat UU,melainkan melalui wakil-wakil yang mereka pilih.Keputusan yang paling penting dalam kenyataannya diambil oleh beberapa orang saja.Maka dalam demokrasi perwakilan akan muncul unsur elitisme.
2.Demokrasi perwakilan dapat menjadi totaliter.Hal ini terjadi jika mayoritas rakyat memutlakkan kehendaknya.
Yang mana hal ini juga dibenarkan oleh Indria samego[3] yang berkomentar,”Selama ini rakyat dianggap pasif dan bodoh sehingga harus melimpahkan hak politiknya kepada para elite.Rakyat sebagai pemilik kedaulatan diabaikan nasibnya”.Dari pendapat tersebut dapat ditemukan masalah yang lebih pelik lagi,bukan hanya masalah kedaulatan yang seolah-olah berpindah tetapi akibatnya rakyat juga “dizolimi” oleh wakilnya dengan jalan tidak memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka.
Tentunya dari pelbagai hal tersebut dapatlah kita tarik 2 permasalahan yaitu,bagaimanakah esensi kedaulatan rakyat dalam demokrasi ini saat pasca PILKADA apakah rakyat tetap “dilayani” seperti yang dijanjikan ataukah demokrasi ini musnah setelah perhelatan PILKADA ini usai,dan apakah ada wujud-wujud pelanggaran saat kampanye PILKADA ini.
2.DEMOKRASI YANG TERCORENG
Demokrasi memang sangatlah sentral dalam kehidupan Negara Hukum (Rechtstaats),tak terkecuali Indonesia yang mana hal ini dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”,Menurut pendapat Jimly Asshiddiqie yang dikutip oleh Anwar Cengkeng[4] ada 12 prinsip pokok yang harus dimiliki oleh suatu negara sebagai pilar berdirinya suatu negara hukum yaitu :
1. Supremasi hukum
2. Persamaan dalam hukum
3. Asas legalitas
4. Pembatasaan kekuasaan
5. Organ-organ eksekutif independen
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat Demokrasi
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
12. Transparasi dan kontrol sosial
Pada point ke-sepuluh jelas dinyatakan olehnya bahwa demokrasi merupakan sifat mutlak dari sebuah negara hukum,jika kita tilik dari faktor sejarah demokrasi sendiri bukanlah sebuah hal baru bagi Indonesia mengingat dalam Konstitusi RIS-pun menyebutkan bahwa “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”.Dengan demikian mestinya perilaku berdemokrasi dari para elite harusnya sudah matang guna mencerminkan dari pola demokrasi ini.Tetapi hal yang sangat ironis terjadi,bahwa prinsip demokrasi yang telah sekian lama ada terkesan hanya menjadi sebuah sejarah di atas kertas.Montesquieu[5] mencatat bahwa ada 2 sifat daripada manusia mengenai kekuasaan:
1.Bahwa orang itu senang akan kekuasaan,apabila kekuasaan itu dipergunakan atau diperuntukkan bagi kepentingan dirinya sendiri.
2.Bahwa sekali orang itu memiliki kekuasaan,ia senantiasa ingin meluaskan serta memperbesar kekuasaan tersebut.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat ingin menguasai ialah kecenderungan dari manusia.Parahnya setelah mendapat kekuasaan,manusia-pun menggunakan kekuasaan tersebut untuk dirinya sendiri.Tak ubahnya dengan di Indonesia,demokrasi yang menanamkan prinsip tentang kedaulatan rakyat seakan berubah menjadi sebuah Oligarki[6] yaitu negara yang dipegang oleh sekelompok orang untuk kepentingan sekelompok orang tersebut.
Lalu dimanakah posisi kehidupan demokrasi ini sebenarnya,jika kita cermati demokrasi sendiri hanyalah hidup pada saat PEMILU,PILKADA,PILEG saja karena selebihnya demokrasi itu mati.Fatkhurohman[7] berpendapat “demokrasi hanya dijadikan alat ceremony politik oligarki yakni sebuah demokrasi yang dijalankan hanya sebatas pemenuhan rambu-rambu demokrasi,diperuntukan kepada golongan/elite partai,yang kemudian melahirkan tipe demokrasi prosedural”.
Selain itu Geof Mulgan[8] pun pernah mengkritik bahwa demokrasi perwakilan cenderung akan melahirkan oligarki dan teknokrasi.Dengan demikian maka tak heran lagi jikalau praktek-praktek seperti korupsi ataupun suap menjadi hal yang wajar di kalangan elite politik kita,jadi jangan kaget juga apabila sebuah koran di Singapura “STRAIT TIME”[9] pernah menjuluki Indonesia sebagai “The envelope country”.Menggelitik memang ketika Presiden SBY[10] pernah menerima Anugrah Medali Demokrasi dan berbagai pihak mengatakan bahwa Indonesia layak untuk menjadi kiblat demokrasi,dengan kondisi bahwa demokrasi kita tak lebih dari sebuah demokrasi prosedural saja yang dalam prakteknya menjadi oligarki.
Lalu dengan demikian wujud demokrasi yang di anugrahkan kepada negara kita adalah demokrasi dalam kesuksesan kita dalam melaksanakan PEMILU saja atau demokrasi yang benar-benar demokrasi?Tentunya kita seharusnya malu akan hal tersebut,ketika Negara-negara lain berkiblat terhadap sistem demokrasi kita,ternyata mentalitas para wakil kita mayoritas masih bermentalitas oligarki dan kemudian berakhir pada demokrasi yang hanya bersifat prosedural.
Menurut Iwan Santosa[11] demokrasi sehat diukur dengan tiga hal: partisipasi rakyat, kompetisi, dan akuntabilitas.Memang dalam PEMILU,PILKADA,PILEG partisipasi rakyat sudah baik (walaupun masih ada kekisruhan masalah DPT),dan juga dengan banyaknya PARPOL yang ada semakin menunjukan kemajuan dari demokrasi.Tetapi PARPOL yang ada masih sangat jauh menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi masyarakat dan sebagai lembaga edukasi politik,yang ada PARPOL hanya bersifat seperti pedagang yang “menjual” kandidatnya untuk dipilih waktu pemilihan berlangsung dan setelah pemilihan terkesan lepas tangan atas kinerja kandidatnya tersebut.Jadi dengan adanya sifat berdagang tersebut maka terbuka kemungkinan bahwa kemampuan dari sang kandidat masih sangat kurang dan jika menduduki tahta akan terjadi ke-amburadulan.
Sikap masyarakat yang sering kali skeptis terhadap kondisi politik saat ini juga merupakan lahan yang sangat baik bagi PARPOL-PARPOL yang menggunakan sistem seperti ini.Seringkali PARPOL menggaet kandidat yang memang sudah populer di kalangan masyarakat atau bahkan kandidat yang tampan/cantik tetapi memiliki kualitas yang kurang mumpuni.Atau bahkan ada yang lebih ekstrim lagi dengan cara membagi-bagikan uang kepada masyarakat untuk dipilih nantinya.
Dengan demikian pentingnya pendidikan demokrasi di Indonesia guna dapat meningkatkan semangat demokrasi di indonesia secara nyata memang merupakan syarat mutlak bagi bangsa ini.Dan rasa memiliki kedaulatan tersebut oleh rakyat memang harus dicitakan dalam roda pemerintahan agar demokrasi memang kembali pada tujuannya dari,oleh,dan untuk rakyat.
3.PENYIMPANGAN SAAT PILKADA
Para peserta PILKADA yang telah mensosialisasikan “program kerja”-nya kepada masyarakat di daerah masing-masing harusnya lebih dapat memaknai hal tersebut bukan saja untuk dipamerkan guna memperoleh hasil gemilang pada saat hari-H berlangsung,melainkan juga memahami hal tersebut sebagai program yang benar-benar wajib dilaksanakan tanpa adanya alasan ini-itu.Selain itu guna mendidik masyarakat untuk berdemokrasi secara benar,supaya memilih atas dasar kemampuan dari para kandidat,hendaknya para kandidat tidak perlu terlalu menonjolkan masalah primordialis(agama dan suku) mereka.
Selain itu masalah “Black Campaign”(baca; suatu model atau perilaku atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya.) dan Kampanye “Money Politics”(baca;kampanye dengan menggunakan kekuasaan uang) yang santer terdengar pada saat PILKADA semakin membawa demokrasi yang ada semakin tidak karuan.
DPC Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Solo[12] pernah menemukan suatu bukti tentang adanya Money Politics ini pada PILKADA di kota Solo.Fakta dan bukti money politik yang dilakukan salah satu tim sukses pasangan.Pasangan yang dimaksud Ketua DPC PKS Solo Sugeng Riyanto adalah pasangan calon walikota-wakil walikota Solo, Edy Wirabhumi-Supradi Kertamenawi (Wi-Di) yang diusung Partai Demokrat. Berdasarkan penelusuran PKS ditemukan beberapa bukti dan fakta tentang money politik. Salah seorang simpatisan PKS berinisial AS yang direkrut anggota tim sukses pasangan Wi-Di yang juga anggota tim sembilan.
Dimana modusnya ialah melakukan pengumpulan foto copy kartu keluarga (KK).Setiap foto copy KK tersebut,dihargai senilai Rp 5.000. "Yang sudah mengumpulkan foto copy, nantinya dijanjikan mendapat paket bahan kebutuhan pokok seharga Rp 30 ribu. Dan nantinya akan diambil menjelang hari pencoblosan,” ungkap Sugeng.“Padahal PKS dan PDIP secara bulat telah mendukung pasangan incumbent Joko Widodo-FX Hadi Rudyatmo (Jo-Di). Kalau secara struktural semua pengurus mendukung pasangan Jo-Di. Jadi, kemungkinan yang direkrut oleh salah seorang anggota tim sukses Wi-Di simpatisan PKS,” ujarnya.
Adapun menurut Pasal 84 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam Pasal 84 tersebut terdapat larangan terhadap kampanye pemilu yang tidak boleh dilakukan, Pertama, kampanye tidak boleh mempersoalkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, kampanye tidak boleh dilakukan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, kampanye tidak boleh dilakukan dengan cara menghina seseorang, ras, suku, agama, golongan calon atau peserta pemilu yang lain. Keempat, menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Kelima, mengganggu ketertiban umum. Keenam, mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain. Ketujuh, merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye Peserta Pemilu. Kedelapan, menggunakan fasilitas pemerintah,tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Kesembilan, membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan. Kesepuluh, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
Menurut Wakil Ketua KPU,Ramlan Surbakti[13] menjelaskan,“Pilkada menyimpan celah praktik money politics (politik uang) yang cukup besar, seperti kemungkinan adanya simbiosis mutualisme antara pasangan calon potensial tak bermodal dengan cukong politik.”
Berdasar pengamatan Burhanuddin Muhtadi[14] seorang Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia menjelaskan maraknya kampanye hitam sudah terjadi sejak dua pemilu pada era reformasi.Dari pengamatan tersebut dapat diketahui semangat kampanye yang ada sudah lama dinodai dan dijadikan ajang pertarungan kekuasaan belaka.
Selain dari beberapa bentuk penyimpangan kampanye seperti yang disebutkan di atas Zulkarnaen[15] juga mengungkapkan tentang adanya korupsi pemilu.Menurutnya korupsi pemilu ini merupakan istilah baru untuk menjelaskan gejala korupsi pada pelaksanaan PEMILU,Korupsi Pemilu ini sendiri terdiri atas tiga bentuk yaitu :
- Penerimaan dana kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan maupun yang secara universal merupakan sesuatu yang secara nyata-nyata dianggap tidak boleh,karena menciptakan hubungan koruptif antara yang disumbang dan donatur.
- Penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power).Bentuk penyalahgunaan jabatan ini bisa macam-macam,mulai yang paling sederhana sampai ke kategori korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi.Misalnya menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan kampanye,mengerahkan pegawai negeri sipil atau bawahan (camat,lurah,pamong desa) untuk mendukung peserta PEMILU tertentu,menyusun program populis seperti pembagian uang tunai kepada kelompok masyarakat tertentu pada menjelang dan saat kampanye hingga penggunaan dana APBD/APBN untuk pembiayaan kampanye
- Pembelian suara (Money Politics).Jika dikaitkan dengan isu dana kampanye,politik uang adalah bentuk ilegal dari pengeluaran dana kampanye.Artinya,dana kampanye peserta PEMILU digunakan untuk kepentingan membeli suara pemilih maupun mempengaruhi penyelenggaraan PEMILU untuk memanipulasi hasil PEMILU,sesuatu yang sangat dilarang oleh UU PEMILU.
Dengan banyaknya penyimpangan akan PEMILU tersebut semakin menunjukan bahwa PEMILU adalah suatu hal yang dapat direkayasa,yang mana celakanya banyak direkayasa untuk kepentingan-kepentingan yang amat jauh dari tujuan yang baik.Menurut rumusan IDEA(Institute for Democracy and Electoral Assistance) terdapat 15 aspek PEMILU demokratis,yaitu:
- Penyusunan kerangka hukum
- Pemilihan sistem PEMILU
- Penetapan daerah pemilihan
- Hak untuk memilih dan dipilih
- Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih
- Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat
- Kampanye pemilu yang demokratis
- Akses ke Media dan kebebasan berekspresi
- Pembiayaan dan pengeluaran
- Pemungutan suara
- Perhitungan dan rekapitulasi suara
- Peranan wakil partai dan kandidat
- Pemantauan pemilu
- Kepatuhan terhadap hukum
- Penegakan peraturan pemilu
- Lembaga penyelenggara pemilu
Affan gaffar[16] berpendapat untuk mewujudkan PEMILU yang bebas dan adil terdapat 2 konseptual yaitu:Pertama,Menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil,yang disebut sebagai sistem pemilihan(electoral system).Kedua,Menjalankan PEMILU sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi,yang disebut sebagai proses pemilihan.
PENUTUP
Permasalahan dalam berdemokrasi sejatinya adalah kelesuan demokrasi oleh para pihak baik dari para elite maupun dari rakyat.Dengan kelesuan tersebut akan membawa demokrasi akan menjadi sebuah topeng dari kerajaan oligarki,dan terkesan demokrasi yang kita gaungkan hanya seperti nyanyian belaka.PILKADA yang akan disambut di berbagai daerah setidaknya harus mulai belajar tentang demokrasi sendiri dan mencoba menjauh dari praktek-praktek kampanye tidak sehat tersebut dan memahami esensi ini tidak pada saat kampanye saja melainkan dalam setiap kehidupan politik.Dimana akan terjadi perbaikan demokrasi dari skala yang terkecil dahulu,kemudian dilanjutkan pada skala yang lebih besar yaitu PILPRES
DAFTAR PUSTAKA
-BUKU :
Cengkeng, Anwar,2008 “Teori dan Hukum Konstitusi”,In-TRANS,Malang.
Gaffar, Afan,2000”Politik Indonesia,Transisi Menuju Demokrasi”,Pustaka Pelajar,Yogyakarta.
Soehino,2000,”Ilmu Negara”,Liberty,Yogyakarta.
Zulkarnaen,”Bahasa Indonesia Hukum”,Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang
-JURNAL DAN MAKALAH :
Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 1,Juni 2009,
Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 2,November 2009
Fatkhurohman, PEMILU SEBAGAI WAHANA MENUJU GERBANG KESEJATIAN DEMOKRASI INDONESIA,“Seminar Nasional Sadar Konstitusi”,tgl.31 Oktober 2009
-INTERNET :
[2] Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 1,Juni 2009,hlm.28.
[3] Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 1,Juni 2009,hlm.23.
[7]Fatkhurohman, PEMILU SEBAGAI WAHANA MENUJU GERBANG KESEJATIAN DEMOKRASI INDONESIA,disampaikan dalam “Seminar Nasional Sadar Konstitusi”,tgl.31 Oktober 2009
[8] Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 1,Juni 2009,hlm.27.
[10] Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 2,November 2009,hlm.9.
[15] Jurnal Konstitusi,PUSKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIDYA GAMA MALANG,Volume II No 2,November 2009,hlm.65.
[16] Afan Gaffar,Politik Indonesia,Transisi Menuju Demokrasi,Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2000,hlm 251.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar