Sabtu, 14 Mei 2011

KELEMAHAN DEMOKRASI


OLEH : DWI NOFI ANDHIYANTAMA
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIV.WIDYAGAMA MALANG


                Demokrasi sering dikatakan sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang paling sempurna,karena berpakem pada adagium “dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat”,dimana negara berjalan sesuai dengan kehendak rakyatnya.Sebuah demokrasi merupakan media guna melahirkan masyarakat yang sejahtera.Demokrasi selama ini memang diagungkan karena citanya yang dianggap luhur,sehingga wajar jika hampir semua negara di dunia ini memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.
                Tak luput pula Indonesia yang juga sempat mencicipi akan cita rasa gerakan komunis,toh. . pun tetap juga demokrasi yang dipilih sebagai sistem pemerintahannya.Berbicara masalah demokrasi ini didasari oleh beberapa value seperti:
1.       Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
2.       Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah
3.       Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara terartur
4.       Membatasi pemakaian kekerasan sampai batas minimum
5.       Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka ragaman
6.       Menjamin tegaknya keadilan[1]
                Selain itu menurut Robert A. Dahl[2] demokrasi setidaknya memiliki 10 keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem pemerintahan yang lain(seperti monarki,aristokrasi,komunisme,otokrasi dll.)seperti:1.Menghindari Tirani,2.Menjamin Hak Asasi,3.Menjamin Kebebasan Umum,4.Menentukan Nasib Sendiri,5.Otonomi Moral,6.Menjamin Perkembangan Manusia,7.Menjaga kepentingan pribadi yang utama,8.Persamaan politik,9.Menjaga perdamaian,10.Mendorong Kemakmuran.
                Berbagai studi menunjukan bahwa demokrasi memang layak untuk dicitakan,tetapi juga terdapat sebuah anti-thesis yang cukup membelalak mata bahwasanya,justru negara-negara penganut demokrasi ini malah mengalami banyak masalah yang cukup pelik dibanding negara yang tidak mempondasikan demokrasi di negaranya.Merujuk pada sebuah studi yang dilakukan oleh Kaplan[3],ia mengamati bahwa demokrasi telah gagal menyelamatkan Afrika.Dimana yang terlahir bukanlah sebuah era perpolitikan yang cerdas dan rasional,melainkan malah pertarungan antar suku dan antar agama.Dalam alam demokrasi partai politik dianggap menjadi sebuah “Interest Aggregation”,namun yang ada di afrika sendiri partai politik hanyalah berbasis agama dan kesukuan sehingga pertarungan politik antar partai yang harusnya berlangsung secara cerdas malah berakhir pada pertarungan antar suku dan agama secara brutal.Kerap kali ketika dilaksanakan PEMILU yang terjadi medan pertempuran berlumur darah dan bukan arena perebutan kekuasaan yang rasional[4].
                Demokrasi sejatinya tidak akan mungkin dapat berjalan di sebuah negara berkembang dimana memiliki partai politik yang berbasis suku dan agama,karena salah satu hal wajib dalam cita demokrasi adalah toleransi,dimana pihak yang kalah memaklumi kekalahannya,namun perlu dicermati bahwasanya ikatan primordial seperti suku dan agama tidak mungkin mengatakan hal tersebut[5].Lalu apakah kita harus menyalahkan rakyat dengan dikatakan belum siap untuk menerima demokrasi,tentunya tidak,tataran  kesiapan ini sendiri belum memiliki kadar penentu yang jelas sampai pada titik yang mana.
                Atau mungkin lebih buruk lagi,yaitu dengan dilarangnya partai politik yang berbasis agama dan suku ini lahir untuk mencegah adanya primordialisme,tentu juga tidak.Dalam sebuah negara, kesejahteraan rakyat merupakan tujuan dan demokrasi merupakan salah satu jalan alternatif yang diharapkan mampu menuju hal tersebut,tetapi yang ada sekarang ini malah seperti demokrasi menjadi sebuah tujuan,sehingga kecocokan dengan kondisi masyarakat seringkali diabaikan,yang penting demokrasi.Seolah demokrasi ini menjadi suatu syarat mutlak bagi setiap negara tak penting cocok atau tidak.Jika kita tarik kedalam semboyan negara kita yaitu “Bhinekka Tunggal Ika” dimana kita juga terkesan “memaksakan” demokrasi untuk tumbuh,faktanya demokrasi juga tidak mampu mengakomodir semua kepentingan kalangan,terbukti dengan adanya kasus pertarungan antar suku,terorisme dan juga yang sedang hangat-hangatnya kasus NII.Disini menunjukkan bahwa demokrasi “belum”[6] cocok dengan keragaman masyarakat Indonesia.
                Mancur Olson,menerangkan tentang “roving bandits” dan “stationary bandits”[7] .Roving bandits,secara harfiah adalah bandit-bandit yang datang bergerombol ke sebuah desa,dimana mereka kemudian menjarah habis-habisan desa tersebut dan kemudian pergi meninggalkannya lalu melakukan hal yang sama pada desa lainnya pula.Sedangkan bandit tipe kedua ini,bersifat menetap atau tidak mengembara seperti bandit yang pertama tadi.Mereka juga memahami bahwa mereka tidak boleh dan bahkan haram untuk menjarah habis semua harta yang ada karena mereka juga mendiami tempat tersebut.Maka langkah yang mereka ambil adalah melindungi warga yang ada untuk berusaha,malah mereka jaga melindungi usaha tersebut.Tetapi sebagai balasan warga mesti memberikan upeti secara teeratur terhadap bandit-bandit tersebut,namun penting untuk diinggat bahwa bandit tipe “Stationary” ini tidak sebuas bandit tipe “Roving”.
                Perbincangan masalah bandit ini jika kita tarik dalam sistem demokrasi,terutama dalam hal pemilu dimana terjadi  kepemimpinan yang selalu berganti dalam periodik waktu tertentu.Hanyalah akan melahirkan “Roving Bandits” belaka,karena sebuah sikap yang timbul adalah mumpung masih berkuasa,menguras kekayaan negara sampai habis,tanpa menyisakannya[8].Jika kita bandingkan dengan Cina dimana pemerintahannya masih ada dalam kendali Partai Komunis Cina dimana kerap kali dicap sebagai otoriter,tetapi justru bandit yang lahir bukanlah bandit tipe “Roving” melainkan “Stationary”  yang tidak menjarah habis kekayaan negara.Hal ini berbanding terbalik dengan Uni Soviet,yang setelah memproklamirkan dirinya memeluk sistem demokrasi usai tumbangnya sistem kediktatoran disana.Walaupun berlabel demokrasi,keadaan yang ada bukannya lebih baik malah semakin parah.Hal ini juga berkaitan dengan masalah pemilu,sehingga pemimpin yang ada malah memilih untuk berpakaian layaknya seorang “Roving Bandits”.
                Lebih lanjut lagi jika menilik dari sejarah Indonesia dimana Almarhum Soeharto yang sering ditasbihkan sebagai diktator,dan dicap sebagai ciri seorang pemimpin yang buruk,tetapi jika kita teliti dari zaman kepemimpinannya di era Orde Baru,justru premanisme,korupsi dan lain sebagainya jauh lebih sedikit dibanding era sekarang.Selama kepemimpinan beliau,belum pernah ada kabar tentang seorang pemimpin redaksi yang dipukuli oleh sejumlah preman.Banyak anggapan yang mengatakan jika pada zaman Almarhum Soeharto,yang bersikap korup hanyalah satu kelompok saja yaitu digolongan penguasa saja.Namun di era sekarang seperti dapat dikatakan terjadi hujan korupsi massal,bahkan iklan rokokpun menggambarkan jin yang juga bersikap korup.Alih-alih menuju jalan kesejahteraan dengan berdemokrasi,justru Tranparency International Indonesia,pernah menghadiahi Indonesia sebagai negara terkorup nomor enam di dunia[9].Sungguh sebuah ironi!
                Lebih membelalak mata lagi ketika Singapura diposisikan sebagai 5 negara terbesih,padahal Singapura merupakan salah satu negara yang menganut pemerintahan yang semi-otoriter.Bukan hanya di Indonesia saja perihal ironi demokrasi dan korupsi ini,coba kita tengok salah satu negara yang digadang-gadang sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara,yaitu Filipina yang mendapatkan tempat terhormat sebagai negara nomor lima terkorup.
                Kehidupan demokrasi juga dapat membawa orang seperti Megawati Soekarno Putri dapat menduduki posisi RI 1 dan mengalahkan orang sekaliber Amien Rais.Bukan hanya Megawati yang mana belum ada satu artikelpun hasil pemikirannya yang pernah penulis temui,selain itu juga dapat memposisikan seorang Rano Karno menjabat sebagai wakil bupati dan juga masih banyak lagi.Bukannya penulis meremehkan kemampuan tokoh-tokoh tersebut,tetapi orang sekaliber Gus Dur,BJ Habibie saja belum dapat memecahkan persoalan korupsi ini.Demokrasi sejatinya malah mirip dengan pertarungan kekutan popularitas saja,dimana kandidat yang belatar belakang selebriti,trah politik yang kuat,pimpinan agama sajalah yang memiliki kesempatan besar untuk dapat memenangkan pertempuran itu.Bukan melihat dari seberapa kaliber orang yang menjadi kandidat tersebut.Hal ini memicu lahirnya cukong politik yang diharapkan mampu mendongkrak suara kandidat yang tidak memiliki kekuatan cukup di masyarakat(walaupun tokoh yang memiliki kekuatan popularitas kuatpun masih menggunakan jasa cukong politik ini).
                Dimaknai secara panjang lagi dengan adanya jasa cukong politik ini menjadikan demokrasi yang dicitakan tersebut malah melahirkan kedaulatan pengusaha belaka dan rakyat hanyalah alat untuk memenangkan “voting” pemilihan pemimpin saja.Karena begitu mereka terpilih,para pengusaha menggoda para politisi ini dengan nominal yang sangat sulit ditolak,maka sudah merupakan rahasia umum apabila setiap pasal dalam sebuah regulasi ada harganya.



[1] Ajaran ini sering disebut dengan The Specific Values of a Democratic,lebih lanjut lihat dalam Henry B. Mayo,”An Introduction to Democratic Theory”,Oxford University Press,New York,1960. Hal.218-243.
[2] Robert A. Dahl,”On Democracy”,1999.
[3] Robert Kaplan,”The Coming Anarchy”,2000
[4] I.Wibowo,”Negara dan Bandit Demokrasi”,KOMPAS,Jakarta,2010,Hal.28.
[5] Ibid.
[6] Walaupun tidak akan pernah diketahui sampai kapan kata “belum” ini layak menjadi kata “sudah”,sejatinya lebih tepat digambarkan dengan kata “tidak”,karena indonesia terdiri dari bermacam suku,agama dan juga aliran.
[7] Mancur Olson,”Power and Prosperity”,2000.
[8] Loc.cit,Hal.31.
[9] Kompas,8/10/2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut