Rabu, 18 Mei 2011

MOTIF POLITIK TERHADAP REVISI UU.TIPIKOR dan UU.KPK “MENGUNGKAP STRATEGI POLITIK PILPRES 2014 DENGAN PEMANFAATAN KASUS KORUPSI”


OLEH       :
DWI NOFI ANDHIYANTAMA
082421810002
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIV.WIDYAGAMA MALANG

            Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang dilanda krisis korupsi akut[1], betapa tidak jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia sudah tak dapat dihitung lagi. Hampir disetiap sudut kita mendengar gaungan anti korupsi, tetapi bagai sebuah ironi pula setiap hari kita temui kasus-kasus korupsi yang menancapkan tajinya. Sebagai negara yang memerangi korupsi Indonesia pun tak luput untuk mempersenjatai dirinya dengan UU. No 31 Tahun 1999 dan UU. No 20 Tahun 2001, namun beberapa waktu ini terjadi perbincangan yang cukup hangat, tentang revisi mengenai UU.Korupsi tersebut.
            Menurut beberapa pihak Draft Revisi yang ada tidak mencerminkan niat pemberantasan korupsi yang kokoh, tetapi justru malah melemahkannya. Permasalahan selanjutnya, bahwa sebenarnya revisi terhadap UU.Korupsi ini sejatinya masihlah belum perlu dilakukan, seperti apa yang dijelaskan oleh Chandra M. Hamzah[2] menginggat bahwa UU tersebut masih memadai hanya komitmen untuk melaksanakannya dari seluruh komponen lembaga Negara.
            Pertanyaan besar terjadi mengapa justru ditengah maraknya para petinggi negara yang tersandung kasus korupsi justru diadakan wacana mengenai revisi ini. Menurut Peneliti Hukum ICW, Donal Fariz[3] terdapat sembilan kelemahan terhadap Draft RUU Tipikor ini yaitu, Pertama, menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Kedua, penghilangan pasal yang dapat membuat kasus-kasus besar seperti Bank Century sulit diproses dengan UU Tipikor. Ketiga, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal. Keempat, adanya penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun. Kelima, melemahnya sanksi terhadap mafia hukum seperti suap untuk aparat penegak hukum. Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 suap untuk penegak hukum seperti hakim dapat diancam hukuman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor ancaman minimal hanya satu tahun dan maksimal tujuh tahun.
            Keenam, ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi, sedangkan ketujuh korupsi dengan kerugian negara dibawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum. Kelemahan kedelapan, kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU. Padahal dalam pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. Kelemahan terakhir, ICW tidak menemukan RUU Tipikor yang mengatur tentang pidana tambahan, seperti pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, dan penutupan perusahaan yang terkait korupsi.
            Dalam pemberantasan korupsi ini nampak hanya sebuah Lips Service belaka menginggat draft RUU Tipikor yang baru ini telah dibanderol dengan berbagai kelemahan, tidak hanya itu terdapat pula wacana mengenai perubahan UU.KPK yang mana juga banyak mengandung muatan-muatan yang melemahkan posisi KPK pula, menurut Febri Diansyah[4] terdapat sebuah “jebakan” dalam draft naskah akademik dan RUU KPK tersebut.
            DPR pun sempat menanyakan tentang 10 poin yang ada yaitu, tumpang tindih dan “rebutan” perkara korupsi antar institusi penegak hukum, perihal penyadapan KPK, kemungkinan KPK memiliki penyidik sendiri,perwakilan KPK daerah, kewenangan menerbitkan SP3, efektivitas pelaksanaan tugas KPK dan kemungkinan peninjauan ulang kewenangn KPK,peningkatan fungsi, pencegahan KPK, pelaksanaan koordinasi dan monitoring KPK terhadap penyelenggaraan pemerintahan, mekanisme pergantian antar waktu pimpinan KPK, dan rencana peninjauan konsep kolektif dalam pengambilan keputusan KPK[5].
            Usulan tentang RUU KPK ini lahir dari surat oleh wakil ketua DPR Priyo Budi Santoso kepada Benny K Harman, ketua komisi III DPR. Pada surat yang bernomor PW01/0054/DPR-RI/1/2011 ini meminta agar komisi III guna menyusun draf naskah akademik dan RUU KPK. Perdebatan terjadi ketika berkaca pada KPK yang telah memproses 42 anggota DPR yang terhormat ini dalam 8 kasus korupsi[6]. Apabila 8 kasus ini dituntaskan maka akan lebih dari 100 anggota DPR yang akan terjerat. Permasalahan ini jelas akan menjadi sebuah pisau yang sangat tajam kedepannya bagi kekuatan politik, maka terlahirlah wacana perubahan UU Tipikor dan UU KPK demi mengamankan posisi para anggota dewan yang diduga tersangkut ini.
            Tidak hanya pada pengkebirian secara regulasi, kasus Antasari Azhar yang diisukan dikriminalisasipun juga diduga guna melemahkan taring KPK, dan celakanya sang RI 1 yang terhormatpun dikabarkan terlibat dalam konspirasi ini. Masih hangat diinggatan masyarakat dimana sang presiden SBY berkomitmen bahwa ia tidak akan terlibat dalam siasat politik mengerdilkan atau membubarkan KPK.Selain itu apabila kita melihat secara teliti kasus Gayus Tambunan yang membuat warga gerah dan marah. Tapi sejatinya kasus Gayus Tambunan ini tidaklah akan dapat berakhir walaupun sudah Inkracht. Hal ini dikarenakan bahwa kasus Gayus Tambunan dapat menjadi senjata bagi SBY guna menjatuhkan beberapa pesaing kuatnya di PILPRES mendatang[7].
            Nampak sekali bahwa SBY terkesan mebiarkan dan bahkan memelihara kasus tersebut guna nantinya akan menabrak Aburizal Bakrie dan Sri Mulyani, pada beberapa kurun waktu ini terdengar kuat nama sang ibu negara Ani Yudhoyono yang akan maju demi mendapat posisi tertinggi di Indonesia. Tentu SBY sangat mati-matian guna dapat mewujudkan keingginan istrinya ini.
            Kasus Bank Century dan kasus mafia pajak, diangkat bukanlah bermotif untuk menyelesaikan masalah korupsi tetapi justru guna menghabisi lawan-lawan besarnya ini. Taruhlah kasus Bank Century yang akan menikam Sri Mulyani dan juga kasus mafia pajak yang juga akan menggunduli Abu Rizal Bakrie. Dengan isu ini maka jelas kepercayaan publik terhadap tokoh-tokoh ini akan pudar dan akan melanggengkan jalan Ani Yudhoyono, yang tentunya akan diboncengi oleh Partai Demokrat yang selalu mengaungkan bahwa era pemerintahan “orang”nya selalu bersih. Agaknya strategi politik kubu SBY ini masih mengalami kesulitan dengan tidak adanya paku runcing guna mengerdilkan kubu PDI-P. Walau begitu bukan berarti tak ada jalan, terlihat jelas bagaimana kubu Demokrat mati-matian mengajak kubu PDI-P ini untuk bermesraan secara politik. Nampak dengan terpilihnya Taufiq Kiemas sebagai ketua MPR RI.
            Sri Mulyani dikenal sebagai sosok yang cerdas dan diakui dunia internasional, terbukti bahwa ia ditarik oleh World Bank. Banyak kalangan menilai bahwa Sri Mulyani akan menjadi lawan tangguh terhadap sosok Ani Yudhoyono[8]. Reformasi sektor pajak merupakan dagangngan dari Sri Mulyani sendiri[9],  dengan dibukanya kasus Gayus dalam kegagalan sektor pajak ini, jelas akan menyentil Sri Mulyani dengan dagangngannya tersebut.Maka hal ini juga akan membuka mata publik terhadap kasus-kasus yang juga menimpa Sri Mulyani seperti kasus BC dimana Sri Mulyani masih menjabat sebagai ketua KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan).
            Selain kasus tersebut masih ada beberapa kasus yang cukup membawa nama Sri Mulyani ini anjlok, seperti kasus Siti Hartati Murdaya tahun 2007[10] dimana petugas Bea dan Cukai Bandar Soekarno Hatta menangkap kontainer sepatu milik CCM.Dimana kemudian Hartati mendatangi Dirjen Bea dan Cukai demi menjelaskan perihal tersebut. Namun Dirjen Bea dan Cukai yang saat itu dipimpin oleh Anwar Suprijadi mengacuhkan hal tersebut dan tetap melanjutkan untuk memprosesnya,namun kemudian Hartati meminta bantuan Menkeu yang saat itu dijabat oleh Sri Mulyani untuk membereskannya,dan berakhir mandeknya kasus tersebut.Juga kasus pajak PT.Asian Agri[11] yang dilaporkan ke KPK namun kemudian diambil alih oleh Ditjen Pajak dan tidak jelas kabarnya sampai sekarang.
            Kasus Gayuspun juga menjadi pukulan pelik bagi GOLKAR, dimana Denny Indrayana mengatakan bahwa Gayus pernah menerima uang Kaltim Prima Coal dan Bumi Resources, dimana Gayus dikatakan mendapat tawaran dari Group Bakrie sebesar 7 juta dollar AS, namun hanya diambil 3 juta dollar AS saja, aku Gayus.Sedangkan yang separuhnya dibagikan ke Kasi Pengurangan Dan Keberatan Satuan Dirjen Pajak[12]. Hal ini juga diperkuat oleh pengakuan Gayus dalam sidang bulan September 2010. Dimana Gayus mengatakan menerima uang 3 juta dollar AS atas pekerjaannya membantu pembetulan SPT Pajak PT. KPC dan Arutmin.Juga jasa mengurus perkara banding PT.Bumi Resources[13].
            Demi perebutan tahta politik sejumlah kasus korupsi sengaja dipelihara dan juga regulasi vital harus diutak-atik. Hal ini justru membawa sebuah malapetaka bagi rakyat, dimana hanya dinyanyikan tentang pemberantasan korupsi dimana tidak pernah terjadi wujud nyatanya.






[1] Bahkan Tranparency International Indonesia (TII) meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup keenam di dunia (I.Wibowo,”Negara Dan Bandit Demokrasi”,KOMPAS,Jakarta,2010,hlm.47
[2] www.repulika.co.id diakses tanggal 15 Mei 2011
[3] www.antaranews.com diakses tanggal 15 Mei 2011-05-15
[4] www.kompas.com diakses tanggal 15 Mei 2011
[5] Ibid
[6] news.okezone.com diakses tanggal 12 Mei 2011
[7] www.kompasiana.com diakses tanggal 07 Mei 2011
[8] www.saksak.net diakses tanggal 16 Mei 2011
[9] www.srimulyani.net diakses tanggal 07 Mei 2011
[10] www.tempo-interaktif.com diakses tanggal 08 Mei 2011
[11] ibid
[12] detik.news.com diakses tanggal 17 Mei 2011
[13] viva.news.com diakses tanggal 17 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut