Kamis, 27 Januari 2011

Hukum Acara Perdata dari pelbagai sumber


Bab I Pendahuluan


Berawal pada tahun 1950 pada Pasal 102 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia menetukan tentang Hukum Acara Perdata antara lain, bahwa Hukum Acara Perdata diatur dengan Undang-Undang dalam Kitab-Kitab Hukum, kecuali jika perundang-undangan sudah menganggap perlu untuk mengatur ulang dan merubah beberapa hal yang ada didalam Undang-Undang itu tersendiri.Berhubung dengan adanya peraturan-peraturan peralihan yang berturut-turut tersebut diatas, maka untuk mengetahui Hukum Acara Perdata yang sekarang berlaku di Indonesia, orang harus mulai meninjau kembali akan keadaan pada masa Belanda dan perubahan-perubahan yang diadakan pada masa-masa yang berikutnya sampai sekarang dan juga termasuk masa setelah terjadinya Reformasi.

a. Pada Masa Belanda

Pada masa belanda ada Raad Van Justitie dan Residentiegerecht sebagai hakim sehari-hari untuk orang-orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka, sedang bagi orang Indonesia asli dan yang disamakan dengan mereka maka Lendraadlah yang menjadi hakim sehari-hari didampingi oleh beberapa badan-badan untuk perkara-perkara kecil seperti Pengadilan Kabupaten, Pengadilan Distrik dan lain-lain.

b. Pada Masa Jepang

Lenyapnya Raad Van Justitie dan Residentiegerecht sebagai hakim sehari-hari untuk orang
orang Eropa dan yang disamakan dengan mereka maka diadakanlah sebuah pengadilan sehari-hari untuk semua orang yang termasuk didalamnya adalah bangsa Pribumi (Indonesia), Timur Asing (Arab, China, dan bangsa timur lainnya),yaitu pada Pengadilan Negeri {Tihoo Hooin} sebagai pelanjutan dari Landraad yang
dahulu ada.Pada pokoknya selama masa Jepang tidak adanya perubahan dalam segi hukum terutama dalam Hukum Acara Perdata. Dan Hukum Acara Perdata yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata buatan dari
Belanda yang termuat dalam Herziene Inlandesch Reglement dan beberapa produk hukum lainnya
yang itu merupakan salah satunya.

c. Pada Masa Republik Indonesia

Pada pokonya tidak ada suatu perubahan penting mengenai perihal Hukum Acara Perdata di Indonesia hal ini
dikarenakan Indonesia belum bisa membuat hukum sendiri. Akan tetapi ada juga beberapa perubahan yan tejadi dalam perkembangannya yang mengenai permasalahan pernikahan yang mana pernikahan tersebut yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia yang beragama Islam diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).Selain itu juga sesuai dengan sifat dasar dari hukum yaitu dinamis, maka Hukum Acara Perdata yang ada di Indonesia ikut juga terjadi perubahan dalam segala bidang yang ada

Hukum acara perdata merupakan ilmu pengetahuan mengenai Hukum Formil Perdata yakni ilmu pengetahuan tentang peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materi atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata kepada pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan. Hukum acara perdata ini merupakan ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa akademis, terutama mahasiswa yang berkecimpung  dalam masalah hukum  maupun umum.Menurut Rr. Rina Antasari, SH, M.Hum, mengenai kalimat dalam kata Hukum Acara Perdata dipergunakan sebagai terjemahan asli dari bahasa belanda Burgerlijke Proses Recht sedangkan menurut Prof. Sudigno memberikan batasan yakni:

-Hukum Acara Perdata adalah kumpulan aturan yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata dengan perantara hukum.

-Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materil atau peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata kemuka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan (Cst,
Kansil. Dkk, 2006).
- Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat bagaimana orang harus bertindak terhadap dan  dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus  bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. {Wirjono, 1982}
Perkara mempunyai pengertian yang lebis luas dari pada Sengketa, sedangkan sengketa adalah sebagian dari Perkara. Untuk membedakan keduanya maka dilihat dari keadaan awalnya yaitu Perkara dilihat dari adanya hal yang diperselisihkan / dipersoalkan atau tidak adanya hal yang diperselisihkan atau dipersoalkan, dan pada Sengketa ada pihak-pihak yang merasa di rugikan atas haknya. Beracara yaitu proses untuk menyelesaikan perkara.Beracara dibagi kedalam dua pengertian yaitu :
Beracara dalam arti luas  Suatu tindakan hukum dapat dilakukan baik diluar maupun didalam pengadilan berdasarkan ketentuan hukum acara perdata,penyelesaian diluar pengadilan : seperti menggunakan mediasi, konsoludasi, dll.Beracara dalam arti sempit beracara dalam arti sebenarnya yaitu tindakan hukum yang dilakukan mulai dari sidang pertama s/d dijatuhkannya putusan.Proses beracara ada tiga tahap yaitu :
  1. Langkah Persiapan
·         Para pihak yang bersengketa (penggugat) membuat surat gugatan dan memohon kepada Majelis mengenai Sita Jaminan terhadap objek sengketa.
·         Pengadilan   setelah menerima gugatan ketua pengadilan menunjuk majelis hakim yang menangani dan menetapkan hari persidangan.
2.Tindakan penentuan   melakukan proses persidangan perkara untuk memberikan keputusan keadilan.
3.Tindakan pelaksanaan putusan   menjalankan atau melaksanakan putusan hakim dalam hal ini eksekusi yang dilakukan oleh Jaksa.
Tugas hakim dalam acara Perdata  adalah mencari kebenaran formil dari apa yang dikemukakan atau dituntut oleh pihak-pihak yang bersengketa dan tidak boleh lebih dari pada itu hanya yang tertuang dalam surat gugatan. Perbedaan perkara perdata & pidana dapat dinilai dari
1. Dasar timbulnya perkara
  • Perdata   pelanggaran terhadap hak seseorang.
  • Pidana   pelanggaran terhadap larangan / perintah yang tertuang dalam UU.
2. Inisiatif berperkara
  • Perdata   para pihak yang berperkara / yang merasa dirugikan haknya.
  • Pidana   negara yang berinisiatif dalam hal ini ditugaskan kepada Kepolisian (penyelidikan dan penyidikan), Kejaksaan (membuat surat dakwaan dan setelah diajukan kepengadilan membuat penuntutan), dan Hakim (menyidangkan perkara dan memutuskan perkara).
3. Istilah yang digunakan
  • Perdata   penggugat dan tergugat.
  • Pidana   Kepolisian
Susunan Badan-Badan Pengadilan Umum Di Indonesia kita kenal susunan pengadilan dalam :
- Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili semua perkara baik perdata maupun pidana.

- Pengadilan Tinggi atau pengadilan tingkat banding yang juga merupakan pengadilan tingkat kedua.Dinamakan pengadilan tingkat kedua karena pemeriksaannya sama dengan pemeriksaan yang ada pada pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri)

- Mahkamah Agung yang merupakan penagdilan tingkat terakhir. Mahkamah Agung memeriksa perkara-perkara yang dimintakan kasasi, karena tidak puas dengan putusan banding dari pengadilan tinggi, karena pada tingkat kasasi yang diperiksa adalah penerapan hukumnya saja.

Bab.II Tentang Gugatan

Setiap orang yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang dianggap merugikan lewat pengadilan.Gugatan dapat diajukan secara lisan (ps 118 ayat 1 HIR 142 ayat 1) atau tertulis (ps 120 HIR 144 ayat 1 Rbg) dan bila perlu dapat minta bantuan Ketua Pengadilan Negeri .Gugatan itu harus diajukan oleh yang berkepentingan tuntutan hak di dalam gugatan harus merupakan tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya, yang dapat dikabulkan apabila kabenarannya dapat dibuktikan dalam sidang pemeriksaan.Mengenai persyaratan tentang isi daripada gugatan tidak ada ketentuannya, tetapi kita dapat melihat dalam Rv Psl 8 No.3 yang mengharuskan adanya pokok gugatan yang meliputi :
1) Identitas dari pada para pihak
2) Dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Dalil-dalil ini lebih dikenal dengan istilah fundamentum petendi
3) Tuntutan atau petitum ini harus jelas dan tegas. HIR dan Rbg sendiri hanya mengatur mengenai cara mengajukan gugatan

Identitas Para Pihak yang dimaksud dengan identitas adalah cirri-ciri daripada penggugat dan tergugat ialah nama, pekerjaan, tempat tinggal.Fundamentum Petendi adalah dalil-dalil posita konkret tentang adanya hubungan yang merupakan dasar serta ulasan daripada tuntutan
1. Fundamentum petendi ini terdiri dari dua bagian :
a. Bagian yang menguraikan tentang kejadian atau peristiwa (feitelijke gronden) dan
b. Bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechtgronden)
2. Uraian tentang kejadian merupakan penjelasan duduknya perkara tetang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yurudis daripada tuntutan
3. Mengenai uraian yuridis tersebut tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan melainkan cukup hak atau peristiwa yang harus dibuktikan di dalam persidangan nanti sebagai dasar dari tuntutan, yang member gambaran tentang kejadian materiil yang merupakan dasar tuntutan itu
4. Mengenai seberapa jauh harus dicantumkannya perincian tentang peristiwa yang dijadikan dasar tuntutan ada bebarapa pendapat :
a. Menurut Subtantieringstheori, tidak cukup disebutkan hukum yang menjadi dasar tuntutan saja, tetapi harus disebutkan pula kejadian-kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan itu, dan menjadi sebab timulnya peristiwa hukum tersebut misalnya ; bagi penggugat yang menuntut miliknya, selain menyebutkan bahwa sebagai pemilik, ia juga harus menyebutkan asal-asul pemilik itu.
b. Menurut individualiseringtheori sudah cukup dengan disebutkannya kajadian-kejadian yang dicantumkan dalam gugatan yang sudah dapat menunjukan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan. Dasar atau sejarah terjadinya hubungan tersebut tidak perlu dijelaskan, karena hal tersebut dapat dikemukakan didalam sidang-sidang yang akan datang dengan disertai pembuktian.
c. Menurut putusan Mhkamah agung sudah cukup dengan disebutkannya perumusan kejadian materiil secara singkat.

Petitum atau Tuntutan:
1. Petitum atau Tuntutan adalah apa yang dimintakan atau diharapkan penggugat agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan terjawab didalam amar atau diktum putusan. Oleh karenanya petitum harus dirumuskan secara jelas dan tegas
 2. Tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna dapat barakibat tidak diterimanya tuntutan tersebut. Demikian pula gugatan yang berisi pernyataan-pernyataan yang bertentangan satu sama lain disebut abscuur libel ( guagatan yang tidak jelas dan tidak dapat dijawab dengan mudah oleh pihak oleh pihak tergugat sehungga menyebabkan ditolaknya gugatan) berakibat tidak diterimanya gugatan tersebut.
3. Sebuah tuntutan dapat dibagi 3 (tiga) ialah :
a. Tuntutan primer atau tuntutan pokok yang langsung berhubungan dengan pokok perkara.
b. Tuntutan tambahan, bukan tuntutan pokok tetapi masih ada hubungannya dengan pokok perkara.
c. Tuntutan subsidiair atau pengganti.
4. Meskipun tidak selalu tapi seringkali di samping tuntutan pokok masih diajukan tuntutan tamabahan yang merupakan pelengkap daripada tuntutan pokok.
5.Biasanya sebagai tututan tambahan berwujud :
a. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
b. Tuntutan “uivoerbaar bij voorraad” yaitu tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi. Didalam praktik permohonan uivoerbaar bij voorraad sering dikabulkan. Namun demikian Mahkamah Agung mengintruksikan agar hakim jangan secara mudah memberikan putusan uivoerbaar bij voorraad.
c. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) apabila tuntutan yang demikian oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu.
d. Tuntutan agar tergugat dihukum untuk mambayar uang paksa (dwangsom), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan
e. Dalam hal gugat cerai sering disertai juga dengan tuntutan nafka bagi istri atau pembagian harta.
6. Mengenai tuntutan subsidiair selalu diajukan sebagai pengganti apabila hakim berpendapat lain. Biasanya tuntutan subsidiair itu berbunyi “ agar hakim mengadili menurut keadilan yang benar” atau “ mohon putusan yang seadil-adilnya” (aequo et bono)
Jadi tujuan daripada tuntutan subsidiair adalah agar apabila tuntutan primer ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebesan hakim serta keadilan.
7. Didalam berpekara di Pengadilan kita mengenal gugatan biasa/ pada umumnya dan gugatan yang bersifat referte.
8. Sebuah gugatan dapat dicabut selama putusan pengadilan belum dijatuhkan dengan catatan :
a. Apabila gugatan belum sampai dijawab oleh tergugat, maka penggugat dapat langsung mengajukan pencabutan gugatan.
b. Apabila pihak tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan gugatan dapat dilaksanakan apabila ada persetujuan dari tergugat.
Cara mengajukan gugatan pada setiap tingkat peradilan memiliki cara yang berbeda,namun secara garis besar dapat dituliskan sbb:
PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT PERTAMA (Pengadilan Negeri)
  • Penggugat atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan gugatan yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat pada Pengadilan Negeri (bagian Perdata) dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi, antara lain : Surat Permohonan / Surat Gugatan dan Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat/Lawyer).
  • Surat Gugatan dan Surat Kuasa Asli harus mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
  • Setelah mendapat persetujuan, maka Penggugat / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir. Khusus bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat. Bagi yang tidak mampu, maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,- dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu akan berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Gugatan.
  • Menunggu Surat Panggilan sidang dari Pengadilan Negeri setempat yang disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.
  • Menghadiri Sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT BANDING (Pengadilan Tinggi)
  • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat (Pada Tingkat Pertama), dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
    1. Surat Permohonan Banding.
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat).
    3. Memori Banding.
  • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan Banding.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage). Setelah menerima Surat Pemberitahuan, Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Banding dan salinan Kontra Memori Banding.
  • Menunggu kutipan putusan dari Pengadilan Tinggi yang akan disampikan oleh Juru Sita Pengganti.
PELAKSANAAN GUGATAN PADA TINGKAT KASASI (Mahkamah Agung)
  • Pemohon atau melalui Kuasa Hukumnya mengajukan Permohonan Kasasi kepada Pengadilan Negeri setempat, dengan beberapa kelengkapan/syarat yang harus dipenuhi :
    1. Surat Permohonan Kasasi.
    2. Surat Kuasa yang sudah dilegalisir (apabila menggunakan Advokat).
    3. Memori Kasasi.
  • Pemohon / Kuasanya membayar biaya gugatan / SKUM di Kasir.
  • Memberikan SKUM yang telah dibayar dan menyimpan bukti asli untuk arsip.
  • Menerima tanda bukti penerimaan Surat Permohonan Kasasi.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Berkas (Inzage). Sama seperti pada tingkat Banding, Pemohon diberikan jangka waktu 14 hari untuk datang ke Pengadilan Negeri setempat untuk mempelajari berkas.
  • Menunggu Surat Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi dan salinan Kontra Memori Kasasi.
  • Menunggu kutipan putusan dari Mahkamah Agung yang akan disampaikan oleh Juru Sita Pengganti.

Perubahan gugatan diperkenankan, apabila diajukan sebelum tergugat mengajukan jawaban dan apabila sudah ada jawaban tergugat, maka perubahan tersebut harus dengan persetujuan tergugat (Pasal 127 Rv)Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan azas-azas hukum  secara perdata, tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil (Pasal 127 Rv; asal tidak mengubah atau menambah petitum, pokok perkara, dasar dari gugatan).Perubahan gugatan dilarang:
a.     apabila berdasarkan atas keadaan/fakta/peristiwa hukum yang sama dituntut hal yang lain (dimohon suatu pelaksanaan hal yang lain)
b.     penggugat mengemukakan/mendalilkan keadaan fakta hukum yang baru dalam gugatan yang diubah
Gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila tergugat belum memberikan jawaban tetapi jika tergugat sudah memberikan jawaban maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan tergugat (Pasal 271, 272 RV)

Bab III Pemeriksaan Perkara Dalam Sidang Pengadilan

Setelah Ketua Pengadilan Negeri (Ketua PN) menerima berkas perkara yang didaftarkan penggugat dari panitera, dan Ketua PN menunjuk majelis hakim yang menyidangkan perkara, selanjutnya majelis hakim menetapkan hari sidang. Penetapan hari sidang tersebut dilakukan dengan “surat penetapan”, yang di dalamnya juga mencantumkan perintah kepada panitera atau juru sita memanggil para pihak agar hadir di depan sidang pengadilan pada waktu yang telah ditentukan itu.  Hal ini diatur dalam pasal 121 ayat (1) HIR – pemanggilan itu juga meliputi perintah agar para pihak menghadirkan saksi-saksi.Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita pengadilan sesuai kompetensi relatif juru sita yang bersangkutan. Ruang lingkup kempetensi relatif juru sita pengadilan mengikuti kompetensi relatif PN yang bersangkutan, sehingga jika pemanggilan para pihak dilakukan di luar jangkauan kompetensi relatifnya, juru sita melakukan pendelegasian pemanggilan kepada juru sita di wilayah hukum pengadilan dimana pihak yang dipanggil bertempat tinggal. Jika pemanggilan dilakukan oleh juru sita diluar kompetensi relatifnya, maka pemanggilan tersebut dianggap tidak sah karena pemanggilan dilakukan oleh juru sita yang tidak berwenang. Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat dilakukan dalam sidang sidang berikutnya meskipun taraf pemeriksaan lebih lanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg).Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh hakim dihadapan para pihak sebelum hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.Akta/ putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan, eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.Akta/ putusan perdamaian tidak dapat dilakukan upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali.Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara persidangan, selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/Pasal 155 RBg).Khusus untuk gugatan perceraian, Hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut.Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus dicabut, apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang tertutup untuk umum.Dalam mengupayakan perdamaian digunakan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal 2 ayat (3) PERMA). Jawaban tergugat Dalam Sidang Perkara Perdata Apabila pada sidang pengadilan kedua ternyata tidak dapat dicapai suatu perdamaian antar penggugat dengan tergugat, maka tergugat emberikan jawabannya lewat hakim. Jawaban tergugat dapat berbentuk menolak gugatan, membenarkan gugatan, atau referte dan membenarkan diri tergugat sendiri sudah barang tentu alas an penolakan tersebut harus didukung oleh alas an-alasan yang kuat artinya berdasarkan peristiwa dan hubungan hukumnya.

Bab IV Tentang Pembuktian

Sebelum kita membahas tentang jenis alat bukti yang digunakan pada hukum acara perdata, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pembuktian. Dalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk meyelidiki ada atau tidak hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan, hal ini yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu gugatan.
   Hakim akan merima suatu gugatan apabila telah terbukti bahwa terdapat hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan tersebut.   Proses yang digunakan untuk mengetahui  ada tidaknya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan adalah acara pembuktian.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan  dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil  yang dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan
Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
Membuktian dalam arti yuridis  adalah memberi dasar-dasar  yang cukup pada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan untuk memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. 
Dari beberapa definisi tentang pembuktian yang dikemukan oleh pakar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu proses membuktikan dan meyakinkan hakim tentang kebenaran peristiwa yang menjadi dasar gugatan dengan menggunakan bukti-bukti yang diatur oleh undang-undang.
Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses persidangan suatu perkara di pengadilan. Dengan pembuktian, hakim akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkara yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dijelaskan dalam hal apa saja pembuktian itu  harus dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan hal apa yang tidak perlu dibuktikan.Tujuan dari pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim tentang kebenara peristiwa, maka dari itu yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang dikemukakan oleh para pihak yang masih belum jelas atau yang  masih menjadi sengketa di Pengadilan.
Hal-hal yang harus dibuktikan adalah hal yang menjadi perselisihan atau persengketaan yang diajukan oleh pihak, akan tetapi dibantah atau disangkal oleh pihak lain. Menurut Abdul Manan, peristiwa peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)  Peristiwa yang dibuktikan harus merupakan peristiwa yang menjadi sengketa, karena tujuan dari pembuktian adalah mencari kebenaran untuk menyelesaikan sengketa.
2)  Peristiwa yang dibuktikan harus dapat diukur, terikat oleh ruang dan waktu.
3)  Peristiwa yang dibuktikan harus mempuyai kaitan dengan hak yang disengketakan
4)  Peristiwa itu efektif untuk dibuktikan. Terkadang untuk membuktikan adanya suatu hak terhadap peristiwa memerlukan beberapa rangkaian  peristiwa, oleh karena itu  peristiwa yang satu dengan lainnya harus merupakan satu  mata rantai.
5)  Peristiwa tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut tidak semua peristiwa yang dikemukan oleh para pihak  penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan nantinya untuk memutuskan sengketa yang terjadi. Hakim dituntut untuk teliti dalam hal ini, hakim hanya akan membuktikan  peristiwa-peristiwa yang relevan dengan sengketa yang dikemukan oleh para pihak. Beban pembuktian harus dilakukan secara adil. Jika pada suatu sengketa hanya satu pihak saja yang diberi beban pembuktian, sedangkan pihak yang lain tidak, hal ini akan menjerumuskan pada jurang kekalahan. Jadi sekali lagi hakim dituntut utuk adil dalam pembagian beban pembuktian terhadap pihak yang bersengketa di muka sidang peradilan.
Dalam Pasal 163 HIR disebutkan bahwa jika seseorang  mengatakan mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian tersebut. Senada dengan penjelasan di atas, dalam Pasal 1865 BW disebutkan bahwa setiap orang yang mendalihkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya sendiri maupun untuk membatah hak orang lain terhadap suatu peristiwa, maka dia wajib untuk membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Dari penjelasan di atas, bahwa yang dibebani pembuktian adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu perkara. Pihak yang mengakui mempunyai suatu hak harus membuktikan akan hak tersebut, sedangkan pihak yang membatah terhadap hak tersebut, juga harus membuktikan bantahannya.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang  beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim,yaitu:
1)      Teori Pembuktian yang Bersifat Menguatkan Belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini orang yang mempuyai hak harus membuktikan hak tersebut, bukan mengingkari atau menyangkalnya. Dasar yang menjadi teori ini adalah bahwa hal yang negatif tidak perlu untuk dibuktikan. Hal negatif tidak mungkin menjadi dasar dari suatu hal, meskipun mungkin pembuktian terhadap hal negatif dilakukan, akan tetapi hal tersebut tidak penting dan tidak dapat dibebankan kepada seseorang. Teori ini sekarang sudah tidak dipakai lagi.
2)      Teori Hukum Subyektif
Menurut teori hukum ini suatu proses perdata merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif. Teori ini menyebutkan bahwa  barang siapa mengakui mempunyai hak, maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. Sedangkan pihak lain yang membantah hak tersebut harus membantah dan membuktikan bahwa hak tersebut tidak ada. Teori ini berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW.
3)      Teori Hukum Obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat minta pada hakim agar menerapkan ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari itu penggugat membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan terhadap peristiwa tersebut.
4)      Teori Hukum Publik
Menurut teori ini, mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, maka hakim diberi kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban untuk membuktikan yang bersifat hukum publik, yakni membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
5)      Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram, asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini  adalah kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka hakim. Hakim berdasarkan kesamaan kedudukan harus  memberikan beban yang sama kepada para pihak untuk membuktikan  terhadap apa yang didalihkan. Akibat dari asas ini adalah setiap pihak mempuyai kesempatan yang sama untuk menang. Hal yang harus dibuktikan adalah hal-hal yang positif saja, yakni adanya suatu peristiwa bukan tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula jika seseorang menguasai suatu barang, maka tidak membuktikan bahwa dia tidak berhak terhadap barang tersebut. Sebaliknya, jika seseorang mengaku mempunyai hak yang berada dalam kekuasaan orang lain, maka dia harus membuktikan bahwa dia berhak atas barang tersebut.

Bab.V Keputusan Hakim

Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupu oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut.
 Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.
 Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan hakim sebagai aparatur negara dan sebagai wakil Tuhan yang melaksanakan peradilan harus mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan ditetapkan baik peraturan hukum tertulis dalam perundang-undangan maupun peraturan hukum tidak tertulis atau hukum adat.
Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar ara pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja tetapi juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan diucapkan oleh hakim di muka sidang karena jabatan ketika bermusyawarah hakim wajib mencukupkan semua alasan-alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim wajib mengadili semua bagian gugatan. Hakim menjatuhkan putusan atas ha-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih dari yang digugat.
Bentuk penyelesaian perkara dibedakan atas 2 yaitu:
1. Putusan / vonis
2.Penetapan / beschikking

Suatu putusan diambil untuk suatu perselisihan atau sengketa sedangkan suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan yuridiksi voluntain.
Putusan hakim terdiri dari:
1.Kepalaputusan
Suatu putusan haruslan mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksektorial pada putusan apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2. Identitas pihak yang berperkara.
 Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada orang lain.
3.Pertimbangan atau alasan-alasan.
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan tentang dudu perkara dan pertimbangan tentang hukumnya.Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan.Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP / 1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970.
4. Amar atau diktum putusan.
 Dalam amar dimuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Dalam diktum itu ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atau pokok perselisihan.
Putusan hakim dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Putusan sela (tussen vonnis)
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu:
 
a. Putusan preparatuir
Yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir.
b.Putusan inferlocutoin
 Yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir.
c.Putusan lucidentiel
 Yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
d. Putusan provisional
 Yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

2. Putusan akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA.
 Macam-macam putusan akhir antara lain:
 
a. Putusan condemnatior
Yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi.
 b. Putusan declaratory
 Yaitu putusan yang amarnya menyatakan suatu keadaan sebagai keadaan yang sah menurut hukum.
c. Putusan konstitutif
 Yaitu putusan yang amarnya menciptakan suatu keadaan baru.
 
Dari ketiga sifat putusan diatas maka putusan yang memerlukan pelaksanaan (eksekusi) hanyal yang bersifat condemnatior.Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No. 14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu.
Macam-macam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:
1. Kekuatan pembuktian mangikat
Putusan ini sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian Undang-Undang sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebut dalam putusan itu.
2. Putusan eksekutorial
 Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menantinya dengan sukarela
3.Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan)
Yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yag sudah pernah diputus atau mengenai hal-hal yang sama berdasarkan asas nebis inidem (tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yag sama)

Bab VI. Tentang Banding
Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa membuat kesalahan dalam menjatuhkan keputusan. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi.Menurut ketentuan pasal 3 UU darurat No. 1 tahun 1951 peraturan hukum acara perdata untuk pemeriksaan ulangan atau banding pada pengadilan tinggi adalah peraturan-peraturan tinggi dalam daerah Republic Indonesia dahulu itu. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam daerah RI dahulu adalah:
  1. untuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata abuat pengadilan tinggi di Jawa dan Madura adalah undang-undang No. 20 Tahun 1947.
  2. Utnuk pemeriksaan ulangan atau banding perkara perdata buat pengadilan tinggi  di luar awa dan Madura adalah rechtsterglement voor debuitengewesten (RBG).
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan dapat dilihat dalam pasal 6 UU No.20/1947 yang menerangkan, apabila besarnya nilai gugat dari perkaara yang telah diputus itu lebih dari Rp.100,- atau kurang. Oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diulangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan. Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabutketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:ada pernyataan ingin banding,panitera membuat akta banding,dicatat dalam register induk perkara,pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat,pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra memori banding.Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan, atau setelah diberitahukan, dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir.
Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut diatas, tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan Panitera, bahwa permohonan banding telah lampau.Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh Meja Pertama, telah dibayar lunas.Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar lunas, maka Pengadilan wajib membuat akta pernyataan band ing, dan mencatat permohonan banding tersebut dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding.Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari harus telah disampaikan kepada lawannya. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori band ing harus dicatat, dan salinannya disampaikan kepada masing-masing lawannya, dengan membuat relas pemberitahuan/ penyerahannya.
Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan Tinggi, harus diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta.Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi. Biaya perkara banding untuk Pengadilan Tinggi harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau Kantor Pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.Dalam menentukan biaya banding harus diperhitungkan:biaya pencatatan pernyataan banding,besarnya biaya banding yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi,biaya pengiriman uang melalui Bank/Kantor Pos,ongkos kirim berkas,biaya pemberitahuan,
 Pendaftaran Banding:Berkas perkara diserahkan pada Panitera Muda Perdata sebagai petugas pada  meja/loket pertama, yang menerima pendaftaran terhadap permohonan banding.Permohonan banding dapat diajukan di kepaniteraan pengadilan negeri dalam waktu 14 hari kalender terhitung keesokan harinya setelah putusan diucapkan atau setelah diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan. Apabila hari ke 14 jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau Hari Libur, maka penentuan hari ke 14 jatuh pada hari kerja berikutnya.Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau.Panjar biaya banding dituangkan dalam SKUM, SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat dalam rangkap tiga:lembar pertama untuk pemohon,lembar kedua untuk kasir,lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas permohonan.Menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada yang pihak bersangkutan agar membayar uang panjar yang tercantum dalam SKUM kepada pemegang kas pengadilan negeri.Pemegang kas setelah menerima pembayaran menandatangani, membubuhkan cap stempel lunas pada SKUM.Pemegang kas kemudian membukukan uang panjar biaya perkara sebagaimana tercantum dalam SKUM pada buku jurnal keuangan perkara.Pernyataan banding dapat diterima apabila panjar biaya perkara banding yang ditentukan dalam SKUM oleh meja pertama telah dibayar lunas.Apabila panjar biaya banding yang telah dibayar tunas maka pengadilan wajib membuat akta pemyataan banding dan mencatat permohonan banding tersebut dalam register induk perkara perdata dan register permohonan banding.Permohonan banding dalam waktu 7 hari kalender harus telah disampaikan kepada lawannya, tanpa perlu menunggu diterimanya memori banding.Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding harus dicatat dalam buku register induk perkara perdata dan register permohonan banding, kemudian salinannya disampaikan kepada masing- masing lawannya dengan membuatrelaaspemberitahuan/penyerahannya.Sebelum berkas perkara dikirim ke pengadilan tinggi harus diberikan kesempatan kepada kedua belah untuk mempelajari/memeriksa berkas perkara (inzage) dan  dituangkan dalam Relaas.Dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa berkas A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.Biaya perkara banding untuk pengadilan tinggi harus disampaikan melalui Bank pemerintah/kantor pos, dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.Pencabutan permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pembanding (harus diketahui oleh prinsipal apabila permohonan banding diajukan oleh kuasanya) dengan menyertakan akta panitera.Pencabutan permohonan banding harus segera dikirim oleh Panitera ke Pengadilan Tinggi disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh Panitera.
Bab VII Tentang Kasasi

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ada ketentuan yan g mengatur tentang kasasi, yaitu pasal 105 ayat 3. Menurut ketentuan pasal tersebut, dalam hal-hal yang ditunjuk dengan undang-undang, terhadap keputusan-keputusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.Menurut ketentuan pasal 28 ayat 1 butir (a) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Jadi peradilan kasasi itu terbatas pada persoalan mengenai hukum saja, tidak mengenai peristiwa dan pembuktiannya.
Syarat-syarat dan prosedur kasasi:Perkara yang dimohonkan kasasi sudah diperiksa dan diputus oleh pengadilan tinggi dalam tingkat banding atau sudah diputus dalam tingkat terakhir.Dalam putusan verstek, harus sudah mengajuka verzet lebih dulu, kemudian mengajukan banding,Masih dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada pemohon.Membayar biaya perkara untuk kasasi.Harus melampirkan memori kasasi yang memuat alasan-alasan kasasi.
Dalam melakukan hal pemeriksaan dan memberikan putusan kasasi Mahkamah Agung harus bersidang dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim, seorang hakim bertindak sebagai hakim ketua, dan yang lainya sebagai hakim anggota, serta dibantu oleh seorang panitra atau panitra pengganti.
Putusan kasasi dapat berupa :
1.       Permohonan kasasi tidak dapat diterima
2.       Permohonan kasasi ditolak
3.       Permohonan kasai diterima (dikabulkan)
Permohonan kasasi dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan diucapkan atau diberitahukan, dalam hal putusan tersebut diucapkan diluar hadir.Pernyataan kasasi dapat diterima, apabila panjar biaya perkara kasasi yang ditentukan dalam SKUM oleh Meja Pertama, telah dibayar lunas.Setelah pemohon membayar biaya perkara, Pengadilan pada hari itu juga wajib membuat akta pernyataan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara dan mencatat permohonan kasasi tersebut dalam register induk perkara dan register kasasi.  
Permohonan kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari harus sudah disampaikan kepada pihak lawan.Memori kasasi, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah pernyatan kasasi, harus sudah diterima pada kepaniteraan Pengadilan Negeri.Panitera wajib memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi, dan dalam waktu selambat­-lambatnya 30 (tiga puluh) hari salinan memori kasasi tersebut disampaikan kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud.
Jawaban kontra memori kasasi, selambat-Iambatnya 14 (empat betas) hari sesudah disampaikannya memori kasasi, harus sudah diterima pada kepaniteraan Pengadilan Negeri untuk disampaikan pihak lawannya. Dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diajukan, berkas kasasi berupa berkas A dan B harus dikirim ke Mahkamah Agung.


Bab VIII. Pelaksanaan Putusan Hakim

Untuk memberikan putusan adalah tugas hakim. Putusan itu dituntut suatu keadilan dan untuk itu hakim melakukan konstatering peristiwa yang dihadapi, mengkualifikasi dan mengkonstitusinya. Jadi bagi hakim dalam mengadili suatu perkara yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukum adalah suatu alat, sedangkan yang bersifat menentukan adal peristiwa.
Maka dalam putusan hakim yang perlu diperhatikan adalah pentimbangan hukumnya, sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai lasan yang obyektif atau tidak. Disamping itu pertimbangan hakim adalah penting dalam membuat memori banding dan memori kasasi.
Adapun susunan dan isi petusan hakim adalah (berdasarkan Ps 183, 184, 187 HIR, Ps 194, 195, 198 Rbg), (Ps 4 ayat (1) Ps 23 UU No.4/1970, Ps 27 Ro dan 61 Rv). Yang terdiri dari :
a.Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada bagian atas yang berbunyi “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Ps 135 Rv). Kepala ini penting sekali karena member kekuatan eksekutorial pada putusan. Tanpa adanya kepal putusan tersebut, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut (Ps 224 HIR, 258 Rbg)
 b. Identitas Para Pihak
Suatu perkara atau gugatan terus mempunyai dua pihak atau lebih, maka di dalam putusan harus dimuat identitas dari para pihak seperti: nama, alamat, dan nama dari pengacaranya kalau ada.
c. Pertimbangan atau Considerans
Pertimbangan atau consideran adalah dasar daripada putusan. Pertimbangan dalam putusan dibagi dua yakni pertimbangan duduk perkara atau peristiwanya dan pertimbangan akan hukumnya. Pertimbangan peristiwanya harus dikemukakan oleh para pihak sedangkan pertimbangan hukumnya adalah urusan hakim.
Pertimbangan dari putusan merupakan alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian (obyektif).Alasan dan dasar daripada putusan harus dimuat dalam putusan. Setiap putusan memuat ringkasan yang jelas dari tuntutan dan jawaban alasan dasar daripada putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya para pihak pada waktu putusan diucapkan oleh hakim. Meskipun tuntutan atau gugatan dan jawaban cukup dimuat secara ringkas namun didalam praktik tidak jarang terjadi seluruh gugatan dimuat dalam putusan.
d. Amar atau Dictum
Pada hakekatnya amar atau dictum merupakan jawaban tehadap petitum daripada gugatan. Dalam mengadili suatu perkara hakim wajib mengadili semua bagian daripada tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut.
Amar atau dictum itu dapat bersifat deklaratif dan dispositive. Dikatakan deklaratif apabila amar itu merupakan penetapan daripada hubungan hukum yang menjadi sengketa sedangkan disebut dispositive apabila member hukum atau hukumannya mengabulkan atau menolak gugatan.
e. Penanda Tanganan
Setiap putusan harus ditandatangani oleh hakim ketua, hakim anggota dan panitera. Apabila ketua sidang tiadk dapat menandatngani putusan, maka penanda tanganan dilakukan oleh hakim anggota yang ikut memeriksa, yang pangkatnya setingkat dibawah pangkat ketua. Apabila panitera berhalangan untuk menanda tangani putusan, maka hal tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam berita acara.

Permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1980.Permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
(a) apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
(b) apabila setelah perkara-perkara diputus, diketemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan, pada waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan (novum).
(c) apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut.
(d) apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
(e) apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan lainya saling bertentangan.
(f) apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan lainnya.
Adapun tenggang/ jangka waktu pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara perdata, Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 pada pokoknya menyatakan :
(a) Dalam putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat, keterangan saksi palsu dan atau bukti palsu, diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap atau sejak hari diketahui/terjadinya hal-hal/alasan-alasan yang dimaksud, yang hari serta tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.

(b) Dengan alasan adanya novum, Permohonan Peninjauan Kembali diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan sejak diketahui atau diketemukannya suatu novum, yang hari serta tanggalnya dapat dibuktikan secara tertulis.
(c) Dalam hal putusan dianggap mengabulkan yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut atau putusan belum memutus suatu bagian dari tuntutan/ gugatan tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, dan atau putusan hakim perdata tersebut mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentangan satu dengan lainnya maka Permohonan Peninjauan Kembali atas putusan hakim perdata itu harus diajukan dalam tempo waktu 6 (enam) bulan sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(d) Untuk alasan karena adanya 2 (dua) putusan Pengadilan yang sama tingkatannya, dalam perkara yang sama dengan subjek/ objek hukum yang sama namun antara isi satu putusan pengadilan dengan isi putusan pengadilan lainnya saling bertentangan, Permohonan Peninjauan Kembali atas alasan tersebut diajukan dalam tenggang waktu selama 6 (enam) bulan sejak putusan yang ter akhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan Pengadilan Negeri yang bersangkutan akan memberitahukan secepatnya dengan memberikan atau mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali tersebut kepada pihak lawan dari pemohon.
Perlu menjadi perhatian bagi masyarakat, Ketentuan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982 secara jelas dan tegas bahwa Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Hakim dan dalam Pasal 6-nya, Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1982, jelas-jelas menyatakan bahwa Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja. Jadi, jangan pernah menghalangi upaya eksekusi Pengadilan dengan mengatakan “menunggu putusan permohononan peninjauan kembali di Mahkamah Agung” atau mengupayakan Permohonan Peninjauan Kembali secara berulang-ulang karena hal tersebut hanya sia-sia belaka. Terkecuali, ada keajaiban, dalam hal ini perubahan kebijakan dari Hakim Agung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut