Kamis, 27 Januari 2011

MAHASISWA SEKARANG “IMPOTEN”?


MAHASISWA SEKARANG “IMPOTEN”?
“Sebuah Telaah Historis Akan Pergerakan Mahasiswa”

OLEH : DWI NOFI ANDHIYANTAMA
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIV.WIDYAGAMA MALANG

Mahasiswa adalah  kaum intelektual dimana memiliki tingkat pendidikan dan pengetahuan yang tinggi,mahasiswa selain terkenal dengan kepandaiannya juga dikenal dengan ke-kritisan pemikirannya dalam menyikapi kondisi-kondisi politik yang ada.Bahkan beberapa kalangan menilai bahwa mahasiswa merupakan salah satu elemen pengontrol kebijakan pemerintah yang memiliki pengaruh sangat besar.Tak jarang pula atau bahkan sering,kita jumpai mahasiswa-mahasiswa berdemonstrasi dalam meluapkan aspirasinya terhadap permasalahan tertentu.Sebagian orang mungkin akan menganggap itu adalah hal bodoh dan gila yang mana akan percuma,karena tidak akan berpengaruh seperti yang telah terjadi namun sebagian lagi beranggapan itu adalah wujud dari berlangsungnya demokrasi.
Berbicara masalah demonstrasi mahasiswa tentu kita akan berbicara tentang sebuah pergerakan massa(yang mana disini massanya sebagian besar adalah mahasiswa) yang dilakukan secara serempak,teratur dan memiliki tujuan tertentu.Demonstrasi atau unjuk rasa ini  diartikan sebagai gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang dihadapan umum.Demonstrasi ini biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok(www.wikipedia.com diakses tgl.3/09/2010).Jadi dalam demonstrasi ini sendiri proses peran aktif dari masyarakat maupun golongan tertentu dapat terwujud,yang mana hal ini akan menghidupkan khasanah demokrasi.
Bill Moyer berpendapat dalam bukunya “The Movement Action Plan” bahwa perlu adanya suatu kebangkitan kembali demokrasi melalui “kekuatan masyarakat”.Pemusatan kekuatan secara terus-menerus dari pemerintah dan lembaga sosial yang lain,dikombinasikan dengan penggunaan media massa yang baru untuk menyelesaikan proses politik itu,nyaris menghilangkan keikutsertaan warga negara yang efektif dalam proses pengambilan keputusan.
Berangkat dari pendapat tersebut dapat disimpulkan begitu besarnya pengaruh dari kekuatan masyarakat ini,yang mana salah satunya dapat diwujudkan melalui proses demonstrasi.Sejarah kita pernah mencatat bagaimana kegarangan mahasiswa dalam menjatuhkan rezim orde baru yang begitu lama bercokol selama 32 tahun.Kala itu pada tahun 1998 kondisi perekonomian di Indonesia mengalami keterpurukan dimana Rupiah tembus 17.000/dollar AS,mutlak pada saat itu dibutuhkan pemecahan terhadap permasalahan ini.Namun pada bulan Maret 1998,MPR malah menetapkan kembali Soeharto sebagai Presiden RI padahal hal ini ditentang keras oleh masyarakat dan mahasiswa.Hal ini didasarkan atas ketidakpuasan terhadap kepemimpinan soeharto yang mana malah akan memperburuk kondisi  perekonomian Indonesia.Gundah akan keputusan MPR ini,mahasiswa memilih bedemonstrasi sebagai solusi agar suara mereka dapat didengar.
Demonstrasi pertama kali diluncurkan oleh mahasiswa Yogyakarta sebelum Sidang Umum MPR 1998.Dan menjelang Sidang Umum tersebut demonstrasi malah “menjadi” dibanyak kota besar di Indonesia  sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka. Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam(www.semanggipeduli.com diakses tgl.3/09/2010).

Peristiwa itu tidak hanya berhenti sampai di titik itu saja,walaupun banyak dari mahasiswa yang menjadi korban namun hal itu tidak menghentikan dan menggetarkan semangat dari pejuang-pejuang reformasi ini,terbukti perjuangan tersebut tidak sia-sia,pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan pengunduran dirinya sebagai Presiden.Berikut kronologi peristiwa tersebut:

TANGGAL
KEJADIAN
22 Januari 1998
Rupiah tembus 17.000,- per dolar AS, IMF tidak menunjukkan rencana bantuannya.
12 Februari 1998
Soeharto menunjuk Wiranto, menjadi Panglima Angkatan Bersenjata.
5 Maret 1998
Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional. Mereka diterima Fraksi ABRI
10 Maret 1998
Soeharto terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kali dengan menggandeng B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden.
14 Maret 1998
Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII. Bob Hasan dan anak Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, terpilih menjadi menteri.
15 April 1998
Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan berunjuk rasa menuntut dilakukannya reformasi politik
18 April 1998
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.
1 Mei 1998
Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.
2 Mei 1998
Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (1998).
Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak dengan demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi disikapi dengan represif oleh aparat. Di beberapa kampus terjadi bentrokan.
4 Mei 1998
Harga BBM melonjak tajam hingga 71%, disusul tiga hari kerusuhan di Medan dengan korban sedikitnya 6 meninggal.
7 Mei 1998
Peristiwa Cimanggis, bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan terjadi di kampus Fakultas Teknik Universitas Jayabaya, Cimanggis, yang mengakibatkan sedikitnya 52 mahasiswa dibawa ke RS Tugu Ibu, Cimanggis. Dua di antaranya terkena tembakan di leher dan lengan kanan, sedangkan sisanya cedera akibat pentungan rotan dan mengalami iritasi mata akibat gas air mata.

8 Mei 1998
Peristiwa Gejayan, 1 mahasiswa Yogyakarta tewas terbunuh.
9 Mei 1998
Soeharto berangkat seminggu keMesir untuk menghadiri pertemuan KTT G-15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.
12 Mei 1998
Tragedi Trisakti, 4 mahasiswa Trisakti terbunuh.
13 Mei 1998
Mal Ratu Luwes di Jl. S. Parman termasuk salah satu yang dibakar di Solo. Kerusuhan Mei 1998 pecah di Jakarta. kerusuhan juga terjadi di kota Solo.Soeharto yang sedang menghadiri pertemuan negara-negara berkembang G-15 di Kairo, Mesir, memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Sebelumnya, dalam pertemuan tatap muka dengan masyarakat Indonesia di Kairo, Soeharto menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.Etnis Tionghoa mulai eksodus meninggalkan Indonesia.
14 Mei 1998
Demonstrasi terus bertambah besar hampir di semua kota di Indonesia, demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.Soeharto, seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo.Kerusuhan di Jakarta berlanjut, ratusan orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.
15 Mei 1998
Selesai mengikuti KTT G-15, tanggal 15 Mei l998, Presiden Soeharto kembali ke tanah air dan mendarat di lapangan Bandar Udara Halim Perdanakusuma
di Jakarta, subuh dini hari. Menjelang siang hari, Presiden Soeharto menerima Wakil Presiden B.J. Habibie dan sejumlah pejabat tinggi negara lainnya.
17 Mei 1998
Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya, Abdul Latief melakukan langkah mengejutkan pada Minggu, 17 Mei 1998. Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Soeharto dengan alasan masalah keluarga, terutama desakan anak-anaknya.
18 Mei 1998
Pukul 15.20 WIB, Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni
Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.
Pukul 21.30 WIB, empat orang menko (Menteri Koordinator) diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesempatan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu". Namun, niat itu tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya." Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.
Pukul 23.00 WIB Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Wiranto mengusulkan pembentukan "Dewan Reformasi".
Gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR.

19 Mei 1998
Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar
(Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra,
KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'ruf Amin dari NU. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur. Soeharto lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi
Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka.
Pukul 16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag Mohamad Hasan melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan saham BUMN yang beberapa peminatnya menyatakan mundur. Pada saat itu, Menko Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan
Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka intinya menyebut, tindakan itu mengulur-ulur waktu.
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Dilaporkan bentrokan terjadi dalam demonstrasi di Universitas Airlangga, Surabaya.
20 Mei 1998
Amien Rais membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran di Monas, setelah 80.000 tentara bersiaga di kawasan Monas.500.000 orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X. Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung.Harmoko mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri pada Jumat, 22 Mei, atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru.
Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat. Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur. Ke-14 menteri itu adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga dan Tanri Abeng.
Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto.
Soeharto kemudian bertemu dengan tiga mantan Wakil Presiden; Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno.
Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.
Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian memanggil Habibie.
Pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned". Yusril juga menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB. Kabar itu lalu disampaikan juga kepada Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya. Lalu mereka segera mengadakan pertemuan di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan Lembaga Islam, Departemen Agama, Malik Fadjar. Di sana Cak Nur - panggilan akrab Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang harus disampaikan kepada pemerintahan baru.
21 Mei 1998
Pukul 01.30 WIB, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais dan cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari menyatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru". Pukul 9.00 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul 9.00 WIB
. Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto (kemudian menjadi Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.
Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi presiden baru Indonesia.
Jenderal Wiranto mengatakan ABRI akan tetap melindungi presiden dan mantan-mantan presiden, "ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga."
Terjadi perdebatan tentang proses transisi ini. Yusril Ihza Mahendra, salah satu yang pertama mengatakan bahwa proses pengalihan kekuasaan adalah sah dan konstitusional.
22 Mei 1998
Habibie mengumumkan susunan "Kabinet Reformasi".Letjen Prabowo Subiyanto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad.Di Gedung DPR/MPR, bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbol-simbol dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR. Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru. Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR kePengangkatan Habibie sebagai Presiden
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang.Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan,sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap.
                Berdasar tabel kronologis diatas mutlak terdapat suatu kematangan strategi dan koordinasi lapangan yang baik antar mahasiswa.Karena dalam setiap aksinya terdapat sebuah perubahan yang cukup signifikan.Hal inilah yang belum dapat kita temui dalam aksi mahasiswa di era pasca reformasi.

SEMANGAT MAHASISWA ERA 1998 vs SEMANGAT MAHASISWA ERA SEKARANG
Terdapat sebuah pertanyaan menggelitik dari seorang rekan penulis ketika melihat berita di Televisi mengenai aksi demo Mahasiswa yang menentang melonjaknya harga BBM beberapa waktu lalu.Beliau mengatakan,”Mahasiswa sekarang itu demo atau paduan suara?masa demo kok nggak bisa terkoordinir menjadi satu se-Indonesia.Kalau demo-nya hanya bersifat regional-regional gitu yah mana mungkin bisa didengar,orang jumlah pendemonya ajah ga banyak,paling banter 30 orang.Nah,itu niat demo apa mau paduan suara?”.Mendengar hal itu penulis hanya terdiam dan meng-iyakan dalam hati.Memang benar apa yang dikatakan rekan tersebut pasca tergulingnya rezim Soeharto sampai saat ini belum pernah ada lagi aksi yang diluncurkan segarang aksi itu.
Di era sekarang terdapat banyak media komunikasi mulai dari handphone,email,facebook,twitter,blackberry mesangger,sampai myspace yang dapat secara mudah dan cepat kita akses guna menemukan rekan-rekan kita.Padahal jika kita merujuk pada tataran teknologi komunikasi yang semakin canggih tersebut harusnya aksi-aksi seperti tahun 1998 dapat dilakukan kembali dan bahkan bisa lebih garang.Tapi kenyataan yang terjadi para Mahasiswa seolah tidak dapat mengeksplorasi kecanggihan tersebut.Bandingkan pada era 1998 yang mana internet dan handphone masih menjadi barang langka yang tidak mudah didapat.
Bahkan salah satu petinggi negara ini dalam email-nya yang bocor mengungkapkan bahwa aksi mahasiswa sekarang ini tidaklah akan dapat segarang seperti dahulu,berikut petikan email tersebut:”ancaman tentang gerakan mahasiswa dan rakyat itu sudah tidak relevan lagi dengan iklim demokrasi sekarang. Hanya mimpi siang bolong yang  bisa menghadirkan kekuatan mahasiswa.” kemudian, “Jadi tidak perlu khawatir mahasiswa kita ndak ada yang berkualitas pemikirannya sampai bisa menggerakkan massa jadi selalu menunggu ditungangi. Dan yang menunggangi tidak pernah pintar sehingga selalu ketahuan sehingga masyarakat tidak pernah percaya lagi sama kredibilitas demo mahasiswa jadi tenang saja boss. Kita mengontrol pikiran dan sentiment public sekarang, ndak ada yang bisa kalahkan itu. Sudahlah,rakyat tidak percaya lagi pada mahasiswa. Kita datangin mereka ke tv saja mereka sudah senang sekarang. jadi Bos, gerakan mahasiswa itu bukan lagi suatu hal yang menakutkan sekarang.”(www.kompas.com diakses tgl.4/09/2010).Menilik kondisi dilapangan memang terasa benar bahwa mahasiswa sekarang seolah kehilangan tajinya dalam setiap aksinya,aksi-aksi yang ada sekarang lebih mirip aksi suku Pedalaman yang berpesta dengan bernyanyi-nyanyi dan menari memutari api unggun,namun bedanya pada mahasiswa mereka memutari ban yang dibakar.
Meruntut dari segi historis,mestinya mahasiswa era sekarang lebih peka dan terkoordinir dibanding mahasiswa era rezim Soeharto,hal ini dinafaskan dengan dihapusnya kebijakan Normalisasi Kegiatan kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK),yaitu kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis,berdasar  SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0156/0/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 037/U/1979.
NKK/BKK menjadi dua akronim yag menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasiswa tahun 1980-an. Istilah tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Presiden Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membungkam aksi kritis mahasiswa terhadap jalannya pembangunan dan kebijaksanaan pemerintah saat itu. Pada saat itu,satu-satunya organisasi intra kampus yang merupakan senjata utama bagi perlawanan mahasiswa adalah “Dewan Mahasiswa”.Kala itu organisasi ini dikenal aktif disemua kampus.Dan juga pada saat itu “Dewan Kampus” menunjukan tajinya pada publik dengan menolaknya pencalonan Soeharto dalam Pilpres 1977.Kala itu pihak pemerintah menilai kondisi yang ada dikampus sangatlah tidak normal,maka untuk itu perlu adanya kembali normalisasi kehidupan kampus.Maka sebagai wujud nyata akan pemikirannya itu,pihak pemerintah membentuk kebijakan yang disebut “Normalisasi Kehidupan Kampus” atau yang sering pula disebut NKK.
Dengan dibentuknya NKK ini,kegiatan-kegiatan organisasi intra kampus resmi dilarang,dan mutlak “Dewan Mahasiswa” yang menjadi korbannya.Dan sejak tahun 1978,ketika NKK/BKK ini diwujudkan dikampus kegiatan mahasiswa menjadi terpecah dalam Fakultas dan Jurusan masing-masing sesuai dengan konsentrasinya.Ikatan mahasiswapun yang diperbolehkanpun hanya yang sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing,seperti ISMEI(Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia),ISMPI(Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia),dsb.
Namun pada perwujudannya NKK ini mengalami banyak penolakan,dalam NKK ini memang secara nyata mengganti “Dewan Mahasiswa” dengan “BKK”(Badan Koordinasi Kemahasiswaan).Dalam format BKK disebutkan bahwa ketua BKK adalah dosen yaitu Pembantu Rektor III,jika dicermati format tersebut tampak lucu dan aneh hal itu didasarkan pada sifat BKK yang merupakan organisasi kemahasiswaan,tetapi ketuanya bukanlah mahasiswa.Di ITB,nasib BKK ini sendiri dapat dikatakan suram,karena para dosen seperti enggan untuk menyulut masalah dengan anak didiknya yang secara mati-matian menentang BKK.Nasib buruk juga dialami di UGM yang mana BKK hanya diakui ada secara de-facto saja,karena pada prakteknya organisasi ini juga tidak berjalan.Hal paling ekstrim terjadi di UII Yogyakarta dan Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga ,keberadaan BKK memang ada dan “Dewan Mahasiswa” dibubarkan,namun ketua BKK ini sendiri tetaplah mahasiswa. Sedangkan di ibukota negara, Universitas Indonesia memang memiliki BKK tetapi fungsi sehari-hari dijalankan oleh Forum para Ketua Senat Mahasiswa Fakultas, dan dinamakan Forkom UI.
Sempat pula pada tahun 1979 beberapa anggota DPR dari fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP),Nahdlatul Ulama (NU), dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI) mengusulkan untuk menggajukan Hak Interpelasi(Hak DPR untuk meminta keterangan kepada eksekutif mengenai kebijakan eksekutif yang bersifat penting dan strategis serta berdampak luas bagi masyarakat) terhadap NKK/BKK tersebut.Penjelasan mengenai usulan ini dikemukakan pada sidang paripurna 20 Desember 1979,namun sayang usulan ini ditolak melalui voting dalam sidang paripurna 11 Februari 1980.Hasil voting itu terdiri dari 279 suara menolak(220 F-KP dan 61 F-ABRI) dan suara setuju(83 F-PP dan 18 F-PDI).
Pada tahun 1990,dengan kepemimpinan Fuad Hasan sebagai Mendikbud,kebijakan mengenai NKK/BKK resmi dicabut dan diganti dengan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan(PUOK) berdasar pada SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).Dalam SMPT ini yang menjadi anggota adalah Senat Mahasiswa Fakultas(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa(UKM).
Namun,dalam kebijakan inipun masih terjadi pro-kontra dikalangan mahasiswa,sebagian yang menerima menyandarkan bahwa walaupun konsep ini masih memiliki sejumlah kelemahan,akan tetapi dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa.Dilain pihak,mereka yang menolak menganggap bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam agenda tersembunyi guna menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan diluar kampus.Pada perjalanannya konsep ini menuai banyak kekecewaan di perbagai Perguruan Tinggi,mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri,bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.Akibat dari kegundahan ini,di UGM pada tahun 1994 berdirilah kembali “Dewan Mahasiswa” yang merupakan solusi atas kebutuhan terhadap organisasi independent yang kemudian disusul oleh beberapa Perguruan Tinggi lainnya,namun format akan “Dewan Mahasiswa” yang baru ini tidaklah sama persis dengan format “Dewan Mahasiswa” yang pernah ada.Hal ini merupakan pertanda terhadap kebangkitan kembali pergerakan mahasiswa.
Kini setelah beberapa tahun berlalu perjuangan tersebut terkesan hanya menjadi sebuah sejarah yang hampir terlupakan.Betapa tidak, terkesan mahasiswa era sekarang lebih peduli dengan nilai IPK(Indeks Penilaian Komulatif)-nya daripada memperankan dirinya sebagai “agent of change”.Memang juga bukan suatu kesalahan yang teramat fatal apabila mahasiswa lebih mengedepakan urusan nilainya daripada menjalankan fungsi kontrolnya.Hal ini disendikan atas kebijakan kampus yang juga seringkali menutup mata terhadap kegiatan mahasiswanya diluar.Seringkali mahasiswa ketika akan melakukan aksinya mereka dibenturkan dengan adanya kuis,UTS,UAS atau bahkan dosen “killer”.Tetapi jika hal ini terus dipersoalkan dan dijadikan alasan akan loyonya semangat mahasiswa era sekarang,hal itu sungguhlah tidak berdasar.Mengapa?karena pada mahasiswa era rezim Soeharto-pun hal ini juga merupakan hambatan bagi mereka,namun mereka berani mengorbankan nilainya dan memilih untuk menjalankan fungsi kontrolnya sebagai wujud pengabdiannya kepada masyarakat.
                Konsep Tridharma Perguruan Tinggi yang mencakup : Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat bagi mahasiswa sekarang memang terkesan hanya sebagai simbol yang tidak memiliki makna yang begitu dalam,hal lain terjadi dalam kacamata mahasiswa era sebelumnya yang dapat memaknai dan mengamalkan hal ini secara utuh.Mereka menganggap seseorang belumlah pantas menyandang gelar sebagai mahasiswa sebelum dapat mengamalkan ketiga hal tersebut.Mahasiswa adalah pintu gerbang bagi masyarakat kita yang masih miskin akan ilmu pengetahuan, Mahasiswa adalah salah satu unsur masyarakat yang memunyai bargaining position bagi satu perubahan dalam negeri, karena status sebagai mahasiswa secara otomatis telah menempatkan individu pada suatu kualitas dimana ia dapat menjalankan fungsi kontrol tanpa batas. Tentu apabila mahasiswa tidak memposisikan dirinya sebagai penghuni bangku kuliah yang pasif, akan tetapi dalam kesehariannya selalu memfungsikan daya monitoring terhadap perkembangan yang ada, terutama pada pemerintah dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan(Tabloid “JUMPA” edisi.32 tahun 2007).
                Selain adanya sikap apatis dari kebanyakan mahasiswa,faktor lain akan loyonya aksi mahasiswa ialah isu yang diangkat mahasiswa tidak populis dimasyarakat.Dalam artian seringkali isunya sendiri tidak begitu mengena dihati semua masyarakat,hal ini didukung oleh pernyataan Dr.Hariman Siregar yang juga mantan aktivis tahun 1970-an yaitu “Gerakan mahasiswa akan menjadi besar jika isunya menyentuh semua orang”.Memang benar pemikiran tersebut,mengingat selama ini mahasiswa berteriak dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
                Memaknai lain dari kebijakan NKK/BKK yang pernah bercokol di Indonesia,terbukti bahwa pemerintah pada saat itu sangat takut jika mahasiswa melakukan demonstrasi,hal ini dikarenakan masyarakat dan mahasiswa seolah menjadi satu dalam menyuarakan nama rakyat.Terkesan hampir setiap rakyat secara individu memiliki satu tujuan dalam aksi-aksi yang digelar kala itu sehingga masyarakat benar-benar mendukung mahasiswa,Wimar Witoelar seorang aktifis di era 1966 menceritakan pengalamannya kala itu, “Dulu antara mahasiswa dengan masyarakat sangat bersatu, kalau kita demo, nginep dimana saja kita selalu dikasih nasi bungkus sama masyarakat,waktu itu masyarakat menganggap mahasiswa akan membawa perbaikan”.Hal berbanding terbalik terjadi ketika mahasiswa era sekarang malah bentrok dengan warga seusai aksinya(www.semanggatpagi.com diakses tgl.15/09/2010).Ahdian seorang tokoh dari “Forum Kota”(FORKOT) berpendapat mengenai masalah ini,“Masyarakat sudah menganggap aksi mahasiswa ini sudah tidak berarti.”.Dan masih menurutnya mengenai minimnya jumlah pendemo dalam setiap aksi mahasiswa,beliau berpendapat,” Pengkritisan terhadap pemerintahan itu harus dilakukan dengan aksi kecil maupun besar”.Maka seharusnya dan bahkan wajib bagi mahasiswa era sekarang untuk berkaca kembali akan alur yang telah mereka ambil dalam setiap pergerakan,ada baiknya pula bagi mereka untuk sedikit membenamkan ego guna dapat berpikir lebih strategis,dan mendapatkan kembali keniscayaan dari masyarakat yang mana merupakan salah satu aspek kunci akan keberhasilan sebuah pergerakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut